Independensi Hakim



Kehakiman di Indonesia dijamin dalam Konstitusi Indonesia yaitu Undang-undang Dasar 1945, yang selanjutnya diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Independensi diartikan sebagai bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala Kekuasaan Negara lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang dating dari pihak-pihak extra judisiil, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh Undang-Undang. Demikian juga meliputi kebebasan dari pengaruh -pengaruh internal judisiil didalam menjatuhkan putusan .
Kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah merupakan kehendak dari UUD 1945 (penjelasan pasal 24 & 25). Hal ini adalah esensi demokrasi yang dicita-citakan oleh Indonesia. Pengakuan bahwa seharusnya kekuasaan kehakiman itu mereka lepas dari pengaruh cabang kekuasaan yang lain.
Independensi hakim untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan bedasarkan pancasila, untuk terselengaranya Negara hukum republic Indonesia, menuntut hakim memilki integritas dan komitmen yang didasarkan pada kemampuan dan kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual. (Busthanul Arifin, 2007: 147-148)   
Apakah memang benar bahwa kekuasaan kehakiman itu mandiri atau independen dalam arti sebebas-bebasnya. Independensi kekuasaan kehakiman atau badan-badan kehakiman/peradilan merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law sebagaimana pemikiran mengenai Negara Hukum modern yang pernah dicetuskan dalam konferensi oleh International Commission of Jurists di Bangkok pada tahun 1965.
Demikianlah jelas bahwa secara nasional maupun internasional atau universal, independensi badan-badan peradilan dijamin. Menjadi pertanyaan bagi kita sekarang apakah hakekat independensi kekuasaan kehakiman itu memang harus mandiri dan merdeka dalam arti sebebas-bebasnya tanpa ada batasnya secara absolut? Menurut hemat  Paulus Effendie Lotulung, (www.lfip.org/tgl. 15-12-2007) tidak demikian, sebab tidak ada kekuasaan atau kewenangan di dunia ini yang tidak tak-terbatas, atau tanpa batas, kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa di dunia ini maupun di akhirat.
Selanjutnya menurut Paulus Effendie Lotulung kekuasaan kehakiman, yang dikatakan independensi atau mandiri itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu, sehingga dalam konferensi International Commission of Jurists dikatakan bahwa : "Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrarymanner”. (www.lfip.org/tgl. 15-12-2007)
Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial/materiil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi Kekuasaan “Kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah "subordinated” pada Hukum dan tidak dapat bertindak "contra legem".
Selanjutnya, harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungan-jawab atau akuntabilitas, yang kedua-duanya itu, independensi dan akuntabilitas pada dasarnya merupakan kedua sisi koin mata uang saling melekat. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan perkataan lain dapat dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim (independency of judiciary) haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (Judicial accountability). Dalam memasuki era globalisalsi sekarang ini, menjadi kewajiban bagi kita semua yang bergerak di pemerintahan dan penegakan hukum, baik kalangan teoritisi / akademisi maupun praktisi untuk mengkaji secara serius dan mendalam mengenai pengertian "judicial accountability" tersebut sebagai pasangan dari “independency of judiciary".
Bentuk tanggung jawab ada dan bisa dalam mekanisme yang berbagai macam, dan salah satu yang perlu disadari adalah "social accountability” (pertanggungan jawab pada masyarakat), karena pada dasarnya tugas badan-badan kehakiman atau peradilan adalah melaksanakan public service di bidang memberikan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Secara teoritis, di samping social atau public accountability tersebut dikenal pula : political accountability / legal accountability of state, dan personal accountability of the judge.
Sisi lain dari rambu-rambu akuntabilitas tersebut adalah adanya integritas, objektifitas dan sjfat transparansi dalam penyelenggaraan dan proses memberikan keadilan tersebut, hal mana harus diwujudkan dalam bentuk publikasi putusan putusan badan pengadilan serta akses publik yang lebih mudah untuk mengetahui dan membahas putusan-putusan badan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga karenanya putusan-putusan tersebut dapat menjadi obyek kajian hukum dalam komunitas hukum.Adalah suatu langkah reformasi juga dibidang peradilan, manakala dikembangkan wacana perlunya publiikasi pendapat yang berbeda (publication of dissenting opinion) diantara hakim-hakim didalam proses pemutusan perkara jika tidak terdapat kesepakatan yang bulat diantara mereka. Pada hakekatnya justru melalui mekanisme "publication of dissenting opinion" itulah independensi hakim sebagai penegak hukum dijamin dalam menyampaikan dan mempertahankan argumentasi yuridisnya masing-masing pada waktu musyawarah putusan. Contoh dari sudah diterimanya asas ini dalam perundang-undangan kita adalah dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan telah dipraktekkan pula di Pengadilan Niaga dalam perkara-perkara kepailitan. Konsekuensi lebih lanjut dari adanya akuntabilitas tersebut diatas, adalah adanya pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan baik mengenai jalannya peradilan maupun termasuk perilaku para aparatnya, agar kemandirian dan kebebasan Kekuasaan Kehakiman tidak disalah gunakan sehingga dikawatirkan dapat menjadi " tirani Kekuasaan Kehakiman ". Banyak bentuk dan mekanisme pengawasan yang dapat dipikirkan dan dilaksanakan, dan salah satu bentuk adalah kontrol atau pengawasan melalui mass-media termasuk pers. Jadi dengan demikian, aspek akuntabilitas, integritas dan aspek transparansi, maupun aspek pengawasan merupakan 4 (empat) rambu-rambu
yang menjadi pelengkap dari diakuinya kebebasan dan independiensi Kekuasaan Kehakiman. 
Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi konflik antara individu dengan individu lainya. Konflik di antara individu sering tidap dapat diselesaikan oleh pihak yang terkait.
Untuk menyelesaikannya dapat dibutuhkan campur tangan institusi khusus yang memberikan penyelesaian imparsial. Penyelesaian itu,  tentunya harus berdasarkan pada patokan-patokan yang berlaku secara objektif. Lembaga peradilan memiliki fungsi ini, yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan, penilaian dan memberikan keputusan terhadap konflik, kewenagan demikian dikenal dengan kekuasaan kehakiman. (Suhrawardi K. Lubis, 2000: 25). Yang dilakukan oleh hakim.
Menurut  Suhrawardi K. Lubis (2000: 25) agar hakim dapat menyelesaikan masalah yang dihadapkan kepadanya secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, termasuk dari pemerintah. Hakim  dalam mengambil keputusan terikat pada fakta-fakta  yang relevan dan kaidah hukum  menjadi landasan yuridis keputusannya. Ini berarti Menueur Mochtar Kusuma Atmadja, yang dikutip oleh  Suhrawardi K. Lubis (2000: 25) hakim memiliki kekuasaan yang luas terhadap para pihak (yustiabel) berkenaan dengan masalah yang dihadapkan kepadanya.
Ini berarti pula, bahwa hakim dalam menjalnkan tugasnya sepenuhnya memiliki tanggung jawab yang besar dan dapat menyadari tanggung jawab itu. Sebab keputusan hakim menurut Arif Sudarta yang dikutip oleh Suhrawardi K. Lubis (2000: 25) membawa akibat yang sangat jauh pada kehidupan para yustiabel dan atau orang lain terkena jangkauan keputusan itu. Selanjutnya dikatakan bahwa keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat mengakibatkan pendiritaan lahir dan batin para yustiabel yang bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya. 

Daftar Pustaka 

Busthanul Arifin, (2007) Masa Lampau yang Belum Selesai (Percikan Pikiran Tentang Hukum dan Pelaksanaan Hukum) O.C. Kaligis & Associates, Jakarta

John Z. Laudoe, (1983). Fakta dan Norma dalam Hukum Acara. Bina Aksara, Jakarta

Suhrawardi K. Lubis, (2000), Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

1 komentar:

Bismillahi rahmani rahim assalamualiku waramatullahi wabarakatu.saya siti tki sgp mengucapkan banysk terima kasih kepada ki rongo berkah bantuaan no togel 4d langsung tembus 100% sehingga kami bs legah karna utang saya di bank udsh terlunasi semua.jadi teman-2ku di fb.termasuk dalsm kategori ini dililit utang seperti sy
Selaluh kalah dalam permainan togel
Butuh modal buat buka usha fi kampung
Penglaris dagangan
Penarik uang gaib
Penakluk wanita
Kekebslan tubuh
Menyembukan penyakit apa aja
Jangan putus asah duluh.karna andah sudah berada kata2 yg sangat tepst
Ki rongo akan membantu dengan angka ritual.
Terima kasih banyak ki rongo atas no togelnya yg kami terimah putaran sgp 4d tembus 100% hingga kami sekaran bisah bernapas lg dan keluarga kami.
Sekali lg terima kasih ki rongo .jsdi teman2 kalau mau merubah nasib.hbu ki rongo di no ini 0823.8831.6452.
Wassalsmm.

Posting Komentar