ASAS-ASAS YANG TERDAPAT DALAM PEMBERLAKUAN HUKUM EKONOMI ISLAM

I. Pendahuluan
Perkembangan ekonomi Islam sangat pesat kemajuannya, di negara-negara maju sistem ekonomi Islam telah menjadi salah satu alternatif dalam pemecahan masalah krisis ekonomi. Bahkan di Inggris akan menjadikan perbankan Islam sebagai Bank Sentral Islam Internasional (International Islamic Central Bank ). Hal ini menujukkan bahkan sistem ekonomi Islam memiliki-nilai-nilai yang berlaku secara universal. Dalam kehidupan ekonomi penempatan nilai Ilahiyah sebagai landasan filosifis harus menjadi landasan utama untuk mengukur apakah sistem ekonomi yang dibangun itu berdasarkan pada nilai-nilai keislaman?
Terdapat dua pandangan dalam menilai sistem ekonomi Islam. Pertama, dan merupakan pendapat umum pelaku ekonomi Islam bahwa sistem ekonomi Islam itu pada prinsipnya adalah ekonomi konvensional, yang oleh ahli hukum ekonomi Islam diberi label nilai Islam atau hanya sebagai ajaran etis dan moral belaka tidak membumi. Kedua, memahami konsep ekonomi Islam itu dimulai dari nilai-nilai Islam, (iman, amal dan ikhlas). Iman terkait dengan otoritas Allah yang menciptakan alam ini beserta isinya. Amal terkait dengan pertanggungan jawab manusia sembagai pengemban khalifah dan pelaksana syariah-Nya di bumi. Sedangakan ihsan terkait dengan konsesistensi manusia dalam menempatkan diri sebagai khalifah dan sebagai abdi Allah. Sebagai khalifah berkewajiban untuk melaksanakan dan menundukkan diri kepada aturan-aturan yang disyariatkan. Sedangkan sebagai abdi berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan kekhalifaannya. Pemberlakuan sistem ekonomi Islam sebagai solusi dari ketidak adilan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis (ekonomi alternatif) di Indonesia, tentunya berbenturan dengan berbagai perilaku ekonom yang telah membudaya penuh ribawi, spekulasi dan tidak ada kepastian, diperlukan sikap yang arif dalam memberlakukan hukum ekonomi Islam.
Asas-asas trasidental yang terdapat dalam sistem ekonomi Islam dan teraplikasi pada norma-norma hukum ekonomi Islam sebagai dasar pemberlakuan hukum ekonomi Islam. Pemberlakuan sistem ekonomi Islam yang bersumber dari asas-asas hukum ekonomi Islam apakah memberikan dampak yuridis (dosa, kafir, fasiq, munafik) bagi umat Islam yang tidak menggunakan sistem ekonomi Islam. Dengan demikian bagaimana penerapan asas ekonomi Islam dalam pemberlakuan hukum ekonomi Islam?

II. Asas Pemberlakuan Hukum Ekonimi Islam
1. Pengertian Asas
Kata asas berasal dari bahasa Arab, asaasun artinya dasar, pondasi, basis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata asas bermakna dasar yaitu 1) sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat), 2) dasar cita-cita, dan 3) hukum dasar. Jika dikaitkan dengan berpikir bermakna dasar berpikir atau landasan berpikir yang sangat esensial.
Menurut Satjipto Rahardjo asas hukum adalah unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum. Asas hukum adalah jantungnya peraturan hukum karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya peraturan hukum atau ia adalah sebagai rasio legisnya peraturan hukum. Menurut Chainur Arrasjid asas hukum adalah suatu alam pikiran atau cita-cita ideal yang melatarbelakangi pembentukan norma hukum, yang konkrit dan bersifat umum atau abstrak (khususnya dalam bidang-bidang hukum yang erat hubungannya dengan agama dan budaya. Asas hukum menurut Dudu Duswara Machmudin adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum, dasar-dasar umum tersebut merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai etis.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa asas hukum adalah landasan dasar berpikir suatu kebenaran yang bersifat umum dan abstrak yang menjadi dasar pembentukan norma hukum. Oleh karena itu asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum yang konkrit, tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.
Hukum merupakan suatu kenyataan dari asas hukum, oleh karena itu di antara pakar hukum mengidentikan asas hukum dengan jiwa dari norma hukum. Berarti semua peraturan hukum harus dapat dikembalikan pada asas hukumnya. Dengan kalimat yang sederhana bahwa asas hukum bukanlah kaidah hukum konkrit, tetapi merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat umum serta abstrak.
Dari maka ini maka tidak salah di kalangan ahli hukum Islam sering menyamakan asas hukum dengan sumber hukum. Asas hukum dalam konteks hukum Islam bersumber Alqur’an dan Sunnah Rasulullah . Nabi Muhammad saw dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa agar setiap muslim dalam melakukan suatu perbuatan hukum tidak boleh melepaskan diri dari kedua sumber hukum tersebut.

2. Konsep Pembebenanan Hukum
Konsep af’al al mukallaf membicarakan perilaku orang Islam yang telah terkena beban dari segala tuntutan Allah yang terdapat dalam Alqur’an atau Assunnah (semua perkataan, perbuatan dan kesan-kesan sahabat atas perilaku Nabi saw yang secara ilmiah dikaitkan kepada Rasulullah saw) . Dalam kitab-kitab fikih terdapat klasifikasi pembebanan hukum didasarkan pada tingkat rasionalitas dan emosional subyek hukum .
Konsep mukallaf merupakan perilaku umat Islam bukan hanya hasil pemikiran kontemplasi ulama. Tetapi, dalam konteks berperilaku terdapat pendekatan kultural yang berkaitan dengan adat atau tradisi masyarakat yang sifatnya lokal, yang disebut dengan al ’urf. Di kalangan ahli hukum Islam terutama ahli hukum Islam klasik menjadikan adat sebagai kaidah hukum Islam, al ’adat al muhkamat yang dijadikan landasan berperilaku. Hal ini jika diperhadapkan dengan krakteristik global (universalitas) hukum Islam bisa diterima dalam setiap ruang dan waktu apakah dengan lokalisme dapat mereduksi terhadap universalitas hukum Islam dimana lokalisme mampu menjinakkan universliatas hukum Islam sebagai suatu kekuatan global.
Al ’af al mukallaf dapat teraplikasi dalam perilaku masyarakat yang terkait dengan keberlakuan hukum ekonomi Islam. Kepatutan masyarakat kepada nilai-nilai keislaman menundukkan dia untuk melaksanakan nilai-nilai itu sebagai sebuah doktrin. Hukum ekonomi Islam sebagai salah satu dimensi dari ajaran Islam dapatkah masyarakat menjadikan sebagai sebuah instrumen untuk menilai suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang Islam dalam transaksi syariah. Apabila berpedoman bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan dituntut bagi penganutnya untuk tunduk dan patut secara totalitas, maka tidak ada pilihan lain bagi umat Islam ”wajib” menjalankan semua instrumen hukum yang dikandungnya. Pengejawantahan hukum ekonomi Islam dalam perilaku bisnis (business behavior) terintegral dengan nilai-nilai hukum Islam.
a. Rukhsah (dispensasi)
Hukum Islam dari sudut konsistensi baik substansi maupun pelaksanaannya sangat tegas sifatnya, namun di sisi lain dalam keadaan tertentu (keterpaksaan) untuk menjaga keselamatan jiwa manusia hukum Islam memberikan kelonggaran. Oleh sebab itu, dalam hukum Islam ada tiga acuan yang dijadikan dasar dalam pembinaan hukum Islam.
1) Asas tidak menyulitkan (meniadakan kepicikan dan tidak memberatkan)
Dalam Alqur’an ada beberapa ayat yang menerangkan tentang tidak ada kesulitan dalam pemberlakuan hukum Islam. Allah tidak memberikan beban yang berat di luar kemampuan manusia. Tidak ada kesempitan dalam memberlakukan hukum Islam. Dan setiap kesulitan pasti Allah menunjukkan jalan penyelesainnya.
Menurut Faturrahman Djamil, tabi’at (krakter) manusia tidak menyukai beban yang membatasi kemerdekaannya dan manusia senantiasa memperhatikan beban hukum dengan sangat hati-hati. Manusia tidak bergerak mengingikuti perintah terkecuali kalau perintah-perintah itu dapat menawan hatinya, mempunyai daya dinamika, kecuali perintah yang dikerjakan dengan keterpaksaan.
2) Asas menyedikitkan beban
Allah tidak menghukum suatu kaum atau umat sampai didatangkan seorang rasul yang menyampaikan ajaran-ajaran Allah kepada umat tersebut (asas legalitas) dari asas ini menunjukkan bahwa hukum itu tidak berlaku surut. Semua perbuatan penyimpangan hukum tidak dikenakan sanksi selama dalam keadaan kesulitan. Sebagaimana yang disinyalir oleh Alqur’an bahwa Alqur’an tidak diturunkan kepada umat manusia untuk mendapatkan kesusahan.
     
Ayat-ayat yang membicarakan tentang hukum sangat sedikit, ini memberikan peluang yang luas bagi manusia untuk berijtihad. Pemberian peluang tersebut sesuai dengan krakteristik hukum Islam yaitu tidak kaku, tidak keras dan tidak berat bagi umat manusia.
3) Asas tidak totalitas pemberlakuan hukum Islam
Dalam penerapan sebuah peraturan perundang-undangan diperluakan tahapan penerapan disesuaikankan dengan kultur masyarakat. Penerapan hukum secara berangsur-angsur (tahap demi tahap), memberikan dampak yang sangt positif dan masyarakat merasa tidak memberatkan untuk menerima dan mernerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Di samping ketiga asas pemberlakuan hukum Islam tersebut terdapat juga asas personilitas pemberlakuan hukum Islam terhadap orang beragama Islam. Asas ini menempatkan orang Islam baik secara subyektif maupun secara obyektif berlakukan hukum Islam. Secara subyektif, menurut hukum setiap orang Islam yang mukalaf tunduk pada hukum Islam, sehingga segala perbuatannya harus dianggap dilakukan menurut hukum Islam, dan apabila tidak dilakukan menurut hukum Islam diapandang sebagai suatu pelanggaran. Sedangkan secara obyektif , segala sesuatu yang menyangkut aspek hukum orang Islam sebagai obyek hukum harus diukur dan dinilai berdasarkan hukum Islam, sehingga hukum Islam secara imperatif (otomatis) diberlakukan terhadap dirinya, dan karena itu apabila terjadi sengketa harus diselesaikan menurut hukum Islam oleh Pengadilan Agama. Termasuk dalam pengertian asas personalitas keislaman ini semua badan hukum Islam yang ada dalam sistem hukum di Indonesia. Terhadap semua badan hukum Islam menurut Cik Basir baik mengenaik status hukumnya maupun mengenai perbuatan dan peristiwa hukum yang menimpanya, juga mengenai hubungannya dengan orang atau badan hukum lain serta hak milik badan hukum tersebut, sepanjang berkaitan dengan prinsip-prinsip syariah, harus berlaku hukum Islam dan manakala terjadi pelanggaran atau sengketa dapat diselesaikan berdasarkan hukum Islam.
b. Asas kebebasan (anta raadhi)
Dalam perspektif hukum Ekonomi Islam asas kebebasan berkontrak menjadi landasan yuridis, apabila para pihak menyepakati klasul-klasul yang ada di dalam perjanjian itu, akan menjadi dasar hukum. Dengan demikian nilai-nilai pemaksaan kehendak seperti intimidasi, salah satu pihak dalam kondisi keterpaksaan,

3. Konsep ihsan (benevolence)
Setiap manusia dalam melakukan interaksi dengan sesamanya atau dengan makhluk lain ciptaan Tuhan bahwa interaksi yang dilakukan itu karena dapat diketahui dan dipahaminya . Jika tidak demikian, maka manusia harus menyadari bahwa interaksinya itu dikontrol oleh setiap makhluk Tuhan. Keberadaan Tuhan sebagai sosial kontrol memberikan dampak kepada pelaku ekonomi atau pelaku bisnis agar dapat membedakan mana perilaku ekonomi yang dapat dilegalkan berdasarkan prinsip syariah dan mana yang tidak dapat dilegalkan menurut prinsip syariah.
Kemapuan hakim untuk menyelesaikan sebuah sengkata ekonomi selain karena kompetensi relatif maupun kompetensi absolut, juga harus sesuai dengan sejauhmana kemapuan hakim untuk menguasai sebuah materi hukum baik yang terkait dengan kemampuan dalam hukum prosudural maupun kemampuan menguasai dan memahami hukum ekonomi Islam.
Konsep ikhsan menempatkan kepercayaan seorang hakim terhadap kehadiran Tuhan, berperilakulah, niscaya Tuhan melihat tingkah laku kamu, dan perilaku yang kurang lebih sejalan dengan pemahaman ini merupakan kunci memahami pengaruh kuat etika dalam perilaku hukum. Seorang hakim muslim tanpa klaim keshalehan sebagai miliknya sendiri, benar-benar percaya bahwa ia selalu dalam komunikasi langsung dengan Tuhan, yang setiap detik, menit maupun jam mendengar hati nurani dan melihat langsung sikap terjang perbuatan yang dilakukannya.
Dengan demikian, konsep ikhsan melahirkan sikap, 1) menempatkan sesuatu sesuai porsinya (asas keseimbangan. 2) menginformasikan sebuah produk sesuai dengan nilai kualitas baik dari zat, sifat maupun kadarnya sesuai fakta hukum (asas transparansi), 3) menjaga nilai-nilai moral spritual dari sumber, proses, pemasaran, penghasilan dan pemanfaatan (asas kehalalan).

4. Konsep Tazkiyah
Islam menempatkan mobilitas ekonomi didasarkan pada prinsip tazkiyah, akomulasi dari produsen, konsumen dan iklim pasar terbebaskan dari unusr keharaman, ketidak jujuran, spekulasian, ribawi dan kezaliman.
Asas halal dan thaiyyibah teraplikasi dalam konsep tazkiyah. Halal sebagai standar nilai yang bermakna pembebasan dari segala unsur yang diharamkan. Menurut M. Arfin setiap kegiatan ekonomi yang bertujuan mencapai kesejahteraan dan kemakmuran dalam bengkai keridaan Tuhan, maka objek ekonominya harus halal dan dalam proses pengelolaannya tidak mengandung gharar. Pemanfaatannya harus sesuai dengan tuntutan syariah, dilengkapi dengan itikad (niat) yang suci. Sedangkan thayyibah sebgai standar nilai mengandung makna bernfaat untuk kesehatan dan keselamatan.
Konsep tazkiyah menempatkan unsur kehalalan, kemanfaatan dan kesucian sebagai dasar penilaian boleh tidaknya sebuah produksi dan atau suatu perikatan. Apabila dalam sebuah produksi salah satu tahapan terkontaminasi dengan unsur keharaman maka produksi itu dipandang haram dan tidak layak untuk dikonsumsi. Demikian juga, sebuah perikatan dalam pelaksananaannya tidak sesuai dengan prinsip ekonomi Islam (riba, judi, ketidak jelasan obyek perikatan yang haram, dan perikatan yang menghalalkan yang haram), maka perikatan itu dipandang cacat hukum atau perikatan itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatigedaad)
Bentuk keharaman dalam sistem ekonomi Islam bersifat parmanen baik yang terkait benda atau barang yang diharamkan maupun perbuatan yang dilarang untuk dilakukan. Dalam Hukum Islam dipandang sebagai barang atau perbuatan yang tidak bermanfaat. Dalam pandangan M. Arfin Hamid nilai kehalalan kemanfaatan dan kesucian sebagai dasar membangun sistem ekonomi. Ketiga nilai adalah nilai yang tertinggi (top daunt) yang dijadikan sebagai barometer untuk menentukan keabsahan sebuah sistem ekonomi. Konsep tazkiyah dalam makna halal tayyiban dapat diagramkan seperti berikut:

Masalah Dasar Kualifikasi Keabsahan Dasar Hukum

Objek Halal Halal Halal Haram Haram Q.S. 4:2, 4:135
Proses Halal Halal Halal Haram Haram 83:1-2, 11:84-85
Hasil Halal Halal Haram Haram Haram 26:182, 55:9
Pemanfaatan,
pengelolaan Halal Haram Halal Halal Halal
Kesimpulan Halal Haram Haram Haram Haram

Sumber: Hasil Kajian M. Arfin Hamid, 2004

Prinsip ini berlawanan dengan tanda bilangan dalam teori perhitungan.

Masalah Dasar Kualifikasi Keabsahan Dasar Hukum

Objek Positif Positif Positif Negatif Negstif + + + = +
Proses Positif Positif Positif Negatif Negatif + + - = +
Hasil Positif Positif Negatif Positif Negatif - + + = -
Pemanfaatan,
pengelolaan Positif Negatif Negatif Positif Negatif - + - = -
Kesimpulan Positif Positif Negatif Negatif Positif - - - = +

Dengan demikian pandangan yang menyatakan unsur kehalalan yang lebih besar dari unsur keharaman menjadi halal terbantahakan dengan terori tazkiyah tersebut. Konsep dua kulla dalam sebuah kolam air menjadi dasar sahnya perbuatan wudhu tidak dapat dijadikan sebagai dasar anologi dalam menentukan kehalalan suatu produk. Di dalam hukum Islam permasalahan halal dan haram sudah jelas. Sedangkan persoalan samar atau keraguan (syubhat) menjadi lapangan interpretasi. Dalam konteks ini, terdapat tiga upaya untuk membagi hukum menjadi tiga, menurut Abdul Aziz Abdullah bin Baz merupakan pembagian yang benar. Karena suatu persoalan tidak akan terlepas dari ketiga keadaan ini. Pertama, disebutkan dalam nash agar dikerjakan disertai ancaman bagi yang meninggalkannya. Kedua, disebutkan dalam nash agar ditinggalkan disertai ancaman bagi yang melakukannya. Ketiga, tidak ada keterangan dalam nash baik perintah maupun larangan.
Keadaan pertama dan kedua telah jelas persoalannya, tidak membutuhkan interpretasi, sedangkan persoalan ketiga merupakan persoalan ketidak-jelasan (syubhat) yang membutuhkan intrepertasi. Peluang untuk terjadi kontaminasi unusur keharaman semakin tidak terhindarkan. Karena itu, hukum Islam menempatkannya sebagai jalur yang sangat berisiko.
Membangun suatu sistem ekonomi dengan mengabaikan unsur tazkiyah akan memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana terbukti terjadi keterpurukan ekonomi dunia dikarenakan permainan spekulan terhadap pasar uang yang penuh dan sangat ribawi.
Hukum Islam menempatkan unsur kehalalan, kemanfaatan dan kesucian (tazkiyah) sebagai tiang kesehatan ekonomi. Persoalan spekulasi, penimpuan, ketidak pastian yang penuh ribawi sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

III. Penutup
Dalam pemberlakuan ekonomi Islam diperlukan tiga pilar utama sebagai dasar, yaitu pertama asas pembebanan hukum, yaitu subyek hukum yang dikenakan hak dan kewajiban dalam bertindak hukum. Asas kesertaan Tuhan dalam melakukakan aktifitas ekonomi dan ketiga asas kesucian dalam melakukan kegiatan ekonomi.


Pustaka

M. Arfin Hamid “Sistem Ekonomi Islam Konsep dan Aplikasinya pada Institusi Ekonomi Islam” Makalah, Disajikan dalam Dialog Antar Alim Ulama tentang Ekonomi Islam Solusi Pengentasan Kemiskinan, MUI Makassar 23 Mei 2009 di Hotel Singgasana Makassar, hal. 3
-----------, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) di Indonesia Aplikasi dan Prospeknya, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007
Syed Nawab Haider Naqvi. Islamic Economics Socity, penerjemah M. Syaiful Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin, dengan judul Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2003
Muhammad Husain Haikal.Sejarah Hidup Muhammad. Penerjemah Ali Audah, Litera AntaraNusa, Jakarta 2009,
Hudhari Bik, Tarikh Tasyri’ Al Islami, alih bahasa Mohammad Zuhri, Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Rajamurah-Alqona’ah, Semarang, 1980
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Mustafa al Babi Halabi, Mesir 1962
Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2007
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. Jilid 2, Kencana, Jakarta, 2008,
Paul Scholten, MR. C. Assers’s Handleiding Tot De Beoefening Van Het Nederlandsch Burgerlijk. Recht: Algemeen Deel, Terjemahan Siti Soemarti Hartono, dengan judul MR. C. Asser Penuntun Dalam Mempelajari hukum Perdata Belanda: Bagian Umum, Gajah Mada University Prees, Yogyakarta, 1993
L.J. van Apeldoorn, Inleiding tot de Studie van Het Nederlandse Recht.Terjemahan Oetarid Sadino dengan judul ,Pengantar Ilmu Hukum,Pradnya Paramita, Jakarta, 1996
Ajid Thahir, Studi Kawasan Dunia IslamPerspektif Etno-Linguistik dan Geo Politik, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009
Toto Tasmara. Menuju Muslim Kaffah Menggali Potensi Diri, Gema Insani, Jakarta, 2000
Hasbi Ash Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam 2, Bulan Bintang Jakarta, 1981,

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam. Logos Wacana Ilmu, Jakarta,1999
R. Soenarto Soerodibroto, KUHP & KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkama Agung dan Hoge Raad., RajaGrafindo, Jakarta 2006,
A. Mukti Arto, Garis Batas Kekuasaan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri; Penerapan Asas Personilitas Keislaman sebagai Dasar Penentuan kekuasaan Pengadilan Agama, Varia Peradilan, Jakarta Desember 2006 ,
Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariah. Kencana Jakarta2009
Halide, “Sistem Ekonomi Islam, Solusi Krisis Ekonomi”Makalah, Disajikan dalam Dialog Antar Alim Ulama tentang Ekonomi Islam Solusi Pengentasan Kemiskinan, MUI Makassar 23 Mei 2009 di Hotel Singgasana Makassar
Sayyid Sabiq, Fiqhi Sunnah, Jilid I, Terjemahan Nor Hasanuddin, Pundi Aksara, Jakarta 2007
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari, Pustaka Azzam, Jakarta 2005

Arah Kiblat Masjid-Masjid di Kota Ambon 75 % Menyimpang

A. Arah Kiblat Kota Ambon
Geografis kota Ambon berdasarkan data Departemen Agama RI 128º 14’ BT dan 3º 42’ LS. Data geografis tersebut menjadi dasar untuk menentukan berapa besar arah kiblat kota Ambon, dan data tersebut dijabarkan dalam rumus arah arah kiblat sebagai berikut:
Posisi geografis kota Makah: 21º 25’ LU dan 39º 50’ BT Langka penyelesaiannya digunakan ketiga rumus, yaitu rumus sinus dan Cosinus, rumus Analogi Napier dan rumus Cosinus dan sudut pembantu.
Hasil dari ketiga rumus tersebut menentukan bahwa arah kiblat kota Ambon adalah 68° 32’ dari arah Utara ke arah Barat atau 90º - 68° 32’ = 21º 28’ dari arah Barat kea rah Utara dengan pengertian lain bahwa besar azimut arah kiblat kota Ambon 291º 28’
Dari data tersebut menjadi dasar dalam menetapkan arah kiblat bangunan masjid di kota Ambon.
B. Cara Mengukur Arah Kiblat
Masjid sebagai suatu bangunan permanen mempunyai beberapa fungsi, salah satu di antaranya sebagai tempa shalat, tentunya dituntut untuk mengukur secara benar dan tepat arah kiblatnya. Keselahan mengukur arah kiblat masjid berarti secara terus menerus, selama bangunan itu dipakai untuk shlat, telah mengarahkan orang-orang shalat ke arah yang bukan arah kiblat shalat. Sangat riskan bila shalat berjama’ah, kesalahan itu berakibat makmun lebih ke depan dari pada imam shalat..
Arah kiblat masjid-masjid yang di bangun di kota Ambon dan sekitarnya kebanyakan arah kiblatnya tidak atau terjadi penyimpangan menurut perhitungan yang didasarkan data pada dagta geografis kota Mekkah dan kota Ambon. Hal ini sesuai dengan hasil temuan di lapangan.
Berdasarkan data Kantor Wilayah Agama Tahun 2005/2006 Jumlah Masjid di kota Ambon sebanyak 101 buah. Dari jumalah tersbut, 16 buah masjid yang dijadikan sampel. Hasil yang ditemukan di lapangan 12 buah masjid arah kiblatnya tidak sesuai dengan hasil perhitungan arah kiblat kota Ambon.Hal ini dilihat pada table di bawah ini. Arah kiblat berdasarkan besar azimuth yang dihitung berdasarkan arah jarum jam dimulai dari titik Utara.
NO NAMA MASJID KENYATAAN SEHARUSNYA PENYIMPANGAN

1. Al Fatah 291° 28’ 291° 28’ 0° 00
2. AnNurBatumerah 291° 28’ 291° 28’ 0° 00
3. Jami’i 301° 28 291° 28' 10° 32’U
4. Al Hijrah 303° 291° 28' 11° 32’U
5. Amal Shaleh 281° 28’ 291° 28' 10° 00’S
6. Alim Pattimura 280° 28’ 291° 28' 09° 00’S
7. Al Ikhlas 291° 28’ 291° 28’ 0° 00’
8. Manusela 276° 32’ 291° 28’ 14° 56’S
9. Mustakim 274° 28’ 291° 28’ 17° 00’S
10. Mardatillah 270° 291° 28’ 21° 00’S
11. Masjid Kapaha 291° 28’ 291° 28’ 0° 00’
12. Masjid Rinjani 278° 28’ 291° 28’ 13° 00’S
13. Masjid Ahuru 280° 28’ 291° 28’ 11° 00’S
14. Masjid Wara 274° 28’ 291° 28’ 17° 00’S
15. Sin Alauddin 280° 28’ 291° 28’ 11° 00’S
16. Tanjung Batumerah 280° 28’ 291° 28’ 09° 00’S

Pengukuran arah kiblat pada masjid-masjid yang dijadikan sampel dengan menggunakan alat, tongkat istiwa, dan kompas.
Untuk mengkonfermasi bagamana cara menentukan arah masjid yang dibangun ada 4 dasar yang dijadikan pedoman..
Pertama, karena Makkah berada di Barat maka mengukur arah kiblat cukup dengan menentukan arah barat dan timur. Dapat juga ditentukan berdasarkan tempat terbenam matahari. Pandangan semacam ini sangat beralasan berdasarkan realitas dan kebiasaan yang dialami sampai kini.
Kedua, mengukur masjid cakup menghadap ke Barat dengan mengarahkan badan sekitar 5 derajat ke Utara. Hal ini berdasarkan ajaran yang didapatkan dari orang yang mempunyai kemampuan memahami agama terutama dalam konteks shalat. Pandangan tersebut dapat diterima, bila daerah atau tempat yang ditentukan arah kiblatnya itu berada di bagian Selatan kota Makkah. Sedang untuk daerah yang berda di bagian Utara kota Makkah pendangan tersebut tidak dapat dijadikan dasar.
Ketiga, menentukan arah kiblat adalah suatu keyakinan bahwa di mana saja kita berada di sana ada Allah. Keyakinan seperti ini sering dilontarkan bagi mereka yang memahami prinsip syar’i dalam kondisi tidak tahu geografis tempat tersebut. Pandangan yang demikian juga, bila di dasarkan pada persoalan hukum dikatagorikan dalam konteks rukhsah.
Perlu dipahami bahwa konteks di manapun kamu berada di situ ada wahjah Allah, ini terkait dengan persoalan aqidah. Aqidah sebagai landasan spiritual untuk mengkaji dan memahami ayat-ayat kauniyah dan sebagai alat control dalam melakukakan aktifitas di dunia ini. Ini berarti konteks di manapun kamu berada di situ ada Allah bersifat umum, sedangkan landasan wahyu yang secara khusus memerintahkan untuk menghadap ke Masjid al Haram sebagai patokan kiblat bagi umat Islam dalam melakukan ibdah shalat. Menurut teori hukum, kaedah yang bersifat khusus didahulukan penerapannya dari kaedah yang bersifat umum.
Keempat, pengukuran didasarkan titik kordinat kota Makah dengan dasar azimuth. Pengukuran dengan dasar ini sering digunakan dalam pembangunan masjid di kota Ambon pada masa sekarang. Namun, masih terjadi penyimpangan dalam penentuannya. Hal ini disebabkan karena alat ukur yang digunakan adalah kompas, yang sangat mini. Di samping itu orang yang dimintai untuk menentukan arah kiblat tersebut belum memahami secara benar penggunaan kompas tersebut, dan tidak memahami letak azaimut arah kiblat kota Ambon.
Menurut Abdullah Soulisa masjid yang diukur didasarkan pada perhitungan geografis kota Ambon hanya Al Fatah. Alat ukur yang digunakan adalah tedoloit, yang didatangkan dari Institut Teknologi Bandung.
A. Rays Atamimi berpandangan bahwa, pengukuran arah kiblat masjid selama ini, tidak berdasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh Kanwil Agama propinsi Malaku. Hal ini disebabkan masyarakat Ambon selalu mengikuti pendapat orang yang dipandang memiliki pengetahuan agama terutama ulama yang dikultuskan. Walaupun ulama tersebut tidak mempunyai kapasitas pengetahuan untuk itu. Selanjutnya dikatakan bahwa penentuan arah kiblat masjid di kota Ambon yang dilakukan oleh masyarakat muslim selama ini, karena Makkah berada di bagian barat, maka posisi arah kiblat masjid mengarah ke barat, karena itu, apabila diukur tentunya terjadi penyimpangan yang signifikan.
Dari ke 16 buah masjid tersebut, yang tepat arah kiblatnya hanya empat buah, yaitu masjid Al FAtah, Masjid An Nur Batumerah, Masjid Kapaha dn Masjid Al Ikhlas Sungguh sangat menakjubkan, bahwa Masjid An Nur Batumerah yang dibangun pada tahun 1816 yang sampai kini telah mengalami tiga kali direnofasi, penetapan arah kiblatnya sangat tepat. Tentunya ulama yang mengukur Masjid tersebut memiliki pengetahuan perbintangan dan geografis. Masjid al Ikhlas merupakan hibah dari Abuha Tuasikal, yang pengukuran arah kiblatnya menggunakanalat ukur kompas.
Dari keempat cara dalam mengukur arah kiblat masjid di kota Ambon hanya dua cara yang dijadikan dasar, yaitu pertama dengan petunjuk arah barat atau arah terbenamnya matahari. Kedua keyakinan bahwa Allah itu berada di mana saja, oleh karena itu menghadap kiblat ke Masjid al Haram bukanlah suatu yang harus pasti, tetapi cukup dengan mengarahkan muka ke arah yang sejajar dengan Masjid al Haram.
Keterbtasan pemahan tentang posisi arah kiblat di wilayah kota Ambon dan sekitarnya dapat mempengaruhi penentuan dan cara mengukur arah kiblat pada sebuah masjid. Keterbatasan pemahaman tersebut menunjukkan bahwa masyarakat muslim kota Ambon tidak mempunyai pengetahuan hisab arah kiblat, jika ada sangat terbatas.
Berdasarkan pandangan-pandangan infomen tersebut dapat dipahami bahwa masyarakat muslim kota Ambon dalam membangun masjid tidak terikat dengan berapa besar posisi arah kiblat kota Ambon. Hal inilah yang menjadi penyebab terjadinya penyimpangan-penyimpangan arah kiblat masjid-masjid di kota Ambon.

Bidik Bibit Candra

putusan diponering kasus Bibit-Chandra sebagai suatu langkah taktis kejaksaan anggung. persoalannya mengapa upaya hukum ini baru dilakukan?. apakah benar dengan menlanjutkan kasus Bibit-Chandra kepentingan umum akan terganggu, atau mengganggu kestabilan nasional. Jika ia, adakah institusi negara dibalik semua itu, atau karena kepentingan institusi kejaksaan dan institusi KPK? tidak salah pernyataan jika hukum berhadapan dengan kekuasaan maka hukum itu lumpuh. dominasi kekuasaan mempertontonkan kelemahan penegakan hukum. Hukum hanya diperuntukan kepada mentan-matan pejabat, atau kepada masyarakat yang mencuri sebuah coklat atau sebuah semangka. kapan hukum menjadi alat kontrol sosial dan rekayasa sosial. apakah Teori Resco Pound tersebut hanya diperuntukan kepada masyarakat yang tidak atau kurang memilki otoritas dalam negara.
Kejaksaan agung dengan ototiritasnya secara gamblang menyatakan untuk menjaga stabilitas neasional kasus bibit chandar dihentikan. masyarakat berspekulasi, ada bahwa antra institusi kejaksaan dan KPK saling menggerogiki. ada intervensi dari lembaga eksekutif dalam kasus tersebut. walaupun kesemua itu dilakukan, status bibit dan candra masih terdapat pertanyakan apakah mereka tidak bersalah atau masih diduga tidak bersalah. untuk menjawab pertanyaan itu, maka sebaiknya kasus bibit chandra diputuskan di depan pengadilan.

Bidik Bibit Candra

Konsep Hari Menurut Kalender Hijriyah

Penentuan awal bulan qamariyah sangat terkait dengan penentuan hari. Hal ini dimaksudkan bahwa kapan terjadi hilal, hari apa, dan permulan perhitungan hari itu apakah pada waktu matahari terbit ataukah pada waktu matahari terbenam. Alqur'an hanya memberi sintilan dengan isyarat bawa pembagian hari (baca siang dan malam) ditunjukkan dengan simbul benang putih (al khait al abyad) dan benang hitam (al khait al aswad). Siang hari disimbulkan dengan benang putih dan malam hari disimbulkan dengan benang hitam. Persoalannya kapan permulaan hari dimulai. Alqur'an secara tegas tidak menginformasikan batas permulaan antara benang putih dan benang hitam. Aliran ijtima' sebelum fajar (qabla al fajr) menganggap bahwa permulaan hari adalah saat terbit fajar1. Landasan mereka adalah Qur'an Surat al Baqarah ayat 187. Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.
Sementara itu Saadoe'ddin Djambek berpendapat bahwa permulaan hari adalah saat terbenam.2 Pendapatnya didasarkan pada al Qur'an Suarat Yaasin ayat 40. Tidak mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.

PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PEDESAAN

Masyarakat pedasaan sebagai soko guru perkonomian memilki keterbetasan, selain karena ketidak mampuan dalam mengatur ekonomi keluarganya, juga ketidak tahuan megelola hasil pertaniannya. Selama ini setiap paket pemberdayaan ekoonomi yang dikecurkan oleh Pemerintah selalu mengalami kegagalan. Penerapan metode demi metode selalu terbentur dengan tingkat keterbatasan kemampuan masyarakat untuk memahaminya. Di sampint itu, pola kehidupan konsumtifisme yang sangat berakar dengan kehidupan sosial homogenitas, kultur ketergantungan ekonomi pada hasil tanaman tahunan, dan ketidak tahun masyarakat menggunakan sarana-sarana teknologi pertanian.
Untuk melepaskan masyarakat dari keadaan yang demikian itu, diperlukan sebuah sistem pengelolaan ekonomi dimana masyarakat tidak terlibat secara langsung dalam mengelola sumber dana ekonomi yang disediakan oleh pemerintah, namun masyarakat diposisikan sebagai pemegang saham (stockholder). Paket pemberdayaan itu didistribusikan kepada anggota masyarakat dengan menempatkan mereka sebagai investor, dan dikekola secara professional dengan system perusahaan serta anggota masyarakat pemegang saham iktu serta sebagai tenaga kerja.

Prospek Peradilan Agama

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum (recht staat dan rule of law) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945, berkeadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum dalam sistem dan penyelenggaraan hukum merupakan hal pokok yang sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang aman, tenteram, dan tertib. Untuk hal-hal tersebut dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakan hukum dan keadilan dengan baik.
Lembaga peradilan sebagai salah satu lembaga penegakan hukum dan keadilan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang (UU) No. 4 Tahun 2004 perubahan kedua atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer di bawah Mahkamah Agung.
Peradilan Agama sebagai pelaku kekusaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan dalam perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, infak, dan shadaqah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebut.
Berdasarkan Pasal 49 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas UU Nomor 7 Tahun 1989 kewenangan Peradilan Agama diperluas, meliputi diantaranya ekonomi syariah. Kewenangan Peradilan Agama di bidang ekonomi syariah menyangkut dengan kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah. Sengketa antara pelaku ekonomi yang berkaitan dengan perkara ekonomi syariah, seperti penggunaan modal yang tidak sesuai dengan kontrak perjajian dilakukan oleh debitur atau kealpaan kreditur yang menyebabkan kerugian bagi debitur.
Peradilan Agama berdiri selain karena faktor kompleksitas nilai kehidupan masyarakat yang menyentuh secara langsung atau tidak langsung yang terkait dengan nilai-nilai hukum, moral dan etika Islam, juga karena kebutuhan masyarakat dan bangsa Indonesia yang beragama Islam. Untuk itu, diperlukan adanya keseimbangan dalam penerapan hukum Islam kepada umat Islam di Indonesia, baik dari segi asubtansi hukum maupun dari segi lembaga yang menanganinya. Sehubungan dengan kedua hal tersebut, Peradilan Agama melaksanakan tugas-tugas peradilan dengan menerapkan hukum Islam dalam menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya berdasarkan nilai-nilai hukum Islam dan cita-cita batin umat Islam.
Keberadaan Peradilan Agama dalam wilayah Negara Republik Indonesia telah tumbuh dan berkembang atas kehendak bangsa Indonesia sejak sebelum pemerintahan kolinial terumata bangsa Belanda menginjakkan kakinya di bumi Nusantara. Dalam lintas perpolotikan baik di masa pemerintahan Kolinial Belanda maupun di Pemerintahan Negara Republik Indonnesia, Peradilan Agama selalu mengalami tekanan dengan berbagai alasan yang pada hakikatnya tidak diberikan peluang bagi umat Islam untuk menjalankan syariah (hukum) Islamnya. Misalnya di masa Pemerintahan Kolinial Belanda kewenangan peradilan agama untuk daerah Jawa dan Madura berdasarkan Stablat (Stbl) 1882 No. 152 jo Stbl. 1937 No. 116 dibatasi hanya memeriksa perkara perkawinan. Usaha untuk mengkerdilkan berlakunya hukum Islam melalui Stbl 1937 No. 116 tersebut sangat dipengaruhi oleh pandangan politisi dan akademik Belanda bahwa masalah perkawinan dan warisan adalah masalah negara. Karena itu agama Islam dapat dipandang sebagai negara dalam negara.
Peradilan Agama dalam sistem Pemerintahan negara RI mengalami hal yang sama. Hal ini diperkuat dengan terjadi keinginan politisi Islam di masana pemerintahan Orde Lama untuk memberlakukan hukum Islam sebagai dasar Negara. Di samping itu, para politisi nasionalis khawatir dengan pemberian kewenangan yang luas bagi Pengadilan agama berarti akan memberlakukan Piagam Jakarta. Hal ini terbukti dengan perbedaan istilah dalam penyebutan nama, seperti sebutan Peradilan Agama untuk daerah Jawa berdasarkan stbl. 1882 No. 152 jo stbl 1937 No. 116, Kadhi dan kerapatan kahdi Besar di Kalimatan Selatan berdasarkan Stbl. 1937 No. 638 jo Stbl. 1937 No. 639, Mahkama Syariah untuk di luar Jawa dan Madura serta Kalimatan Selatan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957
Pembedaan penyebutan Peradilan Agama diikuti dengan pembatasan pemberian kewenangan. Seperti stbl 1882 No. 152 Pengadilan Agama hanya memeriksa perkara perkawinan. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan Kewenangan Pengadilan Agama sebatas menerima, memeriksa, dan memutusakan perkara sengketa perkawinan. Sedangkan untuk melaksakan putusannya masih diperlukan pengukuhan dari Pengadilan Negeri. Keadaan ini berlaku sampai diundangkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. UU Peradilan Agama pun memberikan kewenanga penyelesaian perkara waris, wasiat dan hibah masih diberikan pelihan hukum bagi umat Islam. Demikian juga halnya dengan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah. Berdasarkan UU perbankan syariah pencari keadilan masih diberikan opsi untuk menentukan lembaga peradilan yang akan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Walaupun menurut UU No. 3 Tahun 2006 perubahan dari UU No. 7 Tahun 1989 bahwa Pengadilan Agama berkewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Demikian juga, perbedaan pandangan dalam menjadikan nilai-nilai hukum Islam menjadi hukum positif sering terjadi tarik menarik antara kekuatan politk nasionalis dan Islam telah menjadi dua pilar kekuatan raksasa yang menentukan stabilitas pengelolaan kekuasaan atau penyelenggara pemerintahan. Tak ada kekuasaan yang benar-benar stabil, selama dua pilar kekuatan tersebut tidak bersatu dan tanpa kesungguhan menyangga kekuasaan. Di balik itu, stabilitas kebersatuan dari kedua kekuatan politik, yaitu nasionalis dan Islam, justru menjadi tumpuan bagi stabilitas nasional. Dapat juga dikatakan bahwa keseimbangan kekuatan (balance of power) nasionalis dan Islam menjadi kestabilan kekuatan kekuasaan dan percaturan politik. Kekuasaan tergoncang ketika terjadi karena ketidak-seimbangan atau tergangung terhadap the balance of power.
Disamping itu, hakim Peradilan Agama harus mengikuti perkembangan hukum umum yang selalu bergerak secara dinamis di tengah era globalisasi, dan menggunakan hukum tersebut tanpa meninggalkan prinsip-prinsip hukum Islam yang telah ditentukan
Penyempitan atau pembatasan kewenangan Peradilan Agama di bidang perdata tertentu, dan tidak menyentuh bidang pidana, padahal persoalan umat Islam yang terkait dengan pemalsuaan terhadap nilai-nilai ajaran Islam, seperti yang dituduhkan pada kelompok Ahmadiyah, institusi mana yang berwenang menyatakan bahwa ajaran yang diajarkan atau di kembangkan bertentangan dengan ajaran Islam. Persoalan pernikahan di bawah tangan atau nikah siri menjadi polimik baik di kalangan ulama, maupun di kalangan politikus terkait dengan sanksi pidana.
Semangat dalam merealisasikan nilai-nilai hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional semakin dimanifestasikan dalam berbagai bentuk regulasi. Oleh sebab itu, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam sudah saatnya dan sewajarnya menjadi inspirator pembangunan hukum nasional dari produk hukum yang bernilai sekuler menuju hukum yang Islami dengan tidak mengabaikan kemajemukan.
Di samping itu, karena hukum merupakan produk politik dan yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik, maka hukum Islam yang menjadi cita-cita dan jiwa umat Islam dalam bernegara memerlukan campur tangan kekuasaan dengan melalui legislasi. Sehubungan dengan itu setiap pembahasan regulasi terkait dengan kewenangan Peradilan Agama selalu terjadi perbedaan politik. Seperti pada pembahasan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Slogan Indonesia bukan negara agama, pemberlakuan Piagam Jakarta dan terdapat sifat-sifat antipati terhadap Islam.
Perluasan kewenangan Peradilan Agama di bidang pidana tertentu berdasarkan prinsip syariah dapat dimungkinkan, persoalan minuman keras, judi, penguran takaran, zina, dan pelacuran sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Di samping itu, dengan otonomi daerah ada beberapa daerah seperti Kabupaten Cianjur, perda tentang larangan pelacuran, Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat (Padang) menghendaki agar syariat Islam diberlakukan. Bahkan daerah Banten telah memperdakan larangan membangun tempat protosusi dan daerah Padang memperdakan hukum berjilbab.
Penempatan kewenangan kepada sebuah institusi dapat dilihat dari dua sudut sumber hukum, yaitu sudut sumber hukum formil dan sudut sumber hukum materil. Dari sudut formil Peradilan Agama oleh UU memberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, infak, shadaqah dan ekonomi syariah. Dengan demikian, Peradilan Agama mempunyai tugas menerima, memeriksa dan menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, infak, shadaqah dan ekonomi syariah merupakan perwujudan dari cita-cita hukum dan cita-cita batin umat Islam Indonesia diharapkan memberikan jaminan kepastian hukum yang dapat melahirkan ketaatan umat Islam atas aturan-aturan tersebut. Ketaatan masyarakat didasarkan sejauhmana nilai-nilai hukum itu kesesuaiannya dengan nilai-nilai yang dianutnya dalam kehidupan sehari-sehari.
Kesadaran akan perlunya institusi peradilan yang akan menangani sengketa yang berhubungan dengan kehidupan umat Islam yang betul-betul mengetahui dan memahami niliai-nilai hukum Islam, baik nilai-nilai yang terkait dengan hak-hak privat maupun hak-hak publik.
Norma-norma hukum Islam kebanyakan bersumber dari nilai-nilai hukum Islam (Alqur’an dan Sunnah Rasul), yang tersebar dalam berbagai kitab fikih. Umat Islam dengan prinsip penerima otoritas hukum atau prinsip syahadat, tentunya menerima dan mentaati nilai-nilai hukum yang bersumber dari wahyu itu adalah suatu legal spesifik tanpa membedakan mana nilai-nilai hukum yang bersifat ibadah khusus dan nilai-nilai hukum yang bersifat ibadah umum (ibadah sosial atau muamlah). Namun, dalam realitasnya belum sepenuhnya diterima dan diberlakukan secara efektif.
Efektif hukum akan terwujud, apabila sistem hukum yang terdiri atas subtansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum bersenergi dalam mendukung pelaksanaan hukum. Subtansi hukum yang dimaksudkan adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia dalam sistem itu. Struktur hukum adalah bentuk yang memperlihatkan bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan formalnya oleh lembaga-lembaga hukum atau aparat penegak hukum. Struktur hukum sebagai unsur pokok dari sistem hukum merupakan kerangka hukum, mencakup pranata-pranata penegak hukum, prosedur-prosedur hukum, jurisdiksi pengadilan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya (aparat hukum). Faktor budaya adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaiamana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Komponen budaya terdiri atas nilai-nilai dan sikap warga masyarakat yang merupakan pengikat sistem hukum, serta menentukan sistem hukum itu di tengah-tengah kultur bangsa sebagai keseluruhan.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum Islam belum sepenuhnya dapat diterima oleh masyarakat muslim. Misalnya norma-norma hukum syariah yang diimplementasikan dalam kegiatan lembaga-lembaga ekonomi syariah. Demikian juga, masih terjadi pemahaman bahwa kegiatan lembaga-lembaga keuangan syariah dalam menghimpun dana masyarakat sama dengan lembaga-lembaga keuangan konvensional. Oleh karena itu, rasa keadilan dan kepastian hukum bagi nasabah masih dalam tataran ide.
Disadari bahwa setiap manusia selalu dihadapkan dengan masalah keadilan dan ketidak-adilan, dan tidak pernah lapuk atau surut karena waktu, selalu mengilhami manusia untuk membela dan menegakkannya. Syariat Islam telah memerintahkan untuk menegakan kebenaran dan keadilan berdasarkan Alqur’an dan melarang membela orang yang beritikad tidak baik (berhianat).
  Syariat Islam memerintahkan agar para pemegang kekuasaan dalam menyelesaiakan suatu masalah selalu berdasarkan wahyu (Alqur’an dan Sunnah Rasulullah Shalallah ‘Alaihi Wassalam.) dan harus berpihak kepada kebenaran dan menentang perbuatan penghianatan. Sebuah konsep syar’i (hukum Islam) yang menunjukkan bahwa tidak dibenarkan kepada siapapun dalam menegakkan hukum bertentangan dengan norma-norma hukum yang terdapat dalam Alqur’an dan Sunnah Rasulullah Shalallah ‘Alaihi Wassalam. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam mengkaji dan menganalisis fenomena hukum  digunakan pendekatan ilmu hukum normatif, pendekatan dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis norma-norma hukum baik norma hukum positif maupun norma-norma hukum  Islam yang tersebar pada kitab-kitab fikih. Disamping pendekatan normatif, digunakan juga pendekatan  empiris    yang melihat hukum sebagai pelaku (behaviour), melihat hukum sebagai tindakan (action) atau melihat hukum sebagai suatu realitas (reality). Namun, pendekatan empiris hanya sebagai pendukung untuk mempertajam analisis terhadap norma-norma hukum normatif.