Di
dalam rana cakrawala pergumulan kehidupan manusia, melahirkan beraneka
perilaku, yang bepontensi terjadi
benturan antara perilaku yang satu dengan perlaku yang lain. Untuk mengihidari
benturan perilaku harus dibutuhkan komintmen bersama yang diwujudkan dalam
bentuk kontrak. Penyatuan masyarakat dalam sebuah norma atau kaidah sejauhmana
norma atau kaidah hukum itu meresponi persoalan masyarakat.
Perkembangan
ilmu hukum tidak terlepas dari perkembangan dinamika masyarakat, para ahli
sosiolog hukum membuat tipologi hukum berdasarkan tipologi masyaakat. Mulai
dari Emil Durkhaen misalnya membedakan solidaritas mekanik dengan tipologi
hukum represif dan solidaritas organic
dengan tipologi hukum restitutif. Sampai
dengan Gunther Tuebner dengan konsep elemen-elemen subtantif dan refleksi dalam
hukum modern. Tahapan perubahan hukum mulai dari masyarakat sederhana (society homogeny) samapai pada
masyarakat hitrogen (society hetogeneous), dengan memunyai
krakteristik tertentu sesuai dengan social budaya masyarakat.
Perkembangan
kehidupan masyarakat yang telah menyentuh berbagai dimensi kehidupan memberikan
dampak terhadap tatanan social masyarakat. Akibatnya berbagai dimensi itu,
terjadi kesimpangsiuran seperti tidak konsisten dalam penerapan hukum,
moralitas hukum masyarakat semakin ambivalen, arogansi politisi dan apologi
eksukitif mempertahankan kekuasaannya, dan institusi-institusi yudikatif
mengabaikan rasa keadilan kolektifitas masyarakat. Kesemua itu bila, jika
digunakan istilah Max Weber disebut dengan krisis rasionalitas formal. Dengan
dinamika yang demikian, apakah dapat disalahkan norma-norma hukum yang telah
diformalkan, ataukah karena dengan keformalan norma-norma hukum itu sehingga,
tidak dapat menyelesaiakan persoalan kemasyarakatan yang kemajuannya begitu
cepat.
Weber
memilah hukum atas hukum rasionalitas formal dan hukum rasionalitas
substantive. Dinamika pemikiran hukum seperti ini selalui berkembang sesuai
dengan perkembangan masyarakat. Sedangkan Niklas Luhmann memahami bahwa krisis
hukum itu membutuhkan konsep sosial adikuat,
Philippe Nonet dan Philippe Selznick, memandang bahwa setiap tertib
hukum berpotensi represif, mereka (Nonet dan Selznick) menawarkan tipologi hukum
responsive.
Revolusi
pemikiran intelektual hukum dalam menyahuti dinamika social masyarakat,
dipertemukan dengan krisis otoritas
fungsi-fungsi institusi hukum menghadapi otoritas institusi-institusi
public, hukum diposisikan sebagai jastifikasi kekusaan (power justification), akibatnya hukum kehilangan identitas. Ketidak kepercayaan masyarakat pada hukum
sebagaimana kritikan intelektual hukum menujukkan ketidak berdayaan hukum
sebagai sarana perubahan dan sarana
rekayasa social serta sebagai sarana
untuk mewujudkan keadilan. Di samping
itu, kerterpurukan huku bukan hanya
dilakoni oleh institusi-institutsi hukum, tetapi keterlibatan masyarakat turut
menyongkong keterpurukan tersebut. Untuk
lepasa dari keadaan tersebut harus berani melepaskan diri dari bengkai
peraturan perundang-undangan itu
Menurut
catatan Nonet dan Selznick masa dua puluh tahun terakhir, merupakan masa bangkitnya kembali keterikatan
pada persoalan-persoalan dalam istitusi-intitusi hukum bekerja, berbagai
kekuatan yang mempengaruhinya, serta berbagai keterbatasan dan kemampuannya.
Sudah lama dirasakan bahwa pembentukan hukum, peradilan, penyelenggaraan
keamanan sangat mudah dipisahkan dari realitas social dan dari prinsip keadilan
itu sendiri. Kebangkitan ini merefleksikan dorongan akademik bahwa prespektif
dan metode studi ilmu social berlaku untuk analisis atas institusi hukum maupun
samangat pembaruannya.
Idialis
pemikiran hukum yang sangat begitiu kental dijadikan sebagai dasar untuk
menyelesaiakan persoalan-persoalan masyarakat, akan terbentur dengan sikap apologi penegak hukum, yang memandang
sebatas peraturan perundang-undangan (in
books). Benturan normatif dengan keadaan emperis masyarakat yang menghendaki komitmen institusi hukum
untuk menempatkan rasa keadilan sosial masyarakat.
Salah
satu masalah yang dihadapi adalah menemukan sistem dan pelaksanaan penegakan
hukum yang dapat menjelmakan berbagai fungsi hukum dengan baik seperti fungsi
kontrol sosial, fungsi menyelesaikan perselisihan, fungsi memadukan, fungsi
memudahkan, fungsi pembaharuan, fungsi kesejahteraan dan lain-lain.
Pada saat ini, perbedaan – perbedaan fungsi hukum tersebut, acap
kali menjadi unsur yang mendorong timbulnya perbedaan mengenai tujuan menerapkan
hukum. Ada yang lebih menekankan pada fungsi kontrol sosial, atau fungsi
perubahan, dan lain-lain. Kalau masing-masing pihak menuntut menurut
keinginannya sendiri-sendiri maka yang timbul adalah permasalahan hukum bukan
penyelesaian hukum. Bahkan menimbulkan konflik, yang berkonotasi saling
menyalahkan saling menuduh dan lain-lain. semacam itu. Selain perdebatan mengenai
fungsi hukum, terjadi pula perdebatan mengenai tujuan hukum. Secara tradisional
ada yang memusatkan tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan dan ketertiban.
Kalau dikaji lebih dalam, pada tingkat tertentu dua tujuan itu tidak selalu
seiring bahkan dapat bertentangan satu sama lain. Tujuan mewujudkan keadilan
berbeda
dengan tujuan mewujudkan ketertiban. Dalam keadaan
tertentu, tuntutan keadilan akan melonggarkan kepastian hukum, sedangkan kepastian
hukum justru merupakan komponen utama mewujudkan ketertiban. Tanpa kepastian
hukum tidak akan ada ketertiban. Sebaliknya pada tingkat tertentu, ketertiban
dapat menggerogoti keadilan. Selain mewujudkan kepastian, ketertiban memerlukan
persamaan (equality), sedangkan keadilan harus memungkinkan keberagam-an atau
perbedaan perlakuan.
Uraian
diatas sekedar ingin menunjukkan bahwa permasalahan hukum tidaklah sesederhana
seperti acap kali didengung-dengungkan. Sekedar konsep, sangat mudah
mengucapkan keadilan dan ketertiban, tetapi pada tatanan operasional didapati
bermacam-macam masalah yang dihadapi. Bahkan seperti disebutkan diatas, dapat
terjadi pertentangan satu sama lain. Walaupun demikian, tidak berarti harus ada toleransi terhadap usaha mewujudkan
keadilan, ketertiban, dan berbagai fungsi hukum. Prinsip-prinsip dasar ini
harus tetap dipegang teguh, dengan pengertian – sekali lagi – tidak semudah
membolak balik telapak tangan.
Sebagai institusi, hukum membawa pula berbagai persoalan, baik
yang berkaitan dengan aturan substantif, acara, maupun pengelolaan. Telah
begitu banyak pendapat, bahwa aturan substantif atau hukum materil yang ada
mengandung berbagai masalah, seperti aturan ketinggalan karena masih warisan
kolonial, tumpang tindih, bertentangan satu sama lain, tidak lengkap, tidak
jelas, dan lain sebagainya. Kenyataan tersebut acap kali menimbulkan kesulitan dalam
menentukan hukum yang tepat atau cara-cara yang tepat penerapannya, termasuk
penegakannya oleh pengadilan. Yang ganjil, menghadapi berbagai masalah tersebut
justru hakim yang dijadikan obyek terdepan sebagai obyek bidikan. Hakim
dituntut tidak boleh legalistik, tidak boleh sekedar sebagai mulut
undang-undang, tidak boleh hanya “legal justice” tetapi harus “social
justice”, dan lainlain.
Hakim dituntut menemukan hukum, bahkan bila perlu menciptakan
hukum untuk memenuhi kebutuhan atau rasa keadilan masyarakat. Menghadapi
keadaan hukum substantif yang bermasalah tersebut. Tanpa mengurangi
tanggung-jawab hakim – apakah tidak semestinya yang harus ditata adalah aturan
yang ketinggalan, aturan yang tumpang tindih, bertentangan satu sama lain,
aturan yang tidak lengkap, atau tidak jelas. Meskipun dikatakan hakim bertugas membentuk
hukum, hakim wajib menjamin hukum tetap aktual, dan lain-lain, perlu disadari tugas utama hakim adalah menyelesaikan
sengketa di-antara pihak-pihak, memberi kepuasan hukum kepada pihak yang
berperkara. Sedangkan halhal yang bersifat sosial hanyalah akibat
dari putusan hakim terhadap pihak yang bersangkutan. Bukan sebaliknya, seolah-olah
hakim dapat mengesampingkan kepentingan pihak-pihak, demi suatu tuntutan sosial.
Perlu juga diketahui, dalam kelonggaran apapun, atau hakim yang paling liberal
sekalipun, atau sepragmatis apapun, tetap
harus memutus menurut hukum, baik dalam arti harfiah maupun hukum yang sudah
ditafsirkan atau dikonstruksi. Keadilan atau kepastian yang lahir dari hakim
adalah keadilan atau kepastian yang dibangun atas dasar dan menurut hukum,
bukan sekedar kehendak hakim yang bersangkutan atau sekedar memenuhi “tuntutan”
masyarakat.
Demikian pula ketentuan beracara. Hukum acara bukan sekedar hukum
yang mengatur tata cara menegakkan aturan hukum substantif. Hukum acara juga
merupakan perwujudan hak pencari keadilan membela dan mempertahankan
kepentingannya. Hukum acara adalah salah satu komponen hukum hak asasi. Sebagai
huk hak asasi, hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap
hukum acara. Bahkan diajarkan, hakim sangat terikat pada bunyi ketentuan acara.
Lagi-lagi dalam berbagai wacana hakim diminta “melonggarkan”
penerapan-penerapan hukum acara. Suatu permintaan yang bertentangan dengan asas
hukum acara. Penerapan hukum acara harus “rigid” tidak boleh longgar atau
“flexible”. Misalnya semua undang-undang secara tegas menyebut, PK hanya dapat
diajukan satu kali. Tetapi hakim dituntut melonggarkan ketentuan tersebut yaitu
mempertimbangkan PK kedua dan seterusnya. Apakah tidak semestinya pembentuk
undang-undang yang diminta meninjau kembali ketentuan tersebut bukan hakim yang
dituntut. Demikian pula politik penghukuman. Disatu pihak hakim dituntut
melaksanakan hukuman mati seperti perkara korupsi (Cinaselalu dipakai acuan).
Dalam perkara lain, hakim dengan berbagai resolusi diminta tidak menjatuhkan
hukuman mati atau meninjau kembali hukuman mati. Lagi-lagi, karena hal ini
menyangkut ketentuan undang-undang, semestinya pembentuk undang-undang yang
pertama–tama diminta meninjau ulang ketentuan tersebut, bukan kepada hakim.
Meskipun hakim bukan mulut undang-undang, tetapi hakim tidak dapat
dipersalahkan apabila mengikuti ketentuan undang-undang.
0 komentar:
Posting Komentar