I. Konsep Hukum Perikatan Islam
A. Pengertian Hukum Perikatan
Islam
Periktan dalam bahasa Arab terdapat
dua istilah, pertama kata ‘aqada
artinya menyimpulkan, ( lihat Q.S. Al Maiah (5): 1, dalam kamus Al Munawir,
Bahsa Arab Indonesia aqad adalah mengikat, dapat juga disebut ‘uquud
artinya perjanjian (yang tercatat) kontrak. Kedua ‘ahdu (lihat Q.S. Ali Imran (3) : 76, yatiu berjanji.
Dari segi bahasa aqad adalah ikatan,
mengikat. Ikatan artinya menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali.
Fathurrahman Djamil menyamakan kata al
‘aqdu dengan istilah verbintenis dalam KUH Perdata. Sedaangkan
Istilah al ‘ahdu disamakan dengan perjanjian atau overeenkomst, yaitu
pernyataan dari seorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang
tiidak berkaitan dengan orang lain.
Oleh Quraish Shihab kata
‘uquud diberikata pengertian mengikat sesuatu dengan sesuatu sehingga
tidak menjadi bagiannya dan tidak terpisah dengannya.
Dalam Kompilasi hukum Ekonomi Syariah kata aqad diberi
perngerttian adalah kesepakatan dalalm suatu perjanjinan antara dua pihak atau
lebih untuk melakukan atau tiidak melakukan perbuatan hukum tertentu.
Jadi hukum perikatan Islam adalah seperangkat kaidah
hukum Islam yang mengatur tentang hubungnan antara dua pihak atau lebih
mengenai suatu benda atau barang yang menjadi halal dari suatu objek transaksi.
Menurut para ahli hukum
Islam (fuqaha) aqad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh
syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
Dengan demikian kaidah-kaidah hukum
yang berhubngan langsung dengan hukum
perikatan Islam adalah bersumber dari
Alqur’an dan Sunnah Rasulullah (syariah) dan hasil pemikiran manusia (ijtiha) sebagai implemenatasi dari
syariah yaitu fikih. Ini berarti hukum perikatan Islam di
satu sisi bersifat hubungan perdata dan
di satu sisi yang lain sebagai kepatuhan menjalankan ajaran agama Islam
(syari’at Islam). hukum perikatan Islam bersifat religiu transendental yang melekat pada
kaidah-kaidah yang melingkupi hukum
perikatan Islalm itu sendiri sebagai pencerminan dari otoritas Allah
Dengan demikian subtansi hukum perikatan Islam materinya lebih luas dari hukum perdata
Barat. Hal ini dapat dilihat dari keterkaitan hukum perikatan itu sendiri dengan hukum Islam , tiak hanya mengataru
hubungan manusia dengan manusia (horisontal) tetapi juga mengatur hubungan
manusia dengan Allah (vertikal).
Menurut Abdoerraeof terjadi suatu perikatan (al aqdu) melalui tiga
tahap, yaitu:
1. Al ’Ahdu (perjanjian) =
pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu dan tidak tersangkut paut dengan
kemauan orang lain.
2. Pesetujuan =
pernyataan setuju dari piihak kedua
untuk melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan
oleh pihak pertama. Persetujuan itu harus sesuai dengan janji pihak pertama.
3. Apabila janji kedua
pihak dilaksanakan maka terjadilah ‘aqdu.
Contoh : Ahmad menyatakan janji membeli sebuah rumah, kemudian Ali
menyatakkakn menjuall sebuah rumah, maka Ahmad dan Ali berada pada tahap al
‘ahdu. Apabila tipe rumah dan harg rumah
telah disepakati oleh kedua pihak maka terjadi persetujuan. Jika kedua janji tersebut dilaksanakan maka
terjadi perikatan atau akdu di antara keduanya.
Menurut Subekti perikatan
adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, beerdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sedangkan perjanjian adalah
suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua
orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. Peristiwa perjanjian
tersebut menimbulkan hubungan diantara aorang-orang tersebut yang disebut
dengan perikatan. Jadi hubungan antra perikatan dgn perjanjian aadalah perjanjian menimbulkan perikatan.
Lihat Pasal 1233 KUH Perdata, bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan.
Perbedaan hukum
perikatan Islam dan hukum perikatan dalam KUH Perdata ada pada tahap
perjanjian. Pada hukum perikatan Islam, janji pihak pertama terpiah dari janji
phak kedua (dua tahap) baru kemudian lahir perikatan. Sedangkan dalam KUH
Perdata perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua adalah satu tahap, yang
kemudian melahirkan perikatan.
A. Gani Abdullah berpandangan bahwa hukum perikatan Islam titik tolak
adalah ikrar (Ijab dan kabul) dalam tiap transaksi.
B. Unsur-unsur
Perikatan Islam
Unsur-unsur yang
terdapat dalam perikatan sebagaimana dapa definisi aqad yaitu pertalian antara ijab dan qabul yang
dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
Pada definisi
terdapat tiga unsur yang terdapat dalam suatu perikatan, yaitu :
1. Hubungan Ijab dan
Qabul
Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu
pihak (mujib) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Qabul adalam pernyataan menerima atau
menyetujui kehendak mujib tersebut pihak lainnya (qaabil). Unsur ijab dan qabul
selalu ada dalam suatu perikatan.
2. Dibenarkan oleh
syara’
Aqad yang dilakukan tidak boleh bertentangan
dengan syara’ (Alqur’an dan Sunnah Rasulullah). Demikian juga objek akad tidak
boleh bertentangan dengan syara’ bila bertengangan maka akad itu tidak sah.
3. Mempunyai akibat
hukum terhadap objeknya
Aqad merupakan tindakan hukum (tasharruf),
menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan.
Aqad merupakan salah
bentuk perbuatn hukum (Tasharruf) yang oleh Musthafa Al Zarqa
mendefiniskan dengan segala seuatu (perbuatan0 yang bersumber dari kehendak
seseorang dan syara’ menetapkan atasnya
sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban).
Menurut Musthafa Al
Zarqa tasharruf memiliki dua bentuk, yaitu
a.
Tasharruf fi’li (perbuatan), = usaha yang dilakukan manusia dari
tnaga dan badannya.
b.
Tashurruf qauli, (perkataan) = usaha yang keluar dari lidah
manuia. Tidak semua perkataan manusia
dimasukkan sebagai akad. Karena ada perkataan tidak termasuk akad tetapi
merupakan uatu perbuatan hukum. Tasharruf qauli terbagi atas dua bentuk, yaitu tashurru qauli aqdi
dan tasharruf qauli gairu ‘aqdi.
11)
Tasharuuf qauli aqdi = sesuatu yang dibentuk dari dua ucapan dua
pihak yang saling bertalian (Ijab dan qabul).
22)
tasharruf qauli gairu
‘aqdi = perkatan yang tidak bersifat akad atau
tidak ada Ijab dan qabul.
Tasharruf
qauli gairu ‘aqdi ada dalam bentuk pernyataan dan dalam
bentuk perwujudan.
(a)
Perkataan yang berntuk pernyataan = pengadaan suatu
hak atau mencabut uatu hak (Ijab saja).
(b)
Perkataan dalam bentuk perwujudan = melakukan
penuntutan hak atau dengaan perkataan menyebabkan adanya akibat hukum.
C. Rukun, Syarat,
katagori hukum, ‘aib, akibat
dan penafisran akad
(Perikatan)
1. Rukun dan Syarat
perikatan Islam
Menurut Jumhur rukan
perikatan adalah al ‘aqdain (subjek perikatan), mahallul ‘aqd (objek
perikatan) dan sighat al ‘aqd (ijab dan qabul), Mussthafa
al Zarqa menambah satu syarat yaitu maudhu’ul al ‘aqd (tujuan aqad).
a.
Al aqdain (subyek hukum)
Manusia dan badan hukum
b. Obyek perikatan =
barang dan jasa
11)
Ada ketika dilangsungkan perikaan
22)
Obyek perikatan dibernakan oleh syara’
33)
Obyeknya jelas dan dikenali
44)
Obyeknya dapat diserahterimakan
c. sighat al ‘aqd (ijab
dan qabul),
Terdapat tiga hal dalam
melakukan sebagai akibat hukum dari perkataan ijab qabul:
Sighat al ‘aqd (ijab dan qabul),
Terdapat iga hal dalam melakukan sebagai akibat hukum dari perkataan
ijab qabul:
11)
Jal’ul ma’na
22)
Tawafuq
33)
Jazmu iradataini
Cara melakukan ijab dan
qabul
14)
Tulisan
25)
Lisan
36)
Isyarat
47)
perbuatan
2. Katagori hukum
Perikatan Islam,
perikatan itu tidak sah
apabila bertentangan dengan syariat Islam, peraturan perundang-undangan,
ketertiban umum dan kesusialaaan
a.
Perikatan yang sah
b.
Perikatan yang fasad atau rusak/dibatalkan
c.
Perikatan yang batal
3. Aib Perikatan
Perikatsn itu cacat
apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a.
Khilaf (ghalat)
b.
Paksaan (ikrah)
c.
Tipuan (taghrir)
d.
Penyamaran (ghubn)
4. Akibat Perikatan
a.
Perikatan menjadi syari’ah bagi
pihak-pihak yang berperikatan
b.
Perikatan tidak hanya mengikat obyek yang diperikatkan, tetapi juga
segala sesuatu yang menurut sifatnya yang diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan
dan nash-nash syariah
c.
Perikatan hanya berlaku bagi pihak-pihak yang mengadakan perikatan
d.
Perikatan dapat dibatalkan oleh pihak yang berpiutang jika pihak berrutang
terbukti melakukan
5. Penafsiran perikatan
Pelaksanaan perikatan harus sesuai dengan maksud dan
tujuan perikatan, bukan hanya pada kata atau kalimat..
a.
Diarikan sesuai pengertian
aslinya, bukan dengan pengeertian kiasan
b.
Sudah jelas teksnya, maka
tidak perlu ada penafsiran
c.
Melaksanakan kalimat dalam
perikatan itu dari pada tidak melaksanakan kalimat itu.
d.
Jika arti tersurat tidak dapat
diterapkan, maka dpat diigunakan arti yang tersirat
e.
Abaikan kata yang tidak dapat
dipahami, baik tersurat maupun tersirat
f.
Menyebutkan benda yang tidak
dapat dibagi-bagi berarti menyebutkan keseluruhannya
g.
Kata yang pengertiannya tidak
dibatasi, diterapkan adanya selama tidak didapatkan ketentuan syariah hasil
pemahaman yang mendalam membatasinya.
h.
Jika terdapat dua macam
pengertian dalam perikatan, maka harus dipilih pengertian yang memungkinkan
perikatan itu dapat dilaksanakan,
daripada pengertian yang tidak mungkin suatu pelaksanaan (lihat (Pasal 48 – 55
KHES)
II. Pembagian
perkitan bedasarkan bentuk transaksi
1.
Jual-beli (bai’) adalah jual beli antara benda dengan benda, atau pertukaran
benda dengan uang
2.
Syirkah adalah kerjasama antara dua
orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam
usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati
oleh pihak-pihak yang berserikat.
3.
Mudharabah adalah kerjasama antara
pemilik dana atau penanam modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu
dengan bagi hasil
4.
Muzaraah adalah kerjasama antara
pemilik lahan dengan penggarap untuk memanfaatkan lahan.
5.
Murabahah adalah pembiayaan saling
menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan
melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan
harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib
al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.
6 Musaqah adalah kerjasama antara pihak-pihak dalam
pemeliharaan tanaman dengan pembagian hasil antara pemilik dengan pemelihara
tanaman dengan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak
yang terikat
7. Khiyar adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli
untuk melanjutkan atau membatalkan akad jual-beli yang dilakukannya.
8.
Ijarah adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu
dengan pembayaran.
9.
Istisna adalah jual-beli barang atau
jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara pihak pemesan dengan pihak penjual.
10. Kafalah adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh
penjamin kepada pihak
ketiga/pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban pihak kedua/peminjam.
11. Hawalah
adalah pengalihan utang dari muhil al-ashil kepada muhal ‘alaih.
12. Rahn/gadai adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.
13. Wadi’ah adalah penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan pihak
penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.
14. Ju’alah adalah perjanjian
imbalan tertentu dari pihak pertama
kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang
dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.
15. Wakalah adalah pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan
sesuatu.
III. Asas Hukum Perikatan
a.
Ilahiyah, setiap perkataan, pebuatan dan tingkah laku
manusia tidak luput dari ketentuan Allah.
b.
Keadilan, dituntut agar para pihak yang melakukan
perikatan agar berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan memenuhi
perjanjian yang telah mereka buat dan memenuhi semua kewajibannya.
c.
ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan
salah satu pihak atau pihak lain.
d.
amanah/menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan
oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari
cidera-janji
e. ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad
dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan
cermat.
f. luzum/ tdak berobah;
setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar
dari praktik spekulasi atau maisir.
g. saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi
kepentingan para pihak sehingga tercegah dari
praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak.
h. taswiyah/ kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki
kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
i. transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggung-jawaban para
pihak secara terbuka.
j. kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan
para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang
bersangkutan.
k. taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing
pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.
l. itikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan,
tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.
m. sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.
n. Al-hurriyah (kebebasan
berkontrak)
o. Al-kitabah (tertulis)
0 komentar:
Posting Komentar