PERBEDAAN PENETAPAN AWAL DAN AKHIR BULAN RAMADAN DI DESA-DESA LEIHITU BARAT KABUPATEN MALUKU TENGAH


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Allah telah menjadikan matahari bersinar, bulan bercahaya dan ditetapkanNya ekleptika-ekleptika perjalan bulan itu, supaya diketahui bilangan tahun dan perhitungan waktu (Q.S. 10:15).  Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit) katakanlah bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan pelaksanaan ibadah haji (Q.S. 2:189)
Dalam penentuan awal dan akhir bulan Ramadlan Rasulullah saw. mengatakan bahwa1 janganlah kamu sekalian berpuasa sehingga kamu melihat hilal dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu melihat hilal. Bila hilal tidak tertlihat (tertutup awan atasnya, maka berpuasalah tigapuluh hari (Hadis Riwayat Bukhari)
Landasan naqli tersebut menginformasikan bahwa hilal merupakan sesuatu yang menjadi dasar perubahan waktu (perubahan bulan baru). Namun, kreterianya tidak disebutkan. Realitas inilah yang akhirnya muncul keanekaragaman pendapat dalam menentukan hilal bulan.
Pelaksanaan hisab dan rukyat, diperkirakan sejak masuknya Islam di tanah air. Hal ini dibuktikan dengan adanya kewajiban berpuasa Ramadan dan berhari raya Idul Fitri yang didasarkan pada usaha melihat hilal di akhir bulan Sya'ban atau dan akhir bulan Ramadan. Usaha melihat hilan pada akhir bulan dikenal dengan rukyat, yang dilakukan pada saat matahari terbenam pada tanggal 29 Sya'ban dan 29 Ramadan.  Apabila hilal dilihat maka malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal 1 bulan berikutnya, namun jika hilal tidak dapat dilihat bulan, maka bulan  yang sedang berlansung disempurnakan menjadi 30 hari. Perbedaan penetapan hilal bulan sering terjadi, seperti pada tahun 1998, dan pada tahun 2002 antara pemerintah dengan golongan yang berpegng kepada hisab murni. Hal ini telah menjadi suatu realitas di Indonesia. Terjadi perbedaan tersebut bukan saja antara aliran  hisab dengan aliran rukyat, tetapi juga, terjadi antara aliran hisab dengan aliran hisab dan antra ahli rukyat dengan ahli rukyat.
Di samping perbedaan metode, juga terjadi perbedaan dalam penetapan wilayah (matla'). Para ulama fuqaha berbeda  pendapat, Imam al Qurafi dalam kitabnya Furuq yang dikutip oleh Susiknan Azhar[1] menyatakan: Sesunguhnya ulama pengikut  madzhab Maliki berpendapat bahwa bila bulan sabit bisa dilihat di suatu negara, maka bisa dijadikan landasan bagi kaum muslimin di seluruh bumi untuk berpuasa pada pagi harinya. Pendapat ini juga diikuti oleh madzhab Hambali.
 Pendapat kedua madzhab ini bisa dapat dijadikan dasar, apabila daerah-daerah yang berada pada posisi bujur timur telah nampak terdahulu hilal bulan. Akan tetapi Apabila hilal bulan itu telah nampak pada daerah-daerah bumi belahan barat dengan ketinggian hilal antara satu sampai dua derajat tentunya pendapat tersebut tidak dijadikan dasar.
Dalam riwayat lain al Qurafi[2] berpendapat, bahwa bila waktu shalat berbeda lantaran perbedaan daerah, maka setiap daerah mempunyai waktu tersendiri untuk fajar atau zawal dan lain-lain. Sudah tentu perbedaan itu akan membuat waktu terbitnya hilal (new moon) tanggal satupun berbeda. Sebab bila negara-negara timur melihat bulan sabit dan matahari masih berjalan menuju ke arah barat bersama bulan, maka sudah pasti penduduk barat akan melihat bulan sabit bercahaya di sana penduduk timur tidak melihatnya.[3]   
Perbedaan tersebut karena banyak terdapat sistim atau metode yang digunakan, tentunya antara satu sistim dengan sistim yang lain mempunyai kelemahan dan kelebihan. Namu demikian, ada juga sistim tertentu yang mempunyai kelebihan (keungulan) yang signifikan.
Penentuan awal bulan (hilal) dengan menggunakan sistim hisab terdapat bebrapa sistim, seperti sistim klasik  (Khulashah wafiyah, Qawaid al Falaqiyah, Sullamun Nayyarain, Fathuraufil Manan, Menara Qudus, Jeos Meeus, Nurul Anwar,dan Badi'atul Mitsal) dan  sistim hisab kontenporer ( Ephemeris dan sistim Nautika). Di samping sistim yang disebutkan itu, dalam ilmu hisab itu sendiri dikenal dengan hisab ijtima, hisab Imaknur Rukyat, dan hisab irtifa'u hilal, kesemua hisab tersebut tercakup sistim hisab hakikih.
Di kalangan ahli hisab dikenal dua sistim hisab, yaitu hisab urfi  dan hisab hakikih. Kedua macam hisab ini mempunai perbedaan yang sangat signifikan. Hisab urfi didasarkan pada perjalan rata-rata bulan mengelilingi bumi dan perjalanan bumi mengelilingi matahari. Sedangkan hisab hakikih memperhitungkan awal dan akhir bulan dengan hisab astronomi. 
Berbagai sistim penentuan ini bila tidak dicermati secara mendalam memungkinkan menjadi potensi perpecahan di kalangan umat Islam. Di samping itu, arogansi para ahli hisab yang tetap mempertahankan yang menurutnya sistim yang digunakan telah memenuhi kreteria keakuratan.
Persepsi masyarakat, bahwa jika terjadi perselisihan dalam penentuan awal bulan Ramadan atau awal bulan Syawal, maka yang menjadi sasaran tuduhan adalah dua organisasi masa yang terbesar (Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama). Tuduhan semacam ini tidak dapat dielakan, karena hampir setiap tahun pasti terjadi perbedaan waktu pelaksanaan hari raya idul fiteri.  
Perbedaan penentuan hilal tersebut bukan saja terjadi sepeti di Indonesia di kalangan dua oganisasi terbesar Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Namun, juga terjadi di kalangan masyarakat perdesaan. Di Maluku misalnya pada tahun 2003 desa Wakal, desa Seit, desa Tengah-tengah di pulau Ambon, desa Ory di Pulau Haruku dan desaTehoru di pulau Seram, bahkan setiap awal dan akhir bulan Ramadan sering terjadi perbedaan dengan perhitungan kedua oraganisasi tersebut dan selisih perbedaan itu bukan satu hari bahkan selisih dua hari. Bulan Ramadan tahun 2003
Desa Wakal, desa Seit dan   setiap tahun tetap berbeda dengan kesepakatan ahli hisab maupun rukyat. Hal ini dimungkinkan karena dasar perhitungannya adalah hisab urfi atau ada sistim lain, di samping persepsi masyarakat bahwa puasa itu harus sempurna tigapuluh hari.
Perbedaan penetapan awal dan akhir Ramadan di desa tersebut akan memicu perselisihan antara masyarakat, bahkan sering menimbulkan cemohan antara warga desa. Ketidak ikutan desa tentang penetapan awal dan akhir bulan Ramadan yang ditetapkan pemerintah menunjukkan, bahwa masyarakat desa tersebut masih berpegang pada tradisi kepemimpinan primodial. Ini berarti keredibelitas  penghulu agama (imam, khatib, muazin dan marbut) yang istilah adat dengan staf hakim syarah masih ditaati oleh warga desa. Yang perlu dicermati adalah metode pentapan awal yang digunakan untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadan.   

B. Perumusan Masalah

Bertolak dari uraian latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Dalam penentuan hilal bulan sistim hisab apa yang menjadi pedoman?
2. Bagaimana kevalidan dan akurasi pedoman yang dijadikan dasar perhitungan hilal?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian
 a. Tujuan umum
Untuk memberikan masukan dan sumbangan pemikiran dalam rangka penyatuan pendapat dalam penentuan hilal bulan.
b. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui bagaimana sistim perhitungan yang dijadikan dasar dalam penentuan hilal bulan di desa-desa dijadikan lokasi penelitian.
2. Untuk mengetahui akurasi atau kevalidan sistim perhitungan dan observasi yang digunakan
2. Kegunaan Penelitian
1). Dengan penelitian ini diharapkan dapat memperoleh suatu konsep dasar yang menjadi ladasan penetapan awal dan akhir bulan Ramadan. Tentunya dapat dikompersikan dengan dasar sisitim hisab yang diakui oleh ahli hisab dan ahli rukyat.
2). Terdiskripsi konsep dasar sistim hisab yang berkaitan dengan keakuratan pedoman hisab melalui temuan-temuan sistim hisab yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh dalam penentuan awal dan akhir bulan Ramadan.

D.  Batasan-batasan Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Kabupaten Maluku Tengah khusus di desa Wakal, Seit Kecamatan Leihitu  dengan pertimbangan bahwa kedua desa  tersebut setiap tahun melaksanakan ibadah puasa mendahului penentuan yang ditentukan baik ahli hisab Muhammadiyah maupun oleh Pemerintah dan ahli Rukyat.  Dengan demikian, batas-batas yang akan dilakukan dalam penelitian tentang penentuan hilal bulan yang terjadi pada desa-desa tersebut meliputi: 1) Sistim perhitungan mana yang dijadikan dasar, 2) Pelaksanaan rukyat, alat yang digunakan untuk merukyat dan lokasi merukyat atau mengobservasi hilal.

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.     Konsep Permulaan Hari dan Konsep Hilal

1. Konsep Permulaan Hari
Penentuan awal bulan qamariyah sangat terkait dengan penentuan hari. Hal ini dimaksudkan bahwa kapan terjadi hilal, hari apa, dan permulan perhitungan hari itu apakah pada waktu matahari terbit atakah pada waktu matahari terbenam. Alqur'an hanya memberi sintilan dengan isyarat bawa pembagian hari (baca siang dan malam) ditunjukkan dengan simbul benang putih (al khait al abyad) dan benang hitam (al khait al aswad). Siang hari disimbulkan dengan benang putih dan malam hari disimbulkan dengan benang hitam. Persoalannya kapan permulaan hari dimulai. Alqur'an secara tegas tidak menginformasikan batas permulaan antara benang putih dan benang hitam. Aliran ijtima' sebelum fajar (qabla al fajr) menganggap bahwa permulaan hari adalah saat terbit fajar1. Landasan mereka adalah Qur'an Surat al Baqarah ayat 187. Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai  (datang) malam.
Sementara itu Saadoe'ddin Djambek berpendapat bahwa permulaan hari adalah saat terbenam.2 Pendapatnya didasarkan pada al Qur'an Suarat Yaasin ayat 40. Tidak mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.
2. Konsep Hilal
Kata hial dalam al Qur'an hanya satu ayat yang menyebutkan dalam bentuk jamak (plural) yaitu pada Surat al Baqarah ayat 189. Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal). Katakanlah bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.
Sedangkan dalam hadis kata hilal banyak ditemukan, misalnya3 Janganlah kamu sekalian berpuasa sehingga kamu melihat hilal dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu melihat hilal. Bila hilal tertutup awan atasmu, maka berpuasalah tiga puluh hari.
Dalam penentuan permulaan hari maupun hilal tidak mudah ditetapkan. Akan tetapi  diperlukan metode-metode perhitungan (hisab). Untuk itu para ahli falak menggunakan dua sistim hisab, yaitu hisab urfi dan hisab haqiqih.

 

B.  Sistim Hisab

1. Hisab Urfi 
Hisab urfi ialah perhitungan penetuan tanggal yang dilakukan dengan hitungan rata-rata, dan berlaku tetap dengan ketentuan-ketentuannya. Hisab urfi digunakan untuk pembutan almanak, penanggalan kalender. Dan hisab ini tidak ddugunakan dalam menentukan tanggal 1 Ramadan dan Syawal.4
Hisab urfi di Indonesia pada garis besarnya ada tiga, yaitu hisab masehi, hisab hijriah dan hisab Jawa (Jawa Islam).
a. Hisab Masehi (Perhitungan Masehi)
Numa Pompilius adalah pencipta perhitungan Masehi. Dia menjadikan tahun berdirinya Kerajaan Romawi (753 SM) sebagai tahun pertama, dan dapat dikenal dengan hisab Romawi. Sistim hiasab Romawi didasarkan pada peredaran matahari atau revolusi bumi. Pada tahun 45 SM berdasarkan perhitungan Pompilius masuk bulan Juli, tetapi jika dilihat dari letak matahari, sebenarnya baru bulan Maret, sehingga selisih tiga bulan. Yang oleh Julius Caesar memerintahkan agar diubah dan disesuaikan dengan yang sebenarnya serta ditetapkan rata-rata satu tahun 365 ¼ hari. Peredaran matahari yang sebenarnya 365 hari 5 jam 48,46 menit. Tahun pertama samapi tahun tahun ketiga disebut tahun pendek (365 hari) dan tahun keempat disebut tahun panjang jumlah harinya ditetapkan 366 hari. Untuk menentukan bahwa tahun itu adalah tahun panjang, angka tahun tepat dibagi empat. Jadi, matahari  satu kali  berseklus (daur, windu) menempuh waktu 4 tahun.5
Pada tanggal 5 Oktober 1582 M Paus  Gregorius XIII berdasarkan perhitungan seorang ahli perbintangan bahwa pada tanggal 5 Oktober letak matahari sebenarnya sudah tanggal 15 Oktober memerintahkan agar pada tanggal 5 Oktober dimajukan 10 hari, yaitu dijadikan tanggal 15 Oktober 1582 M. Dengan perubahan ini maka perhitungan Julius Caesar tidak digunakan lagi.6 Di samping itu tahun-tahun yang dapat dibagi habis dengan 4  disebut tahun panjang (kabisah).
Jumlah bulan pada tahun Masehi ditetapkan 12 bulan yang dikenal dengan bulan Januari sampai dengan Desember. Cara perhitungannya sebagai berikut;
Tahun yang lalu dapat dibagi 4
4 dikalikan dengan 1461 hari
1461 hari dikalikan dengan hasil pembagian dari tahun
sisa tahun dikalikan dengan 365 hari
jumlah hari pada tahun yang dijadikan objek hitung
Dijumlahkan secara total dan dapat dikurangi dengan 13 atas koreksi Paus Gregorius XIII.
hasilnya dibagi 7 (satu pekan), dan sisa pembagian itu menentukan hari pada tanggal tersebut, yang perhitungannya dimulai dari hari Sabtu.
Contoh; 1 Januari 2010

2009:4  =  502X1461= 733422
1X365                       =        365
1Januari                     =            1 +
                                      733788
Koreksi 13                =          13 -
                                     733775
733775:7                   = 104825 + 0

Hasil akhir dari perhitungan tersebut dibagi habis dengan angka 7 berarti tanggal 1 Januari 2010 kena hari Jum'at.
Sistim penanggalan Masehi ini bergunakan untuk mengkompersikan dengan sistim penanggalan hijriah, terutama dalam hal mendapatkan data berdasarkan daftar ephemeris atau alamanak Nautika. Bahkan dapat juga untuk sistim Jeas Meus.

b. Hisab Hijriah
Perhitungan awal bulan berdasarkan tahun hijriah adalah sistem perhitungan penanggalan yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi mengelilingi matahari secara rata-rata. Lama hari pada setiap bulannya menurut sistim ini mempunyai aturan yang tetap dan beraturan, yaitu untuk bulan  berangka ganjil 30 hari dan bulan berangka genap 29 hari kecuali bulan Zulhijjah dalam setiap satu daur (30 tahun) 11 kali dihitung 30 hari.
Penetapan tahun hijriah didasarkan pada perpindahan Rasulullah dari Mekkah ke Madinah. Yang menurut ulama hisab pada saat itu bertepatan dengan 1 Muharam hari Kamis 16 Juli 622 M. Sebab mucuts hilal pada hari Rabu petang pada saat matahari terbenam sudah mencapai 5 derajat 57 menit, Ada juga yang berpendapat bahwa 1 Muharam bertepatan dengan 17 Juli 622 M hari Jum’at.
Satu tahun 12 bulan, bulan satu kali berevolusi menempuh waktu 354 hari 8 jam 48,5 menit. Satu bersiklus (daur, windu) 30 tahun, dalam 30 tahun itu terjadi 11 kali tahun panjang (kabisah) yaitu tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan 29. Tahun yang dapat dibagi habis dengan 30 adalah tahun panjang dan jumlah hari dalam satu daur adalah 30X354=10631 hari  Nama-nama bulan dalam tahun hijriah adalah Muharam, Safar, Rabi'ul awwal, Rabi'ulakhir, Jamadilawwal, Jamadilakhir, Rajab, Sa'ban, Ramadan, Syawal, Zulqaidah dan Zulhijjah. Aplikasinya sebagai berikut:
29 Sya'ban 1425 H
Data tahun lalu 1425-1= 1424
1424:30 = 47 daur sisa 14 tahun
47X10631                           =  499657
14X354+6                           =      4962
1 Muharam s/d 29 Sya'ban  =        236 +
                                                504855
504855:7 = 72122 + 1 (Kamis)

             Sistim hisab urfi tidak dapat dipergunakan dalam menentukan awal bulan qamariah untuk pelaksanaan ibadah (awal dan akhir Ramadan), karena menurut sistim ini umur setiap bulan itu parmanen. Tetapi sangat baik untuk dipergunakan dalam penyusunan kalender, sebagai perubahan jumlah hari, bulan dan tahun tetap dan berurutan, sehingga penetapan jauh ke depan dan ke belakang dapat diperhitungkan dangan mudah tanpa data peredaran bulan dan matahari yang sebenarnya. Tetapi karena sitim ini dianggap tidak sesuai dengan kehendak syara' maka umat Islam tidak menggunakannya, walaupun hanya untuk penyusunan kalender.7
            Perhitungan menggunakan hisab urfi dapat digunakan pada perhitungan hisab hakiki terutama dalam penetapan tanggal untuk pengambilan data. Kedua sistim dikomparatifkan. Mesilnya untuk menentukan saat terjadi ijtima' bulan Ramadan tahun 1425 H.
Tanggal 29 Sya'ban 1425 H dikompersikan dengan tahun Masehi.
 1424:30 = 47 + 14 tahun
47X10631                          =   499657
14X354+5                          =       4961
1 Muharam s/d 29 Sya'ban =         236  +
                                                 504854
Kompersi H-M                    =  227016
Koreksi P.Grogerius           =           13  +
                                                 731883
731883:1461 = 5000 sisa 1383 hari
500 X 4     = 2000
1383 :365  = 0003 +  sisa 288 hri                 
                     2003
288 - 174   = 14
Tanggal 29 Sya'ban 1425 H bertepatan dengan 14 Oktober 2003 M, data ini dibutuhkan untuk mencarai titik kulminasi bulan dan matahari pada tanggal 29 Sya'ban pada daftar Alamanak Epemeris atau Alamanak Nautika.

2. Hisab Hakikih
Berbeda dengan hisab urfi, sistim hisab hakikih memperhitungkan awal dan akhir bulan dengan hisab astronomi, baik yang dipakai sistim hisab ijtima, hisab imkar ru'yah atau hisab posisi bulan (irtifa'ul hilal).8 Sistim hisab ijtima ada dua cara yang dipergunakan yaitu sistim ijtima sebelum matahari terbenam dan sistim ijtima sebelum fajar.
 Batas imkaru ru'yah bermacam-macam. Ada yang berpegang kepada ketinggian hilal (altiude of the moon), selisih azimut antara hilal dan matahari, selisih sudut antara matahari dan bulan (angular distance) dan umur bulan setelah terjadi ijtima.
Selain adanya pebedaan sisitim dalam penetapan awal bulan qamariyah seperti disebutkan di atas, di Indonesia terdapat pula beberapa sistim hisab yang hidup dan berkekmbang di kalangan umat Islam. Ada dua sistim hisab yaitu sistim hisab taqribi dan hisab tahqiqih.
Sistim hisab taqribi adalah sistim hisab yang  menghitungkan saat terjadi ijtima dan ketinggian hilal dengan cara sederahana, dengan menggunakan data-data yang bersumber dari astronom zaman Ulugh Bek (pada abad ke 9) dengan cara penambahan dan pengurangan. Sistim ini banyak digunakan pada pasantren-pasantren terutama di Pulau Jawa.
Sistim hisab tahqiqih9 dalam proses perhitungannya mempergunakan rumus-rumus spherical trigonometry dan koreksi-koreksi yang lebih banyak dari sistim hisab taqribi. Sistim ini banyak digunakan pada IAIN/STAIN, lemabaga-lembaga astronomi, Badan Meteorologi dan Giofisika, dan Observatrium Bosscha ITB Bandung.
Metode hisab untuk menentukan awal dan akhir Ramadan didasarkan pada kreteria pergantian bulan lama dan bulan baru. Metode ini menggunakan beberapa macam cara di antaranya adalah hisab Ijtima' hisab imkanur ru'yah dan hisab posisi bulan.
a.  Hisab Itima'
Hisab ini digunakan untuk menghitung terjadinya Ijtima (conjunction) pada akhir Sya'ban dan akhir Ramadan. Dalam definisi astronomi, umur bulan ialah waktu yang dinyatakan dalam hari (dan pecahannya) sejak bulan melintasi titik konjungsinya (ijtima). Pada saat itu dikatakan bulan baru atau new moon. Dalam istilah astronomi dan bulan berumur 1 hari sejak meninggalkan titik konjungsi masih kurang dari 24 jam.
Kata new moon berbeda kata new month. Moon adalah bulan sebagai benda langit, sedangkan month adalah bulan yang berjumlah 12 dalam satu tahun.
Metode ini digunakan untuk menentukan bila waktu ijtima' terjadi sebelum magrib, maka harinya masuk bulan baru. Metode ini tidak berkaitan dengan kemungkinan hilal dapat dirukyah atau imkanur ru'yah. Kreterian waktu terjadi ijtima' menurut ilmu astronomi, merupakan batas yang jelas antara bulan lama dan bulan baru.10
Dalam aliran hisab ijtima' terjadi perbedaan pandang antara yang berpegang pada ijtima' sebelum matahari terbenam (qabala ghurub) dan yang berpegang pada ijtima setelah matahari terbenam (ba'da ghurub).
Metode ijtima' dalam menentukan bulan baru tidak terikat dengan kreteria wujud hilal maupun sudut kemiringan hilal. Apabila ijtima terjadi sebelum matahari terbenam, maka esoknya bulan baru, dan ijtima' terjadi sesudah matahari terbenam hari besokmya belum masuk bulan baru, tetapi hari berikutnya.

b. Hisab Imkanur Ru'yah
Hisab imkanur ru'yah adalah menghitung posisi bulan yang memungkinkan bulan itu dapat dirukyah. Yaitu dengan cara melakukan obsevasi (pengamatan) berulang kali. Menurut Basith Wachid ada dua hal yang dihitung dalam metode ini: tinggi bulan di atas ufuk atau irtifa' dan sudut antara bulan dan matahari11. Muhammad Wardan ada tiga kreteria imkanur ru'yah: namapak benar-benar bulan telah terlihat, bulan dapat dirukyat meskipun tidak terlihat dan bulan sudah ujud.12
            Pada bulan Nopember 1978 di Istambul, Turki diadakan konfrensi penentuan awal bulan qamariiah yang diikuti oleh 18 negara dan utusan dari beberapa oraganisasi islam Internasioanl. Konfrensi teesebut anatara membuat pedoman bahwa awal bulan dianggap sudah masuk jika saat matahari terbenam hilal mempunyai irtifa' (altitude) 5 derajat dan sudut 7 derajat sampai 8 derajat sebagai hasil dari obsevasi berulang kali dan beberapa kali pula mengalami perubahan. Pada awalnya irtifa'  ditetapkan untuk menimal 10 derajat, ternyata kemudian ada pengamatan yang dapat dipercaya yang menghasilkan hilal setinggi 9 derajat, dan seterusnya, sehingga angka paling akhir sebagaiaman keputusan konfrensi tersebut.
Para ulama hisab berbeda pendapat dalam hal irtfa' hilal yang dapat di obsevasi, ada yang berpendapat 12 derajat seperti yang diterangkan oleh Ba Machromah dalam bukunya Al Lum'ah yang dikutip oleh Muhammad Wardan bahwa bulan dapat dilihat jika sampai 7 derajat. Pendapat ahli hsab yang lain 6 atau lima samapai 4 derajat bisa dapat diobsevasi.13 Di samping pendapat-pendapat tersebut, realitas menunjukkan bahwa di Indonesia secara berulang-ulang melakukan observasi di Pelabuhan Ratu pernah berhasil melihat bulan pada posisi 2 derajat.  Menghadapi kenyataan semacam ini apakah hasil rukyat ditolak atau kreteria irtfa' yang harus diturunkan. Pemerintah Indonesia C.q. Departeman Agama menetapkan bahwa imknur ru'yah adalah 2 derajat. Kurang dari 2 derajat maka bulan itu disempurnakan 30 hari. Hal ini sering menimbulkan perbedaan dengan ahli hisab posisi bulan.

c.  Hisab Posisi Bulan
Hisab posisi bulan memperhitungkan ijtima' dan posisi bulan di atas ufuk. Apbila ijtima; ahir Sya'ban atau akhir Ramadan terjadi sebelum terbenam matahari (maghrib) dan psosi bulan di atasufuk itu positif, maka malam harinya telah masuk bulan baru. Menurut Wasith  Wachid hisab posisi bulan tampak lebih sife dari pada hisab imkanur ru'yah yang samapi kini belum mendapatkan kepastian meyakinkan mengenai kreteria tinggi bulan serta selisih sudut bulan dan matahari. Metode ini juga, lebih sife dari sistem hisab ijtima'. Walaupun sistem ijtima' telah memiliki kreteria yang jelas antara builan lama dan bulan baru, tetapi tidak meperhitungkan wujudul hilal. Menurut sistem ini asal sudah terjadi ijtima' sebelum maghrib, maka bulan baru sudah dimulai tanpa memperhatikan apakah hilal sudah wujud atau belum.
Menurut Taqiyuddin As Subki dalam bukunya Fatawa Juz 1 yang dikutip oleh Basith Wachid, jika hisab menunjukkan secara psti bahwa hilal tidak mungkin dapat dirukyah, kesaksian (telah melihat hilal) dalam hal ini tidak dapat diterima, sebab mengandung kebohongan atau kesalahan. Sedangkan hisab sesungguhnya adalah qath'i.14 Dengan demikian, jika hisab menunjukkan secara pasti bahwa hilal tidak mungkin untuk dirukyah, maka menurut syara' kesaksian mustahil diterima.
Bila pendapat Taqiyuddin AS Subki tersebut dimaksudkan adalah hisab posisi bulan, maka memang demikian halnya. Sebab bila ada yang mengatakan melihat bulan pada posisi bulan negatif terhadap ufuk, maka keasksian tersebut ditolak atau tidak dapat diterima.
Sejalan dengan Pendapat Taqiyuddin As Subki, dalam kitab Tuhfa Juz 3 halam 374 yang dikutip dan dijadikan pertimbangan oleh Fatwa Majis Ulama Indonesia untuk menetapkan tanggal satu Syawal dinyatakan, bahwa sekiranya hisab qath'i yang menunjukkan adanya hilal setelah terbenam matahari dan hilal itu semestinya dapat dilihat, tetapi karena seuatu hal tidak dapat melihat, maka keadaan itu cukup dijadikan pedoman penetapan (awal/akhir Ramadan).15
Dalam keputusan Tarjih Muhammadiyah dikatakan bahwa apabila hasil perhitungan hisab menunjukkan positif (di atas ufuk) atau sudah wujud tetapi tidak tampak, padahal kenyataan ada orang yang melihat maka kesaksiannya dapat terima.16
Ketiga sistem hisab hakiki tersebut dijabarkan dalam berbagai sistim pehitungan, baik yang menggunakan perhitungan tradisional yaitu  perhitungan dengan menggunakan  data-data  yang bersumber dari astronom zaman Ulugh Bek (abad ke 9), maupun perhitungan kontemporer, yaitu pehitungan yang didasarkan pada kaidah-kaidah ilmu ukur segitiga bola (spherical trigonimetri). Artinya sistim hisab kontemporer menggunakan data, perbedaan sabaq matahari dan bulan per jam, diklinasi  matahari dan bulan, sudut waktu, tinggi matahari, bujur astronomi matahari dan bulan, lintang astronomi matahari dan bulan, ketinggian tempat observasi, perhiutngan refleksi matahari, semidia meteri matahari, horizontal paralaks, letak geografis tempat obsevasi. Data tersebut dapat digunakan dalam menentukan sudut waktu matahari pada saat terbenam, mencari saat terjadi ijtima, menentukan ketinggian hilal dan sudut kemiringan matahari dan bulan.  Misalnya menentukan awal bulan Syawal 1418 H dengan menggunakan rumus-rumus perbandingan tarikh agar mendapatkan pertepatannya dengan tarikh masehi.
1417
            = 47 daur + 7 tahun + 8 bulan + 29 hari
30
47 x 10631 + (7 x 354 + 3)  +  (59 x 4) + 29 
499657 + 2481 + 236 + 29 = 502403 + 227029  = 729432
729432
= 499 daur + 393 hari
1461

499 x 4 = 1996 + 1 tahun + 28 hari
Jadi 29 Ramadhan 1418 H = 28 Januari 1998 M
Menentukan saat ijtima dengan menggunakan data-data pada Buku Ephemeris dengan langkah-langkah sebgai berikut:
1.      Frection Illomunation (FIB) pada bulan Januari 1998 adalah 0,0006 pukul 07:00 GMT, tanggal 28 Januari 1998
2.      Ecliptic Lengitude Matahari (ELM) pada pukul 07:00 GMT = 308º09’14”
3.      Apparent Longitude Bulan (ALB) pada pukul 07:000 GMT = 308º11’14”
4.      Sabaq Matahari per jam;
-         ELM pada pukul 07:00 GMT = 308º09’14”
-         ELM pada pukul 08:00 GMT = 308º11’14”
Sabaq Matahari                       =     0º02’32”
5.      Sabaq Bulan per jam;
-         ALB pada pukul 07:00 GMT = 308º11’14”
-         ALB pada pukul 08:00 GMT = 309º17’18”
Sabaq Bulan                            =    0º36’04”
6.      Saat ijtima’ dengan menggunakan rumus
ELM – ALB
JAM FIB +                         + 7j
s.B – s.M
308º09’14” – 308º41’14”
= pukul 07:00 +                                             + 7j
    0º36’04”  –    0º02’32”
-0º32’00”
= pukul 07: 00 +                    + 7j
0º33’32”
= pukul 07:00 + -0º57’15”39 + 7j = 13. 2’44”61
Ijtima’ terjadi pada pukul 13:02:44,61 WIB 28 Januari 1998
1. Ijtima’ Rabu 28 Januari 1998 pukul 13:02;44,61 (13:03) WIB atau pukul 06:03 GMT
2. Menentukan sudut waktu matahari terbenam
Cos  t   ¤ = -tan –6º10’ x tan -8º11’02” = sec –6º10’ x sec -18º11’02” x Sin -1º
= 0,108046159 x –0,32847171 +
1,00582005 x 1.052562578 x (-0,0174524)
= -0,05396681
  t   ¤ = 93º05’36”,87
3. Mencari saat matahari terbenam
Rumus = t : 15 + 12 – e + korksi bujur
9305’36”, 87 : 15 =  6:12:22,46
12 – (-12’57”)      = 12:12:57   +
Koreksi bujur       = 18:18:03,46
A.R. ¤ pukul 11 GMT   = 31044’14”
A.R. ¤ pukul 12 GMT   = 31046’50
Selisih per jam      = 02’35”
A.R. ¤ pada pukul 11:18:03,46 = 0:18:03,46 x 02’35 + 310º44’15”
= 310º45’1”,65 

A.R. (  pukul 11 GMT   = 312º48’55”
A.R. (  pukul 12 GMT   = 313º25’41”
Selisih per jam      =       36’46”
A.R. ( pada pukul 11:18:03,46 = 0:18:03’46 x 36’46” + 312º48’55”
 = 312º59’58”,9
5. Mencari sudut waktu Bulan ( t ( )
Rumus :  t (  = A.R. ¤ - A.R. ( + t ¤   
t (  = 31045’1”65 – 31259’58”,9 + 9305’36,87
= 9050’39”62
6. Mencari diklinasi hakiki bulan (ď (  )
d ( pukul 11 GMT = -14º57’09”
d ( pukul 12 GMT = -14º50’05”
selisih per jam =       07’04”
7. Mencari tinggi hakiki Bulan ( h (  )
Sin h = sin p sin d + cos p cos d cos t
Sin h = sin –6º10’ x sin –14º55’1”,39 + cos –6º10’ x cos 14º55’1”,39 x 90º50’39”,62
= -0,10742096 x –0,2574204 + 0,994213627 x 0,966299506 x –0,01473596
= 0,01349539
= 0,773252404
h = 0º46’23”,71
8. Mencari tinggi mar’i (lihat) bulan ( h' (  )
h                                               = 0º46'23",71
H.P.                                         = 0º59'44",67
                                               = -0º02'55",84
s.d. bulan                               =      16'16",80
                                              =   0º02'55",84
refleksi                                  =     29'12"
kerendahan ufuk                   =       9'18",62
h'                                           = 0º41'56",62

C. Sistim Rukyah
Syariah telah menetapkan rukyat atau istikmal (penyempurnaan hitungan) untuk mengawali dan mengakhiri puasa Ramadan sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw., baik secara qauliyah maupun fi'liyah. Dengan demikian kewajiban puasa harus dimulai apabila telah melihat hilal dan harus berhenti apabila melihat hilal, bukan karena adanya hilal (wujud hilal). Berarti walaupun hilal sudah wujud, tetapi jika tidak dilihat maka belum wajib puasa atau berhari raya
Rukyah bermakna melihat, yang menurut aliran rukyah adalah melihat hilal dengan mata, tanpa penggunaan alat bantu. Kata ru’yah didasarkan pada hadis Rasulullah saw. yang memerintahkan bahwa apabila melihat hilal  maka berpuasa dan melihat hilal  juga, maka berhari rayalah.
صوموِِِا لرؤيته وأفطروالريته فان غبىعليكم فاكملوا العد
Berpuasalah kamu jika melihat hilal dan berbukalah kamu jika melihat hilal. Jika langit tertutup awan maka sempurnakanlah bulan itu genap 30 hari.
Pada matan hadis yang lain dikatakan;
اذا رايتموا اهلال فصو مواواذارايتمواه فافطروافان غم عليكم فاقدرواله
Berpuasalah kamu jika melihat hilal, dan berbukalah kamu jika melihat hilal. Jika tertutup awan maka takdirkanlah tiga puluh hari.
Jadi salah satu metode penetapan awal dan akhir Ramadan adalah dengan cara melihat hilal. Persoalannya adalah jika hilal tertutup awan pada hal menurut ahli hisab hilal sudah bisa dapat dilihat, baik dengan menggunakan alat bantu maupun dengan kasat mata.
Menurut aliran rukyah untuk menentukan awal dan akhir puasa, tidak menuntut cara lain kecuali rukyah dan istikmal walaupun tingkat akurasinya masih dipermaslahkan. Selain ulama di kalangan Syafi'iyah. Di kalangan Malikiyah, Hanafiyah dan Hambaliyah tidak dapat menerima kehadiran hisab secara mutlak baik untuk perorangan maupun dalam lingkup umum bagi seluruh umat Islam.
Ada  tiga aspek yang menjadi sumber  terjadi perbedaan yatiu kesaksian, keberlakuan (mathla'), dan penggunaan alat bantu (instrumen). Terjadi perbedaan pndapat dalam kesaksian yang menyangkut jumlah  saksi perukyah, sifat adil yang dimilik saksi dan menyangkut dengan ilmu atau perhitungan. Dalam hal jumlah saksi juga terdapat perbedaan pendapat ada menganggap penting jumlah saksi ada yang memandang tidak penting jumlah saksi, tetapi yang diutamakan adalah kualitas yang dinyatakan oleh sifat dan perlakuannya yang adil.
Beberapa kalangan berpendapat hasil rukyah harus diuji dan harus sesuai dengan perkiranaan hisab, apabila menurut hisab tak mungkin dapat dilakukan, maka hasil rukyah diragukan kesahihannya.
Ketidak kemungkinan rukyah ini disebabkan menurutr perhitungan posisi hilal teralu rendah dan terlalu besarnya keselahan kerena pembiasan cahaya di atmosfer serta karena paralaks. Apabila rukyah berhasil dilakukan pada suatu tempat, seberapa jauh rukyah di tempat tersebut dianggap berlaku.
Terdapat empat pendapat tentang batas geografis keberlakuan rukyah (mathla'). Pertama,  bahwa keberlakuan rukyah hanya sejauh jarak dan mana qashar shalat tidak diizinkan (kira-kira + 80 km). Kedua, keberlakuannya adalah sejauh 8 derjat bujur.  Ketiga, berdasarkan wilayatul hukmi sehingga dibagian manapun dari satu wailayah rukyah dilakukan, maka hasilnya berlaku untuk seluruh wilayah tersebut. Kempat, keberlakuan suatu wilayah dapat diperluas ke seluruh dunia.
Menyangkut dengan dukungan alat, para ulama juga berbeda pendapat. Pelaksanaan rukyah (ru'yatul bil fi'li) menurut Ibnu Hajar tidak mengesahkan penggunaan cara pemantulan melalui permukaan air atau kaca. Asyarwani lebih mendalam menjelaskan bahwa penggunaan alat yang mendekatkan atau membesarkan seperti pada teleskop masih dapat dianggap sebagai rukyah. Menurut Al Muthi'i penggunaan alat optik (nazharah) sebagai penolong dapat diizinkan karena yang melakukan penilaian terhadap hilal adalah mata perukyah itu sendiri (’ainul hilal).
Dalam hal ini ahli rukyah berbeda pandangan, berdasarkan kepada keakuratan rukyah maupun kejujuran dan keadilan serta kapabilitas perukyah itu sendiri. Memang dalam hal untuk menguji kebenaran dari hasil sistem hisab, rukyah mempunyai peranan yang penting.
Dalam kitab I'anatutthalibin yang dikutip oleh Ma'ruf Amin, Menurut Imam Subki jika ada satu atau dua orang bersaksi melihat hilal sedang menurut hisab tidak mungkin, maka kesaksian tersebut ditolak. Dalam kitab Nihayatul Muhtaj dikatakan, bahwa pendapat Imam Subki dan kawan-kawannya ditolak oleh mayoritas ulama yang dimotori oleh Imam Ramli dan Al Khatib Syarbaini. Menurut Imam Ramli, yang harus diterima adalah kesaksian rukyah, karena hisab tidak memperhitungkan oleh syariat. Pendapat  yang sama juga dikemukakan oleh Al Khatib, bahwa menurut pendapat yang mu'tamad (yang dapat dijadikan pedoman), kesaksianlah yang harus diterima, karena pendapat ahli hisab tidak diperhitungkan oleh syariah.
Ibnu Hajar adalah seorang ulama yang menjembatani kedua aliran tersebut menawarkan, bahwa kesaksian melihat hilal ditolak jika semua ahli hisab sepakat. Namun, kalau tidak terjadi kesepakatan, maka kesaksian diterima.
Merukyah hilal bukan pekerjaan yang mudah, memang memahami konteks nas yang mewajibkan untuk merukyah adalah suatu keharusan. Tetapi keharusan  itu harus dibaringi dengan keterampilan menghitung peredaran bulan dan bumi mengelilingi matahari. Bukankah Alqur'an memberikan petunjuk, bahwa Allah telah menetapkan manzila-manzila bagi perjalanan bulan itu, supaya kita mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Dan Allah menciptakan itu dengan hak.
هو الذىجعل الشمس ضياءوالقمرنوراوقدره منازل لتعلمواعددالسـيـنـيـن والحـسـب مـاخـلـق الله ذالك إلآ بـالـحـق يـفـصـل الآيـت لـقـوم يـعـمـلـون
"Dialah yang menjadikan maahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzila-manzila (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan-Nya) kepada orang-orang yang mengetahuinya." (Q.S. 10 Yunus 5)

Hisab sebagai penentu perhitungan tahun dan waktu, dapat dijadikan dasar untuk menentukan letak posisi hilal, sudut kemiringan hilal dan matahari serta kapan terjadi ijtima'. Perhitungan berapa bersar refleksi, ketinggian tempat observasi, horosontal paralaks dan semidiameter.
Di Indonesia terdapat tidak kurang dari 5 sistim hisab yang dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan hilal bulan. Walaupun sistim-sistim tersebut mempergunakan data astronomis sebagai hasil penelitian para ahli hisab di masa yang sudah cukup lama dan mempergunakan sistim tabel. Keistimewaan dari sistim ini, perhitungan dapat dilakukan dengan sederhana, mudah dan cepat tanpa harus mencari data baru mengerti ilmu ukur bola, namun kelemahannya tidak memperoleh hasil yang tepat dan teliti.17
Pelaksanaan rukyah selain memperhatika hal-hal seperti ketinggian hilal, ketinggian tempat perukyah juga harus mengetahui  di mana posisi bulan, dan besar perbendaan jarak antara bulan dengan matahari.
Para pelaksana rukyat, termasuk yang sering menyatakan berhasil melihat hilal  pada umumnya tidak menggunakan alat ukur azimut maupun ketinggian bulan. Ditinjau dari segi teknis hal itu sebenarnya kurang meyakinkan, karena letak hilal yang dilihatnya harus ada persesuaian dengan hisab.18 Di samping itu, faktor waktu yang sangat singkat untuk kemungkinan melihat hilal secara pasti di mana menjadi alasan untuk tidak dapat menyatakan secara pasti di mana letak bulan pada waktu terlihat itu. Namun, walaupun demikian dengan persiapan-persiapan yang sistimatik dan informasi data yang cukup adalah mungkin untuk mengukur posisi dengan peralatan yang disedikan, walaupun sederhana. 
Selain ketiga aspek disebutkan di atas (kesaksian, mathla' dan alat bantu yang digunkan untuk merukyah) juga aspek  kompotensi penetapan bahwa bulan telah dilihat atau telah masuk awal dan akhir Ramadan apakah kompotensi pemerintah (eksekutif) dalam hal ini ditingkat desa adalah kepala desa atau kah kompotensi yudikatif (perngadilan).
Imam Syafi'i berpendapat bahwa penetapan bulan qamariyah khususnya awal Ramadan dan awal Syawal haruslah dilakukan oleh pemerintah/qadli Apabila pemerintah telah menetapkan awal Ramadan dan awal Syawal maka seluruh umat Islam dalam negara tersebut wajib berpuasa atau wajib mengakhiri puasanya. 
Sedangkan pendapat Mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali, yang dikutip oleh Ibrahim Hosen bahwa awal Ramadan dan Syawal tidak didisyaratkan harus ditetapkan oleh qadli/pemerintah. Akan tetapi menerut mereka apabila qadli/pemerintah telah menetapkan awal Ramadan dan awal Syawal dengan cara apapun (rukyah atau hisab) maka umat Islam wajib mengikuti dan mentaatinya.19
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua pendapat tersebut ada titik temu. Titik temu itu ialah bahwa umat Islam wajib mentaati dan mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh qadli/pemerintah tentang penentuan awal Ramadan dan awal Syawal.

BAB III


METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Sasaran dari penelitian ini adalah Penghulu Masjid dan tokoh-tokoh agama di Kabupaten Maluku Tengah Kecamtan Leihitu, Kecamatan Salahutu dan Kecamtan Pulau Haruku terutama pada desa-desa yang setiap tahun terdapat perbedaan perhitungan awal dan akhir bulan Ramadhan dengan perhitungan pemerintah. Pada Kecamatan Leihitu adalah Desa Wakal dan Seit, Kecamatan Salahutu adalah Desa Tengah-Tengah dan Kecamatan Pulau Haruku desa Ory.

B. Populasi danSampel

Yang menjadi populasi pada penelitian ini adalah Penghulu Masjid yang mempunyai pengetahuan dan mempunyai kewenangan untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan yang terdapat pada desa Wakal, Seit dan Ory.  Kabupaten Maluku Tengah Alasan yang diambil populasi ini karena wilayah sample selalu terjadi perselisihan hari dalam penentuan hilal bulan. Dari ketiga desa itu  diambil 3 orang sebagai informan kunci yang memiliki kapasitas pengetahuan hisab.  

C. Sumber dan Jenis  Data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah bersumber dari:
a. Data Primer, yang diambil secara langsung dari Penghulu Masjid yang terpilih sabagai sample dengan menggunakan instrumen yang telah disiapkan yang berkaitan dengan variabel dalam penelitian.
b. Data sekunder,  yang diambil dari dokumen yang dijadikan dasar dalam menghitung dan penentuan awal dan akhir bulan Ramadlan oleh para Penghulu Masjid dan tokoh agama di desa-desa yang dijadikan lokasi penelitian dan sample.
Kemudian jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif berupa data yang diperoleh dalam bentuk informasi baik lisan maupun tulisan.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Wawancara adalah teknik yang digunakan untuk mendapatkan informasi dari informan yang mempunyai kabilitas dalam penetapan awal dan akhir bulan Ramadan.
b. Dokomentasi, adalah teknik yng digunakan untuk mendapatkan data yang tidak diperoleh melalui wawancara. Yaitu berupa dokumen-dokomen tertulis berupa dasar-dasar perhitungan atau table-tabel perhitungan sebagai dasar penentuan awal dan akhir bulan Ramadlan.

E. Pendekatan Penelitian

Bentuk pendekatan penelitian adalah dengan melihat hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dapat digambarkan  dalam net work penelitian sebagai berikut:
Variabel bebeas (x)
  X1 Sistim Hisab
  X2 sistim Rukyah
Variabel terikat (y)
   Penentuanawal dan akhir
   bulan Ramadan

F. Metode Analisa Data

Dalam menganilisi data-data yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian digunakan metode analisis dfiskriptif, hal ini dimaksdukan untuk membeikan gambaran secara umum terhadap data-data yang diteliti melalui sample atau populasi sebagaimana biasanya, dengan tidak bermaksud menganalisa dan menarik kesimpulan secara induktif. Proses data dari hasil penelitian dianalisis dengan analisis kualitatif.


HASIL PENELITIAN

A. Krakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini adalah staf hakim syara (penghulu agama) yang mempunyai kompetensi atau pengetahuan dalam hal menghitung dan menentukan atau menetapkan awal dan ahkir Ramadlan. Tingkat pendidikan responden Sekolah lanjutan Tingkat pertama dan Tingkat menengah. Pengetahuan hisab diperolehnya selain dari guru ngaji (pendidikan klasik) yaitu pendidikan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai pengatahuan tentang membaca Al Qur'an, memahami fiqhi dan aqidah. Juga didapatkan dari orang tuanya, kendatipun keterbatasan yang dipahami, namun tetap diperpegangi sebagai pengatahuan yang tidak boleh diketahui oleh orang lain.
Pengetahuan tentang peredaran benda langit sangat terbatas. Mereka selalu menggunakan data-data dalam bentuk table yang dibuat oleh ulama yang mengajari mereka tentang Islam2.
Pengetahuan tentang sebatas mana berlakunya panatan awal dan akhir bulan Ramadlan sangat terbatas.  

 

B. Penetapan Awal dan Akhir Bulan Ramadhan


a. Sistim Hisab

Desa-desa yang dijadikan lokasi penelitian didapatkan data menunjukkan bahwa mereka dalam penentuan awal danakhir Ramadan didasarkan hisab. Sistim hisab yang digunakan adalah sistim hisab Jawa Islam (Tahun Saka).  Berdasarkan wawancara dengan U. Mahu (Imam desa Seit), bahwa satu kali bulan bersiklus menempuh waktu 8 tahun (1 windu), dua kali tahun panjang (umur bulan Zul Hijjah 30 hari). Tahun panjang dapat ditentukan apabila tahun itu jatuh pada tahun د )dal) dan tahun هـ (ha) yaitu umur bulan Zuhijjah 30 hari. Di samping itu, menurutnya  Muharam tahun pertama sampai dengan Muharam tahun kedua dihitung lima hari Misalnya Muharam tahun pertama jatuh pada hari Senin maka Muhram tahun berikutnya jatuh pada haris selasa. Kecuali bulan Muharam jatuh pada tahun dal atau tahun ha maka harus ditambah enam hari.3
Demikian pula sistim hisab yang dipedomani oleh desa Wakal. Berdarsarkan hasil wawancara dengan Syamsuddin Pellu (Modim/Muadzin) bahwa dalam bulan satu kali bersiklus menempuh waktu 8 tahun yaitu tahun    ا (alif) هـ (ha)  ج (jim) ز (zei) د (dal) ب (ba(   ق(qaf) dan   ج(jim) akhir. Untuk menentukan awal hari 1 Muharam  dalam tabel yang diperpegangi diberikan tanda titik pada masing-masing lambang pada huruh hijjaiyah disebutkan dengan tahun alif  tanda satu titik, huruf ha bertanda dua titik, huruf jim pertama bertanda tiga titik, huruf zei bertanda lima titik, huruf dal bertanda tujuh titik, huruf ba bertanda empat titik, huruf qaf  bertanda enam titik dan huruf jim akhir bertanda tiga titik.4 Misalnya 1 Muharam 1425 H jatuh pada hari Ahad maka 1 Muharam 1426 H jatuh pada hari selasa.5        
Tanda titik pada hruf hijjaiyah tersebut pemegang tabel tersebut tidak mengetahui apa maknanya. Tetapi diperkirakan bahwa titik itu menenjukkan hari pertama yang dimulai dari hari jatuh satu Muharam setiap tahun.
Terlepas dari tanda-tanda titik tersebut, perlu dicermati adalah sistim hisab yang menggunakan huruf hijjahiyah sebagai lambang tahun terdiri atas 8 huruf, ini berarti bulan setiap bersiklus  harus menempuh waktu 8 tahun. Yang dalam istilah hisab dikatakan dengan daur atau conjunction dalam istilah Jawa windu.
Apabila sitim tersebut jika diaplikasikan dalam   bentuk penjumlahan akan didaptkan hasil yang sama dengan sistim hisab yang lain. Misalnya mencari hari yang pada tanggal  29 Sya'ban 1425 H.
Satu daur menurut perhitungan ini adalah 354X8+2=2834
Data tahun lalu   1425 -1 = 1424
1424 : 8= 178 daur
178 X 2834                          =     504652
1 Muharam s/d 29 Sya'ban   =           236 +
     
                                                                               504888
504888 : 7 (1 pekan) = 72126 sisa 6 hari.
Untuk menentukan hari dengan menggunakan sistim ini perhitungannya dimulai dari hari Sabtu sama dengan sistim penanggalan Masehi atau Miladiyah. Oleh karena itu,  29 Sya'ban 1425 H jatuh pada hari Kamis. 
Dalam hal penetapan awal dan akhir Ramadan, terdapat pendapat yang mebagi hisab atas dua aliran yaitu aliran yang mempergunakan hisab sebagai sarana utntuk merukyah bulan diistilahkan dengan qaulul qadim dan aliran yang hanya berdasarkan hisab murni disebut dengan qaulul jadid. Istilah qaulul qadim dan qaulul jaded tidak diketahui dari seumber mana istilah ditemukan. Namun, menurut U. Mahu bahwa istilah kedua kata itu disebabkan karena pada mulanya orang menetapkan awal dan akhir Ramadan menghitung bulan Sya'ban 29 hari jika sore harinya pada tanggal tersebut bulan tidak dapat dirukyah maka jumlah hari bulan Sya'ban diistikmalkan (disempurnakan) menjadi 30 hari. Sedangkan qaulul jadel (pendapat baru) menghitung bulan Sya'ban tetap 29 hari, tanpa memperhitungkan posisi hilal.6
Untuk yang menggunakan sistim hisab murni didaptkan data yang menggunakan tabel dengan hanya mencocokan bilangan berada pada margin kanan atau kiri  dengan bilangan yang ada pada margin atas dihubungkan dengan tahun yang  ditetapkan dan dikaitkan dengan bulan yang dicari. Bilangan dari kedua margin tabel tersebut dijumlahkan, dari hasil jumlahan tersebut ditentukan hari dari awal bulan. Lihat pada tabel beriktu ini:         
 

Angka bulan                               Angka tahun                                 Angka bulan
.3
رجب
2
د4
و6
ب2
د4
ز7
ج3
هـ5
ا-1
7
محرم
.3

29
شعاب
4
4.2
4.1
..4
1399
-
-
-
-
2
صفر
29


.3
رمضان
5
.1
9
8
7
6
5
4
3
3
ر.الآول
.3

29
شوال
7
18
17
16
15
14
13
12
11
5
ر.الثاني
29

.3
ذواالقعده
1
26
25
24
23
22
21
.2
19
6
ج.الآولي
.3

29
ذواالحجه
3
34
33
32
31
.3
29
28
27
1
ج.الثـاني
29


Bilangan Hari
8  14
6  13
5  12
4  11
3  .1
2  9
1  8
الـسـبــت
الآحــد
الجمعه
الـسـبــت
الخميس
الجمعه
الآربعا،
الخميس
الثلأ ثا،
الآربعا،
الآثـنـان
الثلآثا،
الآحـد
الآثـنـان

Menurut Firdaus Latuconsina (guru Agama) bahwa perhitungan seperti ini tidak perlu didasarkan ketinggian hilal atau harus melihat bulan, karena pada saat bulan dan matahari bertemu apakah pada malam hari atau siang hari, itu sudah jatuh awal bulan.7 Sistim hisab ini termasuk dalam aliran hisab urfi .
Selain berdasarkan pada sistim yang disebutkan di atas, juga didapatkan informasi bahwa untuk menentukan awal dan akhir Ramadan dapat juga didasarkan pada hari-hari besar Islam. Untuk menentukan 1 Muharam, maka  9 Zulhijjah sebagai dasar perhitungan.  Misalnya apabila 9 Zulhijjah jatuh pada hari Ahad, maka 1 Muharam, 12 Rabiul Awal dan 27 Rajab jatuh pada hari yang sama (Ahad). Sistim perhitungan tersebut sampai kini masih digunakan.
Persoalan penetapan awal dan akhir Ramadan bukan hanya didasarkan pada layak tidaknya suatu sistim hisab, tetapi bagaimana akurasi data yang digunakan  dalam penenatapan itu.   Baik di desa Seit maupun desa Wakal keakuratan data tidak akan terpenuhi. Di sampingitu tidak ada perhitungan tentang kapan terjadi ijtima', hal ini menunjukkan bahwa sistim hisab yang digunakan adalah sistim hisab urfi yang bisa digunakan untuk pembuatan kalender.  

b. Rukyah

            Masyarakat pada desa-desa yang dijadikan lokasi penelitian, didapatkan pelaksanaan rukyah. Pelaksanaan rukyah pada desa-desa tersebut setelah melalui suatu perhitungan, walaupun  perhitungan itu hanya berdasarkan pada hisb urfi. Namun, dengan hasil perhitungan itu melalui kepadala desa sebagai Kepala Pemerintahan Desa ditetapkan untuk melaksanakan observasi hilal (ru'yatul hilal). Suatu tradisi yang tidak relevan dengan kehendak syara' adalah melihat bulan di ufuk timur pada tanggal  28 dan 29 Sya'ban atau Ramadan. Jika pada kedua tanggal tersebut pagi harinya bulan  tidak nampak maka pada malam harinya  dihitung awal bulan. Rukyah di pagi hari pada akhir Sya'ban dan Ramadan tidak juga dijadikan  dasar oleh desa-desa tersebut, namun sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan awal Ramadan dan awal Syawal oleh Pemerintahan desa berserta staf penghulu Masjid.
Apabila didasarkan pada landasan teori-teori penentuan atau penetapan awal bulan, maka penetapan awal Ramadan dan Syawal yang dilakukan oleh kedua desa yang dijadikan lokasi penelitian tidak memenuhi aspek-aspek tersebut. 
Menyangkut dengan sistim hisab dan rukyah yang dilakukan oleh masyarakat pada kedua desa tersebut menunjukkan bahwa untuk menentukan awal dan akhir Ramadan tidak serta merta hanya dengan perkiraan semata. Hal ini terbukti dengan pengetahuan terhadap jumlah hari pada setiap bulan pada tahun hijriah.
Persoalan yang sangat fondamental adalah mereka tidak memhami tentang berlakunya suatu penetapan awal dan akhir Ramadlan terhadap daerah-daerah tertentu. Mereka tidak menganut suatu paham tertentu dari empat imam ahli hukum Islam (Imam Abu Hanifa, Imam Malik, imam Syafi’i dan imam Ahmad bin Hambal. Dalam penetapan pemerintah atau ahli hukum Islam di Indonesia bahwa di Indonesia berlaku satu kesatuan wilayah.
Akibat dari keterbatasan pengetahuan tentang berlakunya satu kesatuan wilayah hukum sehingga terjadi perbedaan dengan perhitungan hisab dan rukyat secara Nasional. 
  
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1.  Penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal ketiga desa tersebut menggunakan sistim hisab urfi. Perhitungan awal bulan berdasarkan hisab urfi bisa dijadikan pedoman dalam pengambilan data-data matahari dan bulan dalam dafatar ephemris atau alamanak nautika nautika.
2. Sistim hisab urfi tidak  menentukan kapan  terjadi ijtima’ atau seberapa tinggi hilal bulan pada saat terbenam matahari dan letak posisi hilal pada saat matahari terbenam matahari, maka kurang tepat  dijadikan pedoman untuk mengobservasi hilal.  .    

 

B. Saran

1. Dengan berbagai keterbatatasan pemahaman tentang hisab, rukyah dan lingkup berlakunya suatu hokum tentunya menimbulkan perbedaan pemahaman dalam hal penentuan awal bulan. Oleh  karena itu, sosialisasi tentang kesatuan hukum untuk berlakunya suatu ketetapan pemerintah tertuma berkaitan dengan persoalan ibadah umat Islam.
2. Peranan Kepala Kantor Urusan Agama sangat menentukan untuk memberikan arahan dan pemahaman tentang sistim hisab dan rukyah yang dilakukan oleh pemerintah. Tentunya mempunyai kevalidan dan keakurasiannya sangat terpercaya, sehingga masyrakat menyadari bahwa persoalan penentuan awal dan akhir Ramadan adalah kewenangan pemerintah.
3. Kepala Kantor Urusan Agama diharapkan diberikan pemahaman berupa pelatihan-pelatihan hisab rukyah sehingga mereka dapat mengetahui  dasar-dasar hisab dan rukyah.   

DAFTAR PUASTAKA

               Ali, M. Sayuthi. Ilmu Falak I Cet. I Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997
Azhari, Susiknan. Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktek. Cet. I Jakarta: Lazuardi, 2001

Asqalaniy, Ibu Hajar. Fathul Bariy Juz IV Madinah: al Maktabah as-Salafiyah. t.th.

Departemen Agama. Alqur'an dan Terjemahny, Jakarta: Intermasa, 1993

Direktur Pembinaan Peradilan Agama. "Hisab Rukyat dan Permasalahannya di Indonesia" Makalah, Jakarta: 1998

Fadil, Abbas. "Menetapkan Awal Bulan Ramadlan, Syawal dan Zulhijjah" Makalah, Makassar: 1996

Jambek, Saadoe'din. Hisab Awal Bulan. Cet. I Jakarta: Tintamas, 1976

Al Hikmah dan Direkturat Pembinaan Peradilan Agama, Mimbar Hukum Nomor 37 Jakarta: 1998

Muhammad Syakir, Ahmad. Awall asy-Suhur al Arabiyah. Terjemahan KH. Mahrous Ali Surabaya: Pustaka Progresif, 1993

Ruskanda, Farid. 100 Maslah Hisab dab Rukyat Telaah syariah, Sains dan Teknologi. Cet. I Jakarta: Gema Insani, Press, 1996

Wachid, H. Basith. "Hisab Untuk Menentukan Awal dan Akhir Bulan Ramadlan" Rukyah Dengan Teknologi Upaya Mencari Kesamaan Pandangan Tentang Penentuan Awal Ramadlan dan Syawal.  Cet. I Jakarta: Gema Insani Press, 1994



0 komentar:

Posting Komentar