DINAMIKA HUKUM ISLAM DI INDONESIA



Fokus bahasan pada bagian ini adalah tentang strategi teoritik yang meliputi status sosial dan proses sosial dalam dinamika hukum Islam di Indonesia. Status sosial dan interaksi (proses) sosial memilki peranan penting dalam kehidupan sosial. Oleh karenanya, para Sosiolog memandang betapa pentingnya mempelajari pengetahuan tentang status dan proses sosial tersebut.[1]
Hukum Islam merupakan salah satu hukum yang hidup (living law) dan merupakan bagian dari tiga sistem hukum yang ada di Indonesia.[2]  Sebagai Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ( kurang lebih 88 %) sudah barang tentu teradapat nilai ataupun norma agama bersamaan dengan hadirnya agama tersebut.[3]  Dinamisasi hukum Islam pastilah akan berpengaruh terhadap proses maupun interaksi sosial. Begitu juga dengan status sosial, dikarenakan norma yang terserap hasil dari interaksi antara agama dengan masyarakat tersebut memunculkan implikasi terhadap proses sosial yang terjadi di Indonesia (misalnya pengaruh seoarang kyai sebagai tokoh masyarakat).
Pengaruh yang dihasilkan melalui jalur status sosial, realitas yang terjadi di Indonesia terkadang terjadi kontradiktif diantara para pemegang status  yang mengakibatkan rawan konflik.[4] Oleh sebab itu, sosiologi hukum Islam sebagai ilmu sudah sewajarnya bisa menstimulasi untuk menelaah lebih luas dan dalam mengenai strategi teoritik terkhusus pada locus kajian yang meliputi status sosial dam proses sosial yag berkembang di Indonesia.
Konfigurasi ketiga sistem hukum (Barat, Islam, Adat) yang ada di Indonesia tersebut, pada perkembangannya memunculkan asumsi (meskipun terlihat naif) bahwasannya pengadopsian “setengah-setengah” dari ketiga sistem hukum tersebut merupakan suatu kewajaran jika hukum di Indonesia terlihat “semerawut” sebagai pertanda ketidak orisinilan dari sistem hukum Indonesia. Sehingga memunculkan kompetisi dan terjadi saling tarik menarik untuk berebut pengaruh dan saling mendominasi sebagai agent of change dalam mengawal proses perubahan sosial dan perkembangan hukum di Indonesia.
Status Sosial
Status atau kedudukan adalah posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial atau kelompok masyarakat berkaitan dengan hak dan kewajibannya. Setiap individu dalam masyarakat memiliki status sosialnya masing-masing. Oleh karena itu, status merupakan perwujudan atau pencerminan dari hak dan kewajiban individu dalam tingkah lakunya. Status sosial sering pula disebut sebagai kedudukan atau posisi, peringkat seseorang dalam kelompok masyarakatnya.[5] Dalam teori sosiologi, unsur-unsur dalam sistem pelapisan masyarakat adalah kedudukan (status) dan peranan (role). Kedua unsur ini merupakan unsur baku dalam pelapisan masyarakat. Kedudukan dan peranan seseorang atau kelompok memiliki arti penting dalam suatu sistem sosial.
Para sosiolog mensyaratkan mengenai terjadinya proses sosial kepada tiga keadaan yang mendasar, yaitu kontak sosial, jarak sosial dan isolasi sosial.[6] Menurut Soerjono Soekanto, gambaran umum dari terciptanya proses sosial adalah adanya interaksi sosial, karena hal tersebut sebagai indikator terjadinya aktivitas-aktivitas sosial.[7] Dengan adanya interaksi maka akan tercipta suatu hubungan sosial baik antar perorangan, individu dengan kelompok ataupun antar kelompok. Interaksi sosial merupakan kunci penting dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial tidak akan mungkin terwujud kehidupan bersama.
Adapun faktor-faktor yang menjadi syarat terjadinya interaksi sosial yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi.[8] Kontak disini dimaksudkan sebagai pertemuan langsung antara dua individu maupun kelompok. Sedangkan yang dimaksud komunikasi yaitu bahwasannya seseorang memberikan tafsiran pada prilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah maupun sikap).
Selain faktor-faktor yang menjadi syarat terjadinya interaksi sosial, teradapat bentuk-bentuk interkasi antara lain berupa kerjasama (Cooperation), persaingan (Competition) dan pertikaian atau pertentangan (conflict).[9] Dengan demikian, cakupan pembahasan proses sosial sangat berguna untuk menelaah dan mempelajari pelbagai masalah yang terjadi didalam suatu masyarakat.
Hukum Islam
Para sarjana hukum Islam (ulama) memposisikan hukum dalam Islam bukan hanya sebagai social engineering dan social control an sich (profan), lebih dari itu, hukum dalam Islam merupakan hasil dari proses emanasi manusia terhadap kehendak Tuhan (sakral). Oleh karenanya hukum dalam Islam berhubungan erat dengan ranah teologis disamping wujud pengejawantahan seorang hamba menjalankan keberagamaannya secara utuh dan absolut (kaffah).[10]
Secara teoritis, umat Islam meyakini bahwasannya hukum Islam merupakan sebuah takdir (destiny) dalam mengatur semua aspek kehidupan manusia karena Tuhan telah menunjukkan jalan yang lurus untuk dijadikan pedoman oleh manusia. Bentuknya yaitu dengan berpegang teguh pada apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul-Nya. Hal ini antara lain disandarkan pada ayat-ayat alqur’an dalam surat Al-an’am (6): 38 dan Al-nah}l (16): 89.
Oleh sebab itu secara tersurat dan teoritis dari ayat tersebut diatas (meskipun terkesan mensimplifikasi) umat Islam diharuskan (wajib) mengambil sumber hukum terhadap apa yang diturunkan Allah dan mengikuti rasul-Nya. Karena pada hakekatnya Muhammad sebagai utusan yang membawa wahyu Tuhan (rasulullah) juga sebagai rahmat untuk sekalian alam.[11]
Dari kedua sumber inilah (al-Qur’an dan sunnah rasul) premis teologis yang menyatakan bahwasannya kedudukan agama dan Negara tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya hubungan antar manusia (habl min al-nas) berkaitan erat (kesatuan organik) dengan  hubungan manusia dengan Tuhannya (habl min Allah). Tegasnya, dalam Islam semua aspek kehidupan manusia telah diatur sedemikian rupa sehingga Islam bersifat lentur dan fleksibel untuk setiap masa dan tempat (salihun li kulli zaman wa makan).[12]
Pada masa awal Islam (masa rasulullah), pengejawantahan hukum dalam ranah aplikatif berdialektika dengan realitas sosial tidaklah mengalami kendala apapun. Hal ini karena umat pada waktu itu bisa langsung menanyakannya kepada rasulullah sebagai pemegang otoritas yang bisa menginterpretasikan wahyu Tuhan yang sakral itu. Namun setelah wafatnya beliau (rasulullah), para sahabat menghadapi berbagai persoalan baru dan lebih kompleks. Hal ini disebabkan disamping semakin bertambahnya orang yang memeluk Islam juga ekspansi wilayah yang terlampau luas sehingga terkumpul realitas sosial budaya masyarakat yang heterogen.
Demikian juga pada masa selanjutnya (seperti masa tabi’in dan masa tabi’ut tabiin). Pengambilan dasar hukum terhadap teks normatif yang bersifat sakral tersebut sebagai konsideran tidak lagi bersifat sederhana jika tidak dibilang begitu kompleks. Dialektika antara teks dan konteks tersebut berujung pada keberagaman kesimpulan premis yang dilontarkan oleh para ahli hukum disetiap masa dan tempat yang berbeda. Realitas historis ini pada tahap selanjutnya menciptakan berbagai faham dari para ahli hukum yang mengkristal menjadi berbagai kelompok aliran yang dikenal dengan istilah mazhab.
Hal ini berimplikasi pada berkembangnya teori pembentukan hukum Islam yang dikenal dengan istilah ushul fiqh, yaitu suatu ilmu tentang berbagai kaidah (norma ataupun aturan) dan kajian yang menjadi acuan dalam penetapan hukum syari’at tentang semua perbuatan manusia yang berdasar pada dalil-dalil terperinci.[13] Menurut Sacht yang ditegaskan kembali oleh Minhaji, peletak dasar ilmu ini yaitu Imam Syafi’i.[14]
Pada akhirnya, dalil-dalil syar’iyah tersebut mengejawantah kepada corak yang beragam dalam upaya pembentukan hukum Islam (istinbat}), secara konvensional para ulama mengkategorikannya sebagai proses ijtihadi, seperti Istihsan, Maslahah Mursalah, ‘Urf, Istishab, Syar’u man qablana, mazhab sahabat  dan lain sebagainya:[15]
Jaih Mubarok memetakan proses ijtihadi kedalam tiga bagian. Pertama ijtihad bayani yang berarti penjelsan dan penafsiran para ulama terhadap teks al-Qur’an dan Sunnah. Kedua Ijtihad qiyasi yang berarti penjelasan dan penafsiran para ulama dengan memakai metode inferensi. Terakhir ijtihad istislahi yang dimaksudkan kepada proses ijtihad para ulama dengan sandaran tujuan perolehan kemanfaatan dan penolakan terhadap kesusahan (madarat) yang memang sejatinya merupakan salah satu esensi tujuan hukum Islam.[16]
Jaih menambahkan yang disebut kedua terakhir (ijtihad qiyasi dan jtihad istislahi) biasa dikenal dengan ijtihad bi al-ra’y. sedangkan ijtihad bayani meskipun merupakan produk ijtihad akan tetapi ra’yi (akal) hanya berperan sebagai pendukung saja dalam proses interpretasi al-Qur’an maupun sunnah (sumber hukum materiil).[17]
Adapun tujuan pembentukan hukum Islam menurut al-Syatibi adalah untuk kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat.[18] Kemaslahatan atau kemanfaatan inilah yang akan mempengaruhi dan menjadi barometer dalam penetapan hukum Islam. Selanjutnya ia mengklasifikasikannya kepada tiga bagian yakni:[19]
1.  Maslahat primer (daruriyyah): sesuatu yang mesti ada dalam rangka menegakkan kemaslahatan agama dan dunia. Maslahat pokok ini meliputi lima asas yakni menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga harta.
2.  Maslahat sekunder (hajiyah): sesuatu yang dibutuhkan untuk keleluasaan hidup dan meniadakan kesempitan pada umumnya.
3.  Maslahat tertier (tahsiniyyah): mengambil sesuatu yang dapat memperindah kebiasaan dan menjauhi situasi uyang ternodai (tercemar) yang dimulai berdasarkan pemikiran yang kuat. Seperti bahasan tentang akhlak.


Dinamika Hukum Islam di Indonesia
Dinamika memiliki pengertian keadaan gerak; selalu sanggup menyesuaikan diri.[20] Sedangkan hukum Islam merupakan pengejawantahan dari pergumulan antara syari’ah, fiqh klasik, dan ijtihad para ulama yang berkembang di Indonesia baik berbentuk hukum nasional (formal) maupun terdapat hukum yang hidup dimasyarakat (living law)[21]. Dengan demikian, yang dimaksud dengan dinamika hukum Islam disini yaitu gerakan-gerakan penyesuaian maupun perubahan hukum Islam sesuai dengan proses sosial yang terdapat di masyarakat demi terwujudnya perubahan sosial di Indonesia secara global.
Indonesia bukanlah berbentuk Negara Islam, akan tetapi sebuah Negara yang berbentuk Negara kesatuan republic yang tidak memberi ruang pada umat Islam untuk mengejawantahkan dasar dan tata hukumnya kepada sumber-sumber hukum Islam an sich. Demikian juga halnya pada umat penganut agama lain seperti Kristen, Hindu, Budha dan lainnya. Akan tetapi, disisi lain secara formal legalistic Negara juga tidak sepenuhnya menutup mata dari pelaksanaan hukum Islam sehingga disamping mempunyai landasan dogmatic pada tataran teologis, keberadaan hukum Islam juga didukung oleh umatnya dan untuk sebagian mempunyai landasan formal dari tata aturan perundang-undangan yang terdapat di Negara Republik Indonesia.
Konstelasi perjalanan bangsa Indonesia sepanjang bukti-bukti sejarah, pada jaman dahulu kala berbagai wilayah yang terdapat di nusantara telah dikuasai oleh kerajaan-kerajaan yang menganut agama Hindu dan Budha. Oleh karena itu, sudah barang tentu eksistensi hukum Islam tentunya seiring dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Dalam perjalanannya, ditemukan fakta-fakta sejarah yang mengindikasikan bahwa banyak kerajaan-kerajaan Islam muncul seperti Kesultanan Aceh, Palembang, Deli, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga Kerajaan Mataram, Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa.
Semua kerajaan dan kesultanan ini memang telah memberikan tempat yang begitu penting bagi perkembangan hukum Islam di Nusantara. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam, setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata sebagai hukum positif yang berlaku di wilayahnya.
Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka. Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para kadi, yang diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, jika ditempat tersebut tidak terdapat kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam.
Hukum Islam di Indonesia telah berkembang selama belasan abad dengan proses sosial yang terjadi tidak mengesampingkan metode-metode yang sangat memperhatikan kepentingan lokal.[22] Tidak mengherankan jika para intelektual muslim Indonesia mulai dari zaman dulu sampai saat ini terus memperjuangkan hukum Islam yang selalu sesuai dengan sosio kultur bangsa Indonesia.[23]
Oleh karenanya, hukum Islam merupakan salah satu bagian dari lembaga kemasyarakatan fungsional yang berhubungan dan saling mempengaruhi dengan lembaga kemasyarakatan lainnya. Hubungan antara struktur sosial dengan hukum memberikan pengertian yang lebih mendalam mengenai lingkungan sosio kultur dimana hukum berlaku di masyarakat.[24]
Dalam taraf internasional, dinamisasi hukum Islam dimulai melalui pemikiran dan gerakan pembaharuan yang dikenal juga dengan modernisasi. Yang memiliki pengertian pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan sosio kultur masyarakat modern.[25] Hal ini berimbas terhadap rekonstruksi yang terjadi dibidang hukum sesuai dengan sosio kultur pada suatu masyarakat.
Hal ini selaras dengan teori yang dikemukakan salah satu founding father teori ilmu sosial, Max Weber, yang mengatakan bahwasannya proses dan perubahan sosial yang terjadi pada suatu masyarakat berangkat dari masyarakat tradisional (manual) kemudian berubah kepada keadaan transisi lalu menuju kepada masyarakat rasional (modern).[26]
Sistem Sosial Islam
Diskursus mengenai sistem sosial dalam Islam bukanlah suatu hal yang asing. Dalam sumber rujukan baik teks al-Qur’an maupun Sunnah terdapat banyak tuntutan tentang pandangan sistem sosial Islam. Terdapat banyak ayat al-Qur’an yang berbicara mulai dari kedudukan mupun golongan (status) manusia menurut Islam, kemasyarakatan, bahkan sampai kedudukan antara pria dan wanita dalam pandangan Islam.
Sistem sosial yang terdapat dalam masyarakat kapitalis, liberal, pada dasarnya hak individu lebih dipentingkan daripada hak kolektif. Sehingga kepentingan kolektif bisa menjadi korban kepentingan individu. Begitu juga sebaliknya, dalam masyarakat sosialis komunis, hak kolektif lebih dipentingkan daripada hak individu, sehingga kepentingan individu bisa saja selalu menjadi korban kepentingan kolektif.
Hal ini berbeda dengan pandangan Islam, yang tidak menganut sistem masyarakat seperti itu (Kapitalis, liberal, sosialis komunis), akan tetapi menganut asas keseimbangan antara hak dan kewajiban, individu dan masyarakat, hak individu dan kewajiban individu, antara hak masyarakat dan kewajiban masyarakat.[27]
Seperti yang telah disinggung diatas, sebagai Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ( kurang lebih 88 %), sudah barang tentu kaum muslim di Indonesia mampu dan selalu berupaya meningkatkan komitmen keislamannya. Sebagaimana yang telah terdapat pada tuntunan ajaran yang termaktub dalam al-Quran dan Sunnah. Status, kemasyarakatan,dan interaksi sosial merupakan suatu keniscayaan yang harus dilalui oleh setiap manusia. Dan Islam mengatur kesemua hal tersebut.
Hukum Islam dan Masyarakat
Hukum Islam jika dibawa pada pendekatan kajian hukum dalam perkembangannya, masyarakat (kaum muslimim) akan mengahadapi dua kemungkinan. Yang pertama adalah terciptanya hukum positif Islam sebagai upaya pengakomodiran yang dilakukan oleh Negara untuk warga Negara yang memeluk Islam. Yang keduanya pengejawantahan nilai-nilai hukum Islam yang akan berlaku bagi seluruh warga Negara tanpa pandang bulu, bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk yang bukan warga Negara). Kedua kemungkinan inilah yang akan menentukan eksistensi nasib hukum Islam dalam pembentukan hukum nasional menuju perubahan sosial yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Persis seperti yang dikatakan Weber, bahwa masyarakat (sosial) akan selalu dipengaruhi oleh etika keagamaannya (normatif).[28]