Apakah Hukum Pancasila hukum etis?

Hukum Islam dengan konsep lima hukum, yaitu wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. hukum wajib jadalah kewajiban dilaksanakan akan mendapatkan prestasi yang tinggi dan jika diabaikan akan memperoleh ketidak yamanan. sunah keharusan dilaksanakan akan mendapatkan prestasi dan jika melalaikan tidak mendapatkan kenistaan. haram kewajiban untuk mengabaikan akan mendapatkan sebuah prestasi yang baik dan bila melakukan akan mendapat ketidak kebahagiaan. makruh keharusan untuk mengabaikan akan mendapatkan manfaat, jika dilakkuan tidak akan mendapatkan kenistaan, sedngkan mubah dikerjakan atau tidak dikerjakan tidak akan menambah dan tidak akan mengurangi prestasi.   kelima hukum ini disebut  dapat dikatagorikan dalam hukum etis.   hukum nasional juga mengadung  hukum etis, hukum etis yang dimaksudkan  bukan  aliran hukum etis seperti dikenal dalam ilmu hukum. tetapi hukum etis hukum yang terdapat dalam Pancasilan dan pembukaan UUD NKRI Tahun 1945. yaitu nilai moralitas bangsa yang pluralitas, jika hukum nasional akan mengantur tentang kepentingan umat Islam, maka hukum tersebut tidak akan diberlakukan bagi non mulis. jika mereka tunduk kepadanya atau tidak tunduk kepadanya tidak akan mendapatkan ganjaran dan jika   mereka tunduk kepdanya tidak akan mendapat manfaat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 23 TAHUN 2004 PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF FILSAFAT ILMU

  
A. Latar Belakang Masalah   
Setiap warga Negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekarasan sesuai dengan fasafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19945. maka segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan secara bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
Terkait dengan keadaan tersebut, korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari Negara dan masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekeerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagiah, aman, tenteram dan damai adalah cita-cita luhur dan dambaan setiap orang dalam rumah tangga.
Nagara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Hal ini dimaksudkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.

Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukanan rumah tangga sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkungan rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga.  Keutuhan dan kerukunnan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendlian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga.
Realitas di masyarakat menunjukkan kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan setiap hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan kekerasan dalam rumah tangga. Dan untuk mencegah, melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dan pengendalian diri dalam rumah tangga, Negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara  Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga lahir sebagai suatu pemecahan atas timbulnya berbagai kekerasan dalam rumah tangga, terutama kekerasan terhadap perempuan.
Jika diliahat dari fungsi dari  undang-undang ini selain mengatur hal-hal pencegahan, perlindungan dan pemulihan terhadap korban kekerasn dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik unsure-unsur tindakan pidana yang berbeda dengan tindak pidana pengananiyaan yang diatur dalam KUHP. Demikian juga, mengatur hal-hal yang terkait dengan kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja social, relawan pendamping atau pembibing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitive dan respntif terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.
Kehadiran  Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga telah  menjadi polimik, ada yang meresponi secara positif  bahwa itu merupakan suatu payung hukum bagi perempuan. Ada juga yang menilai bahwa persoalan perlindungan perempuan dari kekerasan  seksual  dalam rumah tangga menyimpang dari nilai-nilai  agama. Selain itu, memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan yang begitu  luas dimungkinkan melahirkan sikap egoistis dan ambigiutas dalam rumah tangga.
Dari urian di atas isu hukum yang muncul adalah apakah dengan undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dapat memberikan perlindungan kepada perempuan atas kekerasan dalam rumah tangga.  Hal ini, diperlukan suatu kajian dari sudut keilmuan, dalam hal ini filsafat ilmu dan ilmu hukum. Konsekuensi dari tinjaun ini maka kajian yang dilakukan dengan pendekatan epestimologi untuk memperoleh kebenaran ilmiah.

B. Pengertian Nilai, Norma, Norma Hukum dan Perlindunagan Hukum  
1. Hakekat Nilai
Kata nilai mempunyai beberapa makna, seperti yang dikemukakan oleh Kattsof yang dikutip oleh Sulistyandari  diantaranya;
(1)   mengandung nilai (artinya, berguna);
(2)   merupakan nilai (artinya, baik atau benar atau indah);
(3)   mempunyai nilai (artinya, merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui, atau mempunyai sifat nilai tertentu);
(4)   memberi nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu).[1]

Dari beberapa pemaknaan nilai tersebut, mengandung makna bahwa nilai mempunyai hubungan yang luas, baik yang menyangkut dengan nilai pragmatis, nilai etis atau moral, nilai yuridis seperti terwujud di dalam salah satu asas   yang dikemukakan oleh Scholten yang dikutip oleh Soeyadi  bahwa hukum berpihak pada kebaikan dan menolak kejahatan, maupun menyangkut dengan nilai estetika.[2] Masalah nilai secara umum dalam objek kajian filsat adalah aksiologi.
Lasiyo memberikan pengertian nilai sebagai berikut:
(1)    nilai merupakan kesepakatan yang disebut oleh kumunitas tertentu sebagai dasar pijakan untuk membandingkan dan menghargai sesuatu;
(2)    nilai dengan demikian tidaklah netral, karena bangunan nilai yang disusun sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya dan kondisi lingkungan yang dia tempati;
(3)    perbedaan nilai dapat dilihat dari perbedaan persepsi seseoarang dalam memahami apa yang dia lihat, dia raskan dan apa yang ingin dia aktualisasikan;
(4)    jadi, nilai yang universal itu tidak akan ada selama manusia masih mempunyai persepsi yang berbeda, persaan yang berbeda, dan keinginan yang berbed.[3]

Menurut Sulastyandari dalam tulisannya Perlindungan Hukum Terhadap nasabah penyimpan Dana Menurut UU LPS dalam Perpekstif Filsafat Ilmu, yang disunting oleh Trianto dan Titik Triwulan Tutik (2007 : 250) nilai itu erat hubungannya dengan pikiran, rasa, cipta manusia.
Jika demikian, dalam pengembangan ilmu hukum tidak terlepas dari nilai. Sebab objek kajian ilmu hukum adalah hasil cipta manusia untuk memenuhi kepentingan manusia akan rasa  kertiban, ketentraman, kedamaian dan keadilan. Ini menunjukkan bahwa ilmu hukum itu syarat dengan nilai.
2.  Norma, Norma Hukum dan Perlindungan Hukum
Untuk mengatur kepentingan manusia di dalam masyarakat terdapat beberapa kaidah social, yakni kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah kesopnan atau kebiasaan dan kaidah hukum[4]  Kata kaidah berasal dari bahsa Arab, oleh karena itu pengertian kaidah dalam penulisan menjadi rujukan pengertian menurut ahli hukum Islam. Dalam istilah ilmu kaidah hukum Islam dijelaskan dua istilah, yakni kaidah dan hukum (fikih). Fikih yang dimaksudkan disini adah doktrin (hasil pemikian atau pendapat ahli hukum Islam).
Kata kaidah dalam Kamus Arab-Indonesia   adalah dasar, asas dan fondasi.[5] Al Zarqa (1989 : 33) memberi arti kaidah sebagai asas yang  konkrit (indrawi) maupun yang abstrak (ma’nawi).[6] Menurut ahli ahli hukum Islam kadidah peraturan umum yang mencakup pada semua bagiannya supaya diketahui hukum-hukumnya berdasarkan aturan-aturan umum tersebut.[7]
Dalam Kamus Besara Bahasa Indonesia kaidah adalah rumusan asas yang menjadi hukum, aturan yang sudah pasti patokan.[8]  Sedangkan pengertian norma adalah aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok manusia, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan pengendalian tingkah laku yang sesuai dan diterima: setiap warga masyarakat harus menaati norma yang berlaku; aturan, ukuran, atau kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai atau membandingkan sesuatu[9] Antara kaidah dan norma tampaknya mempunyai pengertian yang sama, sehingga kaidah itu merupakan padanan dari norma. Pengertian hukum adalah (1) peraturan atau adapt yang secara resmi dianggap mengikat yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah.(2) undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) patokan (kaidah, aturan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu; (4)  keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (di pengadilan); vonis[10] Tujuan hukum menurut van Apeldoorm   adalah perdamaian.[11]
Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap yang merugikannya. Hukum mempertahankan kestabilan, ketertiban, dan kedamain di antara manusia.  Kuntinyunitas sifat hukum untuk mengatur pola hidup manusia, sedapat mungkin munusia dalam pergaulannya selain menjaga kelanjutan hak-hak asasi yang dipunyainya, juga menjaga keseimbangan hak-hak itu dengan hak-hak masyarakat. 
Hukum mempertahankan perdmaian dengan menimbang kepentingan-kepentingan yang dilindungi secara teliti dan mengadakan keseimbangan di antaranya, karena hukum hanya dapat mencapai tujuan mengatur pergauln hidup secara dmai jika ia menuju peraturan yang adil, adil artinya peraturan dimana terdpat keseimbangan antra kepentinga-kepentingan yang dilindungi, dimana orang memperoleh sebanyak meungkin yang menjadi baginannya. Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan pemerataan. Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.[12]
Aristoteles menunjukkan bahwa keadilan itu terdiri atas keadilan distributieve, dan keadilan commutative. Ajaran Aristoteles ini telah menjadi dokktrin bagi ahli hukum. Konsep hukum Islam menempatkan keadilan sebagai cita-cita hukum yang esensial, dengan proses peradilan yang lurus  dengan menetapkan putusan yang benar.
Perlindungan hukum  dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ada dua bentuk perlindungan, (1) bentuk perlindungan sementara; (2) perlindungan berdasarkan penetapan  pengadilan.
Perlindungan sementara  adalah perlindungan yang diberikan oleh Negara paling lama 7 hari sejak korban diterima atau ditangani. Dalam waktu 1 X 24 (satu kali dua puluh empat jam) terhirung sejak  mengetahui atau menerima laporan kekerasan rumah tangga, kepolisian wajib segara memberikan perlindungan sementara pada korban. Dalam memberikan perlindungan sementara menurut undang-undang kepolisian dapat  bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja social, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Perlindungan berdasarkan pengadilan ketua pengadilan  dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut. (Pasal 28).  
Perlindungan hukum yang dimaksudkan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh keluarga, advokat, lembaga social, kesjaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya, baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
3. Pengertian Kekerasan  dalam Rumah Tangga
Undang-Undang memberikan pengertian kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhada seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk  melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan.(Psl 1 angka 1). Pasal 1 angka 2 pengertian penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh Negara untuk menjegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.  

C. Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Tinjau dariAaspek Epestimologi

Untuk menjawab apakah konsep undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah  tangga memberikan perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga terutama perempuan? Terlebih dahulu harus dijelaskan hubungan hukum dengan tindakan perlindungan hukum. Apakah hubungan haukum itu bersifat privat atau bersifat publik. Hal ini dikaitakan dengan konsep perlindungan hukum yang berbeda antara hukum yang mengatur hubungan hukum privat dengan  hukum yang mengatur hukum publik. Perbedaan hukum privat dan hukum publik perlu dijelaskan agar dapat diperoleh suatu pengertian terhadap kedua jenis hukum tersebut.
Perbedaan kedua jenis hukum itu dapat dijelaskan oleh N.E. Algra, et.al   sebagai berikut:
  1. Hukum privat mengatur hubungan antara warga Negara yang satu sama lain. Yang khas bagi hukum privat adalah pangkal tolak, bahwa pada prinsipnya warga Negara boleh mengatur sendiri menurut pandangannya hubungan satu sama lain. Masalah pokok otonomi warga Negara ini antara lain adalah milik pribadi, kebebasan membuat testament dan kebebasan membuat kontrak. Hukum publik mengatur organisasi Negara (hukum tata Negara) dan hubungan penguasa dan warga Negara (hukum administrasi dan hukum pidana), yang terakhir hukum publik mencampur tangan pemerintah yang aktif dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum publik sepanjang tidak mengenai lembaga Negara pengawasan adalah bahwa hubungan hukum itu ditetapkan secara publik oleh pemerintah seperti penetapan pajak, pemberian izin membangun.

  1. dalam hukum privat hal mempertahankan haknya itu di tangan para warga Negara itu sendiri, dalam hal mana mereka memang terikat pada prosedur yang telah ditetapkan. Dalam hukum publik hal mempertahankan haknya pada umumnya di tangan pemerintah. Misalnya pembongkaran bangunan, tanpa izin oleh kotapraja, tuntutan hukum seorang tersangka di tangan jaksa.

  1. tujuan hukum privat adalah kepentingan perseorangan dari warga Negara; tujuan hukum publik adalah kepentingan umum. Perbedaan ini memang diperoleh kejelasan, karena 1) pengertian kepentingan umum adalah suatu pengertian yang samara 2) pengertian kepentingan umum dan kepentingan pribadi sering tidak dapat dibedakan dengan jelas satu sama lain[13].

Perkembangan masyarakat yang begitu cepat, dengan begitu banyak  hukum yang diproduk makin sulit dibedakan batas antara hukum publik dan hukum privat dalam prakteknya. Ini berarti, bahwa makin kurang dapat diadakan suatu pembedaan teoritis yang tajam dengan ukuran yang jelas. Jika dapat diadakan pembedaan, hanya sebatas dalam bentuk hukum publik yang khas dan bentuk hukum privat yang khas pula, tetapi tidak mungkin lagi diadakan pembagian yang pas sebagaimana pernah diakan dalam hukum publik  dan hukum privat. Pembedaan apakah hukum publik, privat atau campuran mempunyai arti penting dalam penyelesaian persoalan yuridis, hubungan apa yang dilihat antara hukum publik dan hukum privat dan konsekuensi apa yang ditarik darinya.
Ruang lingkup undang-undang penghapusan kekerasan dalam tangga tidak terbatas pada pengaturan hubungan publik (hubungan antara warga Negara dengan pemerintah saja tetapi juga mengatur hubungan privat (hubungan antara orang/korban kekerasan dalam rumah tangga) dengan institusi-intitusi yang ditentukan dalam undang-undang ini. Karena undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sifatnya memaksa, yang mengatur mengenai sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga (kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga).
Berdasarkan ketentuan Pasal 5, 6, 7, 8, dan 9 UU No. 23 Tahun 2004 adalah   larangan kekerasan dalam rumah tangga, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 16   UU No. 23 Tahun 2004 pemberian perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga oleh kepolisian, dan kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Selanjutnya di Pasal 44, 45, 46, 47, 48, 49 dan 50 UU No. 23 Tahun 2004 adalah sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku kekerasan dalam rumah tangga seperti tertuan pada pasal-pasal yang menyangkut dengan  pelarangan kekerasan dalam rumah tangga. Keterkaitan dari paal-paal tersebut menunjukkan perbuatan itu termauk perbuatan hukum publik, sehingga dapat dipahami bahwa hubungan hukum antara kepolisian dengan korban dan kepolisian sebagai penyidik terhadap kekerasan dalam rumah tangga merupakan hubungan hukum publik. Selain itu jika ditinjau Pasal 4 huruf (d) adalah memelihara keutuhan rumah tangga yng harominis dan sejahtera, Pasal 5 huruf (d) menyangkut penelantaran rumah tangga.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 34 ayat (3) jika suami atau isteri melalikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Demikian juga dalam Peraturan Pmerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 19 huruf (b) dikakan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam 2 (2) dua tahun beruturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; selanjutnya dalam pasal yang sama  di huruf (f) dikatakan antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Dari pasal-pasal yang disebutkan di atas baik  UU Nomor 1 Tahun 1974 maupun PP Nomor 9 Tahun 1975 adalah mengatur tentang alasan peceraian. Penelantaran  rumah tangga  berdasarkan Pasal 5 huruf (d) UU Nomor 23 Tahun 2004 dalam penjelasannya dinyatakan cukup jelas. Tidak ditemukan kreteria jelas  penelantaran  dalam tangga, sedangkan UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 34 ayat (3) dan PP Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (b) dan (f) menjadi ukuran penelian dapat dibolehkan suatu perceraian.
Selanjutnya  Pasal 44,  dan 46  UU Nomor 23 Tahun 2004 menyangkut dengan tindakan kekerasan fisik dalam rumah tangga dengan hukuman penjara 5 tahun dan sampai menjatuhkan korban dikenakan hukuman 10 tahun penjara, dan tindakan kekerasan seksual dalam rumah tangga dikenakan hukuman penjara 12 tahun.  Apabila pasal tersebut dikaitkan dengan Pasal 19 huruf (c) dan huruf (d) adalah   salah satu pihak mendapat  hukuman penjara 5 (lima) tahun atau yang lebih berat setelah perkarwianan berlangsung; dan salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain sebagai alasan untuk dapat  dilakukan upaya hukum perceraian.
Dari hubungan hukum antara pasal-pasal tersebut merupakan cirri-ciri hukum perdata yaitu mengatur hubungan antara warga Negara yang satu dengan warga Negara yang lain (aturan tentang hak dan kewajiban rumah tangga untuk menjamin ketenteraman kelestarian rumah tangga), hal mempertahankan haknya itu di tangan para warga Negara itu sendiri, dalam hal mana suami isteri terikat pada prusedur yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan (salah satu dari suami isteri merasa tidak bisa hidup damai dalam rumah tangga dapat mengajukan permohan atau gugatan perceraian ke Pengadilan). Tujuan hukum privat adalah kepentingan perorangan (mengatur kepentingan kerukunan dan ketenteraman dalam rumah tangga).
Dengan demikian, perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dalam UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah perlindungan hukum yang sesuai dengan ketentuan yang mengatur hukum publik, dimana setiap korban kekerasan dalam rumah tangga memperoleh hak/perlindungan sesuai yang diberikan oleh Negara (keadilan distributif), dan sesuai dengan ketentuan yang mengatur hubungan hukum privat, dimana setiap suami isteri memperoleh hak/perlindungan sama banyaknya (keadilan kommutatif).

D. Penutup
Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga didalamnya mengatur hokum publik dan mengatur hokum privat, konsisten dengan hal  itu, maka konsep perlindungan hokum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga adalah perlindungan hokumnya sesuai  dengan ketentuan yang mengatur hubungan hokum publik dimana korban memperoleh hak/perilindungan sesuai yang diberikan oleh Negara (keadilan distributive), dan sesuai dengan ketentuan yang mengatur hubungan hokum perdata, dimana setiap suami isteri memperoleh hak/perlindungan sama banyaknya (keadilan commutatif).













DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, Pasantren al Munawwir, Yogyakarta, 1884

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustakah, Jakarta, 2001

Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh sejarah dan Kaidah Asasi, Raja Garafindo, Jakarta, 2002


L.J. van Apeldoorm, Inleiding tot de Studie van het Nederlands Recht, diterjemahkan dalam Bahsa Indonesia dengan judul Pengantar Ilmu Hukum,  Pradnya  Paramita,  Jakarta,   1996

Lasiyo, Hand Out Filsat Ilmu Pengetahuan, Pascasrjana Universitas Gajah Mada, 2006

Mushthafa Ahmad al-Zarga, Lamhat Tarikhiyyat ‘an al-Qawa’id al-Fiqhiyyat al-Kulliyyat, Dar al-Qalam, Damaskus, 1989

N.E. Algra, K.van Duyvendijk, J.C.T. Simorangkir, Boerhanoeddin Soetan Batoeh, Pengantar Ilmu Hukum, Bina Cipta, 1983

Soeyadi, Pancasila Sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia (Analsis Filsafati), Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1998

Sudikno Metrokusumo, Mengenal Hukum,  Liberty, Yogyakarta, 1991
Trianto dan Titik Triwulan Tutik (Penyuntin), Bunga Rampai Hakekat Keilmuan Ilmu Hukum (Suatu Tinjauan dari Sudut Pandangan Falsafat Ilmu), Prestasi Pustaka, Jakarta: 2007

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang  Perkawinan di Indonesia

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Peraturan Pemrintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


[1] Trianto dan Titik Triwulan Tutik (Penyuntin), Bunga Rampai Hakekat Keilmuan Ilmu Hukum (Suatu Tinjauan dari Sudut Pandangan Falsafat Ilmu), Prestasi Pustaka, Jakarta: 2007, h. 249

[2] Soeyadi, Pancasila Sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia (Analsis Filsafati), Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1998, h. 24

[3] Lasiyo, Hand Out Filsat Ilmu Pengetahuan, Pascasrjana Universitas Gajah Mada, 2006, h. 21

[4] Sudikno Metrokusumo, Mengenal Hukum,  (Liberty, Yogyakarta, 1991), h. 5

[5]Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, (Pasantren al Munawwir, Yogyakarta, 1884), h. 1224

[6]Mushthafa Ahmad al-Zarga, Lamhat Tarikhiyyat ‘an al-Qawa’id al-Fiqhiyyat al-Kulliyyat, Dar al-Qalam, Damaskus, 1989, h. 33
 
[7] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh sejarah dan Kaidah Asasi, Raja Garafindo, Jakarta, 2002, h. 3

[8] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustakah, Jakarta, 2001, h. 489

[9]Ibid., h. 787

[10] Ibid,. h. 419

[11]L.J. van Apeldoorm, Inleiding tot de Studie van het Nederlands Recht, diterjemahkan dalam Bahsa Indonesia dengan judul Pengantar Ilmu Hukum,  Pradnya  Paramita,  Jakarta,   1996, h. 10 
[12]Trianto dan Titik Triwulan Tutui, op.cit., h. 252
[13] N.E. Algra, K.van Duyvendijk, J.C.T. Simorangkir, Boerhanoeddin Soetan Batoeh, Pengantar Ilmu Hukum, Bina Cipta, 1983, h. 163-173

Fakultas Syariah dan Hukum Islam di Indonesia

Keberadaan fakultas syariah di Perguruan Tinggi Agama Islam sebagai respon terhadap perkembangan hukum di Nusantara ini. Fakta sejarah menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan Islam di nusantara ini menjadikan hukum Islam sebagai hukum kerajaan, walaupun  masih didapatkan   ada  hukum adat yang berlaku, ini sangat kecil jika dibandingkan dengan hukum Islam. Seperti hukum  wakaf, hukum waris, wasiat dan hukum perkawinan. Bahkan telah menyentuh hukum pidana, terutama pidana hudud.
Di samping itu, pada awal masa penjejahan Belanda hukum Islam masih tetap diberlakukan, walaupun hanya untuk tujuan politik. Keberlakuan hukum di Nusantara sangat dominan sehingga hukum adat seakan-akan tidak mempunyai tempat pada kerajaan Islam, bahkan terjadi Islamisasi terhadap hukum adat. Sebagaiaman yang telah dikemukakan oleh Van Deberg dengan teori resepsi  in cimplexnyanya. Tetapi dengan kecerdasan dan ketaktikan Snouck Horgronye, teori Van Deberg ini dipolitisir menjadi teori resepsi di mana hukum Islam dapat diberlakukan apabila hukum adat telah menerimanya.
Dari teori Snouck tersbut, maka hukum Islam semakin tersisikan dari pergaulan masyarakat nusantara, walaupun dalam perkara-perkara perdata keluarga tertentu  masih digunakan hukum Islam sebagai dasar penyelesaiannya. Di samping itu, telah didirikan sekolah tinggi hukum oleh Belanda. Dari sekolah tersebutlah menelorkan beberapa pakar hukum Nasional dan senagat berpengaruh terhadap perkembangan hukum di Indonesia.
Pasal 2 aturan tambahan dalam Undang-Undang Dasar 1945, telah memberikan legitimasi untuk  peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku di masa penjejahan Belanda tetap berrlaku selama belum ada peraturan perundang-undangan yang baru.
Terlepas dari kedua teori tersebut, dengan adanya badan peradilan Agama eksistensi hukum Islam tetap tereksis di nusanatara ini, yang khususnya menengani perkara-perakara perdata yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam.
Hukum Islam sebagai salah satu sumber penggalian hukum Nsioanal dan juga adalah hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat Islam, berpontensi untuk digali dan dijadikan sebagai hukum nasional. Oleh karena itu keberadaan fakultfas Syariah sebagai fakultas yang akan menyedorkan ahli hukum Islam mempunyai prospek yang sangat menentukan perjalanan hukum nasional.
Persoalan sengketa lembaga-lembaga ekonomi Islam (bank syariah, asusransi syariah, lembaga penggadaian syariah dan lembaga-lembaga ekonomi yang menerapkan prinsip-prinsip syariah) bahkan tindakan kekerasan dalam rumah tangga pun adalah tanggung jawab ahli hukum Islam, dalam hal ini hakim, pengacara yang mengetahui hukum Islam  Demikian juga masalah konsultasi hukum Islam, diperlukan konsultan hukum yang mengetahui hukum Islam.
Amandemen Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dengan Undang-udnang Nomor 3 Tahun 2006, telah memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Pengadilan Agama untuk memerikasa selain perkara perdata keluarga, juga memeriksa perkara-perdata ekonomi Islam. Dari berbagai persoalan tersebut dapatkah fakultas/jurusan Syariah memenuhi kebutuhan tersebut?
Tantangan Fakultas/Jurusan Syariah
Fakultas/jurusan Syariah adalah salah institusi yang bergerak di bidang hukum, terutama hukum Islam. Sering mahasiswa diperhadapkan dengan sebuah nama, fakultas hukum di perguruan tinggi umum misalnya, dipandang telah memberikan harapan masa depan bagi mereka yang mempelajari hukum. Padahal istilah hukum itu sendiri adalah bahasa Arab seperti juga syariah. Tentunya fakultas/jurusan syaraiah perlu menyadari bahwa hukum Islam bukan saja diperlajari di perguruan tinggi Agama Islam, tetapi juga di fakultas-fakultas hukum pada perguruan tinggi umum.

DIDALAM PERGUMULAN PENEGAKAN HUKUM


Di dalam rana cakrawala pergumulan kehidupan manusia, melahirkan beraneka perilaku, yang bepontensi  terjadi benturan antara perilaku yang satu dengan perlaku yang lain. Untuk mengihidari benturan perilaku harus dibutuhkan komintmen bersama yang diwujudkan dalam bentuk kontrak. Penyatuan masyarakat dalam sebuah norma atau kaidah sejauhmana norma atau kaidah hukum itu meresponi persoalan masyarakat.
Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari perkembangan dinamika masyarakat, para ahli sosiolog hukum membuat tipologi hukum berdasarkan tipologi masyaakat. Mulai dari Emil Durkhaen misalnya membedakan solidaritas mekanik dengan tipologi hukum represif dan  solidaritas organic dengan tipologi hukum restitutif.  Sampai dengan Gunther Tuebner dengan konsep elemen-elemen subtantif dan refleksi dalam hukum modern. Tahapan perubahan hukum mulai dari masyarakat sederhana (society homogeny) samapai pada masyarakat hitrogen (society hetogeneous), dengan memunyai krakteristik tertentu sesuai dengan social budaya masyarakat.
Perkembangan kehidupan masyarakat yang telah menyentuh berbagai dimensi kehidupan memberikan dampak terhadap tatanan social masyarakat. Akibatnya berbagai dimensi itu, terjadi kesimpangsiuran seperti tidak konsisten dalam penerapan hukum, moralitas hukum masyarakat semakin ambivalen, arogansi politisi dan apologi eksukitif mempertahankan kekuasaannya, dan institusi-institusi yudikatif mengabaikan rasa keadilan kolektifitas masyarakat. Kesemua itu bila, jika digunakan istilah Max Weber disebut dengan krisis rasionalitas formal. Dengan dinamika yang demikian, apakah dapat disalahkan norma-norma hukum yang telah diformalkan, ataukah karena dengan keformalan norma-norma hukum itu sehingga, tidak dapat menyelesaiakan persoalan kemasyarakatan yang kemajuannya begitu cepat.
Weber memilah hukum atas hukum rasionalitas formal dan hukum rasionalitas substantive. Dinamika pemikiran hukum seperti ini selalui berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sedangkan Niklas Luhmann memahami bahwa krisis hukum itu membutuhkan konsep sosial adikuat,  Philippe Nonet dan Philippe Selznick, memandang bahwa setiap tertib hukum berpotensi represif, mereka (Nonet dan Selznick) menawarkan tipologi hukum responsive.   
Revolusi pemikiran intelektual hukum dalam menyahuti dinamika social masyarakat, dipertemukan dengan krisis otoritas  fungsi-fungsi institusi hukum menghadapi otoritas institusi-institusi public, hukum diposisikan sebagai jastifikasi kekusaan (power justification), akibatnya hukum kehilangan identitas.  Ketidak kepercayaan masyarakat pada hukum sebagaimana kritikan intelektual hukum menujukkan ketidak berdayaan hukum sebagai  sarana perubahan dan sarana rekayasa social serta  sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan.  Di samping itu,  kerterpurukan huku bukan hanya dilakoni oleh institusi-institutsi hukum, tetapi keterlibatan masyarakat turut menyongkong keterpurukan tersebut. Untuk  lepasa dari keadaan tersebut harus berani melepaskan diri dari bengkai peraturan perundang-undangan itu 
Menurut catatan Nonet dan Selznick masa dua puluh tahun terakhir,  merupakan masa bangkitnya kembali keterikatan pada persoalan-persoalan dalam istitusi-intitusi hukum bekerja, berbagai kekuatan yang mempengaruhinya, serta berbagai keterbatasan dan kemampuannya. Sudah lama dirasakan bahwa pembentukan hukum, peradilan, penyelenggaraan keamanan sangat mudah dipisahkan dari realitas social dan dari prinsip keadilan itu sendiri. Kebangkitan ini merefleksikan dorongan akademik bahwa prespektif dan metode studi ilmu social berlaku untuk analisis atas institusi hukum maupun samangat pembaruannya.
Idialis pemikiran hukum yang sangat begitiu kental dijadikan sebagai dasar untuk menyelesaiakan persoalan-persoalan masyarakat, akan terbentur dengan  sikap apologi penegak hukum, yang memandang sebatas peraturan perundang-undangan (in books). Benturan normatif dengan keadaan emperis masyarakat  yang menghendaki komitmen institusi hukum untuk menempatkan rasa keadilan sosial masyarakat.
Salah satu masalah yang dihadapi adalah menemukan sistem dan pelaksanaan penegakan hukum yang dapat menjelmakan berbagai fungsi hukum dengan baik seperti fungsi kontrol sosial, fungsi menyelesaikan perselisihan, fungsi memadukan, fungsi memudahkan, fungsi pembaharuan, fungsi kesejahteraan dan lain-lain.
Pada saat ini, perbedaan – perbedaan fungsi hukum tersebut, acap kali menjadi unsur yang mendorong timbulnya perbedaan mengenai tujuan menerapkan hukum. Ada yang lebih menekankan pada fungsi kontrol sosial, atau fungsi perubahan, dan lain-lain. Kalau masing-masing pihak menuntut menurut keinginannya sendiri-sendiri maka yang timbul adalah permasalahan hukum bukan penyelesaian hukum. Bahkan menimbulkan konflik, yang berkonotasi saling menyalahkan saling menuduh dan lain-lain. semacam itu. Selain perdebatan mengenai fungsi hukum, terjadi pula perdebatan mengenai tujuan hukum. Secara tradisional ada yang memusatkan tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan dan ketertiban. Kalau dikaji lebih dalam, pada tingkat tertentu dua tujuan itu tidak selalu seiring bahkan dapat bertentangan satu sama lain. Tujuan mewujudkan keadilan berbeda dengan tujuan mewujudkan ketertiban. Dalam keadaan tertentu, tuntutan keadilan akan melonggarkan kepastian hukum, sedangkan kepastian hukum justru merupakan komponen utama mewujudkan ketertiban. Tanpa kepastian hukum tidak akan ada ketertiban. Sebaliknya pada tingkat tertentu, ketertiban dapat menggerogoti keadilan. Selain mewujudkan kepastian, ketertiban memerlukan persamaan (equality), sedangkan keadilan harus memungkinkan keberagam-an atau perbedaan perlakuan.
Uraian diatas sekedar ingin menunjukkan bahwa permasalahan hukum tidaklah sesederhana seperti acap kali didengung-dengungkan. Sekedar konsep, sangat mudah mengucapkan keadilan dan ketertiban, tetapi pada tatanan operasional didapati bermacam-macam masalah yang dihadapi. Bahkan seperti disebutkan diatas, dapat terjadi pertentangan satu sama lain. Walaupun demikian, tidak berarti harus  ada toleransi terhadap usaha mewujudkan keadilan, ketertiban, dan berbagai fungsi hukum. Prinsip-prinsip dasar ini harus tetap dipegang teguh, dengan pengertian – sekali lagi – tidak semudah membolak balik telapak tangan.
Sebagai institusi, hukum membawa pula berbagai persoalan, baik yang berkaitan dengan aturan substantif, acara, maupun pengelolaan. Telah begitu banyak pendapat, bahwa aturan substantif atau hukum materil yang ada mengandung berbagai masalah, seperti aturan ketinggalan karena masih warisan kolonial, tumpang tindih, bertentangan satu sama lain, tidak lengkap, tidak jelas, dan lain sebagainya. Kenyataan tersebut acap kali menimbulkan kesulitan dalam menentukan hukum yang tepat atau cara-cara yang tepat penerapannya, termasuk penegakannya oleh pengadilan. Yang ganjil, menghadapi berbagai masalah tersebut justru hakim yang dijadikan obyek terdepan sebagai obyek bidikan. Hakim dituntut tidak boleh legalistik, tidak boleh sekedar sebagai mulut undang-undang, tidak boleh hanya “legal justice” tetapi harus “social justice”, dan lainlain.
Hakim dituntut menemukan hukum, bahkan bila perlu menciptakan hukum untuk memenuhi kebutuhan atau rasa keadilan masyarakat. Menghadapi keadaan hukum substantif yang bermasalah tersebut. Tanpa mengurangi tanggung-jawab hakim – apakah tidak semestinya yang harus ditata adalah aturan yang ketinggalan, aturan yang tumpang tindih, bertentangan satu sama lain, aturan yang tidak lengkap, atau tidak jelas. Meskipun dikatakan hakim bertugas membentuk hukum, hakim wajib menjamin hukum tetap aktual, dan lain-lain, perlu disadari tugas utama hakim adalah menyelesaikan sengketa di-antara pihak-pihak, memberi kepuasan hukum kepada pihak yang berperkara. Sedangkan halhal yang bersifat sosial hanyalah akibat dari putusan hakim terhadap pihak yang bersangkutan. Bukan sebaliknya, seolah-olah hakim dapat mengesampingkan kepentingan pihak-pihak, demi suatu tuntutan sosial. Perlu juga diketahui, dalam kelonggaran apapun, atau hakim yang paling liberal sekalipun, atau sepragmatis apapun, tetap harus memutus menurut hukum, baik dalam arti harfiah maupun hukum yang sudah ditafsirkan atau dikonstruksi. Keadilan atau kepastian yang lahir dari hakim adalah keadilan atau kepastian yang dibangun atas dasar dan menurut hukum, bukan sekedar kehendak hakim yang bersangkutan atau sekedar memenuhi “tuntutan” masyarakat.
Demikian pula ketentuan beracara. Hukum acara bukan sekedar hukum yang mengatur tata cara menegakkan aturan hukum substantif. Hukum acara juga merupakan perwujudan hak pencari keadilan membela dan mempertahankan kepentingannya. Hukum acara adalah salah satu komponen hukum hak asasi. Sebagai huk hak asasi, hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum acara. Bahkan diajarkan, hakim sangat terikat pada bunyi ketentuan acara. Lagi-lagi dalam berbagai wacana hakim diminta “melonggarkan” penerapan-penerapan hukum acara. Suatu permintaan yang bertentangan dengan asas hukum acara. Penerapan hukum acara harus “rigid” tidak boleh longgar atau “flexible”. Misalnya semua undang-undang secara tegas menyebut, PK hanya dapat diajukan satu kali. Tetapi hakim dituntut melonggarkan ketentuan tersebut yaitu mempertimbangkan PK kedua dan seterusnya. Apakah tidak semestinya pembentuk undang-undang yang diminta meninjau kembali ketentuan tersebut bukan hakim yang dituntut. Demikian pula politik penghukuman. Disatu pihak hakim dituntut melaksanakan hukuman mati seperti perkara korupsi (Cinaselalu dipakai acuan). Dalam perkara lain, hakim dengan berbagai resolusi diminta tidak menjatuhkan hukuman mati atau meninjau kembali hukuman mati. Lagi-lagi, karena hal ini menyangkut ketentuan undang-undang, semestinya pembentuk undang-undang yang pertama–tama diminta meninjau ulang ketentuan tersebut, bukan kepada hakim. Meskipun hakim bukan mulut undang-undang, tetapi hakim tidak dapat dipersalahkan apabila mengikuti ketentuan undang-undang.