Produk legislasi adalah produk politik, hasil dari terik menarik berbagai kekuatan politik dijawantahkan dalam politik hukum.[1] Perintah untuk taat dan patuh kepada norma-norma hukum yang dalam Alqur’an dan Sunnah Rasulullah saw, serta norma hukum yang ditetapkan oleh pemerintah merupakan kewajiban fardli (individu) dan kewajiban jam’i (kolektif). Kewajiban individu adalah setiap orang memeliki tanggung jawab untuk memberi konstribusi pemikiran keberlakuan nilai-nilai hukum Islam secara legal formal. Sedangkan kewajiban kolektif adalah setiap lembaga negara memiliki tanggung jawab mendistribusikan nilai-nilai hukum Islam melalui jalur legislasi. Dari sudut pendekatan politik hukum negara wajib mengurus pembangunan hukum dalam semua kebijakan hukum.[2] Dari pendekatan siyasah syar’i positifisasi nilai-nilai hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan menjadi kewenangan lembaga legislatif dan eksekutif.
Merekonstruksi catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab-kitab fikih yang dianggap representatif telah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Diantaranya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 7 tahun 1989 jonto UU Nomor 3 Tahun 2006 jonto UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang wakaf, UU Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara dan UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Memberlakukan hukum Islam dalam konteks hukum nasional Indonesia selalu mengundang polemik, menurut Mustafa dan Abdul Wahid setidaknya ada dua hal yang menjadi masalah.[3] Pertama, hukum Islam itu berada di antara paradigma agama dan pradigma negara. Sebagai bagian dari paradigma agama Islam, pemberlakuan hukum Islam menjadi nilai agama. Ia menjadi bagian dari upaya oprasionalisasi totalitas Islam dalam kenyataan emperik. Karena bukan hanya hukum diyakini sebagai wahyu saja, tetapi seluruh perangkat keagamaan Islam setahap demi setahap dijawantahkan dalam realitas konkrit. Tetapi dalam saat yang sama, hukum Islam pun mejadi bagian dari paradigma negara, dan negara mempunyai sistem tersendiri. Pada zaman modern negara berada di atas konteks puralitas. Legalitas negara berada di atas konsensus puralitas itu sendiri, dan untuk mempertahankan puralitas itu, negara mereduksi hukum Islam sampai tingkat yang membuat penganut agama lain merasa aman. Kedua, hukum Islam berada di titik tengah ketegangan antar agama itu sendiri. Dalam kondisi masyarakat yang pural, legalisai hukum agama yang satu menjadi ancaman menjadi agama lainnya.
Sangat kurang arif menempatkan hukum agama sebagai ancaman terhadap integritas bangsa. Menurut keyakinan umat Islam bahwa memberlakukan hukum Islam akan memberikan kemaslahatan dan kemanfaatan terhadap kehidupan umat manusia. melegalisasi hukum Islam sebagai hukum nasional adalah tuntutan kemaslahatan. Seperti dikatakan dalam Sunnah Rasulullah saw, bahwa Nabi Muhammad saw diutus untuk menyempurnakan perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan. Oleh sebab itu, menformalisasikan hukum Islam adalah suatu keniscayaan.
Dari pendekatan sosiologis, negara dalam mengaktualisasikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat setidaknya meresponi nilai-nilai hukum yang dianut oleh masyoritas masyarakat. Hukum Islam sebagai bagian dari totalitas agama Islam, yang dianut oleh masyarakat mayoritas Indonesia. Secara kultural telah menjiwai kehidupan umat Islam Indonesia, dan oleh negara menformalkan melalui lembaga legislasi baru bidang hukum keluarga[4] dan hukum perbankan Islam.
Umat Islam Indonesia terutama baik di kalangan teknokrat maupun di kalangan biokrasi mempunyai persepsi yang berbeda dalam hal legalisasi hukum Islam. Sebagian berpandangan bahwa hukum Islam itu berlaku efektif apabila diformalkan melalui peraturan perundang-undangan. Menurut kelompok ini untuk mewujudkan itu maka harus menguasai lembaga legislatif atau eksekutif. Sebagian yang lain berpandangan bahwa cukup nilai-nilai hukum Islam itu diformalkan. Kelompok ini didominasi oleh kelompok moderat. Baik aktualisasi nilai-nilai hukum Islam menjadi norma hukum nasional, maupun aktualisasi hukum Islam menjadi hukum nasional dari pendekatan teori eksistensi hukum menjadi suatu kepastian. Hal ini berarti positifisasi hukum Islam menjadi suatu keharusan oleh negara. Oleh sebab itu, formalisasi hukum Islam melalui legislasi sesuai keutamaan dominasi negara lewat politik kodifikasi dan unifikasi.
Pemerintah menempati posisi senteral dalam negara dengan kebijakan mengkodifikasikan dan mengunivikasi hukum Islam ke dalam kodifikasi dan univikasi hukum nasional. Pemerintah dengan berbagai kebijakan terhadap pengembangan hukum nasional, telah mengkodifikasi bidang Hukum Islam tertentu manjadi hukum nasional.
a. Di bidang hukum perkawinan
Awal pembahasan Rancangan UU Perkawinan terjadi perbedaan yang sangat kursial dan alot dalam sidang DPR sehingga dari faraksi Partai Persatuan Pembangunan all out dari persidangan karena dipandang sangat bertentangan dengan norma-norma hukum perkawinan Islam. Misalnya, dalam Pasal 13 RUU Perkwainan dinyatakan bahwa perkawinan dapat didahului dengan pertunangan dan bila pertunangan itu mengakibatkan kehamilan, maka pihak pria diharuskan kawin dengan wanita itu, jika disetujui oleh pihak wanita.[5] Selain itu di luar gedung DPR terjadi protes besar-besaran dari kalangan umat Islam bahkan ruang sidang DPR diduduki oleh para demonstran.[6]
Untuk merdekan ketegangan umat Islam dari pemerintah yang diwakili oleh Menteri Agama dan Menteri Kehakiman mengadakan berbagai pendekatan dengan pimpinan faraksi di DPR namun hal ini tidak membawa hasil. Faraksi PPP yang didukung oleh ulama, tokoh-tokoh intelektual muslim sangat berperan untuk melakukan pendektakan dengan faraksi ABRI dan dengan Prasiden Soeharto untuk mengakomodasi keinginan umat Islam. Yang pada akhirnya Presiden memperkuat pandangan umat Islam. Presiden mengutus seorang kepercayaannya menemui Buya Hamka dan meminta pasal-pasal dan ayat-ayat RUU Perkawinan yang dipandang bertentangan dengan hukum Islam. Dari hasil kompromi antara umat Islam dengan pemerintah maka terjadi perubahan yang sangat mendasar pada pasal-pasal yang dipandangan sangat bertentangan dengan hukum Islam.
Pemerintah menyadari bahwa proses RUU Perkawinan tersebut hanya berdasarkan kehendak kekuasaan belaka, dan mengabaikan pendekatan sosio cultural. Akabitnya umat Islam secara terang-terangan menolak RUU itu. Sebab masalah perkawinan bagi umat Islam, selain sebagai lembaga pembentukan dan pengembangan keluarga, juga sebagai aplikasi dari ajaran Islam. Dalam arti lain bahwa masalah perkawinan tidak hanya dilihat dari aspek perjanjian antara pihak mempelai pria dan wanita saja, tetapi juga mengandung aspek ibadah.
Produk UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan, dari pendekatan politik hukum adalah tipe demokratis dan bersifat responsif. Walaupun, pemerintah Orde Baru dalam mejalankan pemerintahannya bertipe otoriter dan bersifat represif. Dengan demikian, pandangan para ahli politik hukum bahwa apabila suatu pemerintahan yang bertipe oteriter maka produk hukumnya bertipe otoriter. Demikian juga sebaliknya, pada pemerintahan yang bertipe demokrasi, maka tipe hukumnya demokratis. Dari pendektan ini maka tidak selalu benar setiap pemerintahan otoriter produk hukumnya otoriter dan bersifat ortodoks.[7]
b. Di Bidang Hukum Peradilan
Seperti diketahui bahwa paradigma hukum nasional Indonesia, merupakan sistem hukum yang kompleks, berangkat dari keyakinan nilai dan norma etik yang berangkat dari keanekaragaman sosial budaya (culture). Hal ini menyebabkan sumber nilai hukum nasional tidak hanya diwarnai oleh paradigma hukum yang diwarisi dari hukum kolonialisme Belanda. Tetapi secara faktual, nilai-nilai yang berdasarkan hukum Islam juga hidup dan terus berkembang dalam kehidupan sosio cultural masyarakat, dan sebagian besar masyarakat mempedomani nilai-nilai Islam tersebut baik dalam kehidupan sehari-hari dengan berbagai persentuhan budaya, maupun dalam menceri solusi dan keadilan guna menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Secara teoritik, peradilan Agama memiliki makna strategis dan kedudukan yang sangat urgen dalam pembangunan sistem peradilan Indonesia.
Dalam sejarah ketatanegaraan dan politik hukum Indonesia dalam era refomrasi yang melahirkan perubahan UUD NKRI Tahun 1945, yang telah menempatkan kekuasaan yudikatif di bawah Mahkamah Agung, sebagai salah satu pilar dalam sturuktur ketatanegaraan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang independen. Konsekuensi dari perubahan konstitusi tersebut, kemudian terelaborasi dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman perubahan kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1970.dan UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 1986. Pergeseran kekuasaan yudikatif membawa seluruh institusi peradilan berada di bawah Mahkamah Agung.
Regulasi peradilan agama sebelum ditetapkan UU Nomor 7 Tahun 1989 berfariasi, ada regulasi yang khusus untuk daerah Jawa dan Madura, ada regualsi yang khusus untuk sebagian daerah Kalimantan Selatan dan ada regulasi yang khusus untuk daerah di uar Jawa dan Madura serta sebagian Kalimatan Selatan. Atruran-aturan tersebut sangat melemahkan posisi dan kewenangan Peradilan Agama. Bertolak dari keragaman regulasi yang mengatur Peradilan Agama, maka pada tahun 1988 di masa pemerintahan Orde Baru diajukan RUU Peradilan Agama, dengan pertimbangan bahwa untuk segera diakhiri keragaman itu, demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama dalam kerangka sistem dan tata hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Setelah melalui pembahasan yang panjang dan penuh dengan dinamika polemik RUU tentang Peradilan Agama itu ditetapkan menjadi UU pada tanggal 29 Desember 1989, yaitu UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 3400. Dengan diundangkan UU Pearadilan Agama, maka eksistensi peradilan Agama memiliki legalitas formal dalam perundang-undangan nasional, dan hanya dikenal satu sebutan peradilan yaitu Peradilan Agama.[8] Dengan kewenagan sebagaimana tercantum dalam Pasal 49. Terdapat selangkah maju peradilan agama diposisikan sederajat dengan tiga peradilan lainnya. Tetapi, dalam penyelesaian perkara yang terkait warisan, wasiat dan wakaf masih diberi hak pilihan hukum kepada pencari keadilan. Bahkan beberapa bidang hukum perdata Islam yang menjadi kewenangan Peradilalan Agama sampai kini belum mempunyai legal formal seperti hukum waris, wasiat, hibah dan sedakah.
Pemerintah Orde Baru dalam wakatu antara tahun 1985-1998 dengan metode konfigurasi politik koorperasi dan kebijakan akomodasi atas perkembangan nilai-nilai hukum Islam di masyarakat Islam Indonesia menempatkan posisi peradilan agama dalam kerangka politik hukum yang bersifat demokratis-responsif. Beberapa politik hukum yang merugikan posisi peradilan agama secara yuridis tersingkirkan. Beriringan dengan perubahan UU Nomor 14 Tahun 1970 dengan ditetapkan UU Nomor 4 Tahun 2004 sebagai realisasi dari perubahan UUD NKRI Tahun 1945, maka juga diadakan perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 dengan UU Nomor 3 Tahun 2006, selanjutnya dirubah dengan UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Perubahan tersebut justru menempatkan Peradilan Agama dalam posisi yang sangat kuat dalam sistem peradilan di Indonesia, dan dengan perluasan kompetensi absolut peradilan agama di bidang zakat dan ekonomi syariah. Demikian juga perubahan atas Pasal 3A oleh UU Nomor 3 Tahun 2006 hanya memuat tentang akan diadakan peradilan khusus, dan dalam penjelasannya dimaksudkan adalah pengadilan syariah dan mahkamah syariah di Propinsi Nanggro Aceh Dasrussalam. Sedangkan UU Nomor 50 Tahun 2009 Pasal 3A dijabarkan atas empat ayat. Ayat (1) mengatur tentang pembentukan pengadilan khusus, ayat (2) mengatur tentang peradilan syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, ayat (3) mengatur tentang pengangkatan hakim ad hoc pada pengadilan khusus dan ayat (4) mengatur tentang syarat, tatacara pengangkatan dan pemebrhentian serta tunjangan hakim ad hoc. Terkait dengan pengadilan khusus disebutkan dalam penjelasa Pasal 3A ayat (1) UU Nomor 50 Tahun 2009 bahwa yang dimaksud dengan diadakan pengkhususan pengadilan adalah ada diferensiasi/spesialisasi di lingkungan peradilan agama dimana dibentuk pengadilan khsusus, misalanya pengadilan arbitrase syariah, sedangakan yang dimaksud dengan yang diatur dengan UU adalah susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya.
Peradilan Agama adalah sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam mempunyai nilai strategis. Sebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan perundang-undngan baru sebagai pendukung (subtansi hukumnya).
c. Di Bidang Hukum Wakaf
Secara etemologi kata wakaf berasal dari bahasa Arab yaitu waqf sama dengan kata habs yaitu menahan, dapat juga diartikan berhenti,atau menegakkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata wakaf diartikan dengan pengehentian sebentara.[9] Sedangkan dari segi terminologi menurut Sayyid Sabiq wakaf adalah menahan harta dan meberikan manfaatnya di jalam Allah. Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dikatakan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan salamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.[10]
Dalam KHI disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda dari miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Dari kedua pengertian tersebut, UU Nomor 41 Tahun 2004 masih memberikan alternatif bagi wakif untuk memilih apakah siafat wakaf untuk selama-lamanya (mutlak) atau dalam waktu tertentu (relatif). Sedangkan KHI tidak memberikan alternatif pilihan bagi wakif, dan sifat wakaf untuk selama-lamanya (mutlak).
Eksistensi wakaf dalam hukum nasional dimulai dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria.[11] UU ini memberi jaminan perlindungan atas tanah-tanah hak milik lembaga-lembaga sosial keagamaan. Kepemilikan tanah dengan jalan wakaf menurut UU ini diatur dengan Peraturan Pemerintah, dan baru terealisasi pada masa pemerintahan Orde Baru, dengan ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Peraturan Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Wakaf sebagai lembaga keagamaan yang memilik potensi dan manfaat ekonomi. Wakaf sebagai lembaga keagamaan bukan hanya terbatas pada menyediakan sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum.[12] Karena dia memiliki pontensi dan manfaat ekonomi, maka pontensinya diperluas, tidak hanya dibatasi pada wakaf tanah tetapi telah menyentuh bidang usaha lain.
Harta wakaf sebagai sarana investasi sosial memiliki dimensi kultural relegius dan menjadi salah satu penyangga lembaga ekonomi umat. Dengan demikian, negara berkewajiban menyediakan regulasinya. Sebab praktek wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus harta wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Berbaringan dengan itu, karena semakin meningkat kasadaran umat Islam dalam mengamalkan ajaran agamnya, yang menyentuh hajat hidup orang banyak dan rasa tanggung jawab sosial, maka perbuatan hukum yang menyentuh aspek wakaf dibutuhkan sebuah kepastian hukum.
UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,[13] yang ditetapkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri, dengan pertimbangan bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat yang peraturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam berbagai peraturan perundng-undangan. Keberadaan UU Nomor 41 Tahun 2004 telah menjawab keinginan umat Islam Indonesia. UU wakaf memperluas potensi wakaf, yang sebelumnya hanya terbatas pada wakaf tanah. Suatu terobosan dari UU wakaf adalah memasukkan benda bergerak seperti uang dijadikan sebagai wakaf tunai. Apabila ditelusuri baik dari berbagai literatur fikih klasik mapun peraturan perundang-undang belum ditemukan pandangan atau aturan yang menyangkut dengan wakaf tunai. Tetapi dengan UU wakaf potensi wakaf diperluas selain benda tidak bergerak, juga benda bergerak termasuk uang dijadikan sabagai wakaf tunai. Di samping itu, memuat ketentuan pidana dan sanksi administratif.
[2] Semenjak awalnya, Negara merasa berhak dan wajib mengurus pembangunan hukum. Dalam semua kebijakan hukum, baik legislasi, yudikasi, maupun eksekusi, Negara menduduki posisi senteral melalui aturan-aturan yang dibuatnya, negara menentukan apa yang “benar” , “baik” dan “tepat” yang harus dilakukan rakayat. Dalam yudikasi, melalui pengadilan, negaralah yang berhak memutuskan keabsahan ataupun ketidakabsahan suatu perbuatan, berikut soal salah tidak salahnya pelaku. Dalam eksekusi, Negara memiliki otoritas memaksakan keputusan hukum itu kepada yang disahkan. Lihat Bernard L Tanya. Hukum Dalam Ruang Sosial. Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hlm.115.
[4] Legalisasi di bidang hukum keluarga, hanya sebatas hukum perkawinan dan hukum wakaf, sedangkan hukum waris, hukum waswiat dan hibah sampai sekarang ini belum dalam bentuk UU.
[6] Pada tanggal 27 September 1973 sekitar 500 pemuda muslim yang berstatus peninjau memprotes dengan memaang poster sehingga mengganggu jalannya persidangan. Maka DPR menghentikan jalannya persidangan pada saat pemerintah memberikan jawaban terhadap pandangan umum faraksi-faraksi di DPR. Abdul Halim. Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia. RajaGrafindo, Jakarta, 2000, hlm.124-126
[8] Sebelumnya terdapat sebutan Peradilan Agama untuk Jawa dan Madura, Kerapatan Qadli dan Kerapatan Qadli Besar untuk sebagian Kalimantas Selatan, dan Mahkamah Syariah untuk daerah di luar Jawa dan Madura serta sebagian Kalimantan Selatan.
[9] A,W. Munawar, Kamus Al-Munawwir Arab- Indonesia Terlengkap. Pustaka Progresif, Surabaya, 1997, hlm. 1576. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. edisi kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1999, hlm. 1123. Lihat, Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah. Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2007, hlm. 423. Liahat. Abdul Ghafur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia. Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 250
[11] Lihat Pasal 49 UU Nomor 5 Tahun 1960, (1) Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. (2) Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.(3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
[12] Yaitu tersedianya sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat di tempat wakaf berada atau sarana dan prasarana dibiayai dari hasil pengelolaan dan pengembangan benda wakaf sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf. Lihat, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Wakaf, Sekjen DPR RI, Jakarta, 2008
0 komentar:
Posting Komentar