A. Latar Belakang Masalah
Setiap warga Negara
berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekarasan sesuai
dengan fasafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 19945. maka segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah
tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan secara bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
Terkait dengan
keadaan tersebut, korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah
perempuan, harus mendapat perlindungan dari Negara dan masyarakat agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekeerasan, penyiksaan, atau
perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Keutuhan dan
kerukunan rumah tangga yang bahagiah, aman, tenteram dan damai adalah cita-cita
luhur dan dambaan setiap orang dalam rumah tangga.
Nagara
Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak
dan kewajibannya harus sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Hal ini
dimaksudkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.
Untuk
mewujudkan keutuhan dan kerukanan rumah tangga sangat tergantung pada setiap
orang dalam lingkungan rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan
pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga. Keutuhan dan kerukunnan rumah tangga dapat
terganggu jika kualitas dan pengendlian diri tidak dapat dikontrol, yang pada
akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul
ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah
tangga.
Realitas di
masyarakat menunjukkan kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi,
sedangkan setiap hukum di Indonesia
belum menjamin perlindungan kekerasan dalam rumah tangga. Dan untuk mencegah,
melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dan pengendalian diri dalam
rumah tangga, Negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan
dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga lahir
sebagai suatu pemecahan atas timbulnya berbagai kekerasan dalam rumah tangga,
terutama kekerasan terhadap perempuan.
Jika diliahat
dari fungsi dari undang-undang ini
selain mengatur hal-hal pencegahan, perlindungan dan pemulihan terhadap korban
kekerasn dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik unsure-unsur
tindakan pidana yang berbeda dengan tindak pidana pengananiyaan yang diatur
dalam KUHP. Demikian juga, mengatur hal-hal yang terkait dengan kewajiban bagi
aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja social, relawan pendamping atau
pembibing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitive dan
respntif terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada
keutuhan dan kerukunan rumah tangga.
Kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga telah menjadi polimik, ada
yang meresponi secara positif bahwa itu
merupakan suatu payung hukum bagi perempuan. Ada juga yang menilai bahwa persoalan
perlindungan perempuan dari kekerasan
seksual dalam rumah tangga
menyimpang dari nilai-nilai agama.
Selain itu, memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan yang begitu luas dimungkinkan melahirkan sikap egoistis
dan ambigiutas dalam rumah tangga.
Dari urian di
atas isu hukum yang muncul adalah apakah dengan undang-undang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga dapat memberikan perlindungan kepada perempuan atas
kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini,
diperlukan suatu kajian dari sudut keilmuan, dalam hal ini filsafat ilmu dan
ilmu hukum. Konsekuensi dari tinjaun ini maka kajian yang dilakukan dengan
pendekatan epestimologi untuk memperoleh kebenaran ilmiah.
B. Pengertian Nilai, Norma, Norma
Hukum dan Perlindunagan Hukum
1. Hakekat Nilai
Kata nilai
mempunyai beberapa makna, seperti yang dikemukakan oleh Kattsof yang dikutip
oleh Sulistyandari diantaranya;
(1)
mengandung nilai (artinya, berguna);
(2)
merupakan nilai (artinya, baik atau benar atau indah);
(3)
mempunyai nilai (artinya, merupakan objek keinginan,
mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui,
atau mempunyai sifat nilai tertentu);
(4)
memberi nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal
yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu).
Dari beberapa
pemaknaan nilai tersebut, mengandung makna bahwa nilai mempunyai hubungan yang
luas, baik yang menyangkut dengan nilai pragmatis, nilai etis atau moral, nilai
yuridis seperti terwujud di dalam salah satu asas
yang dikemukakan oleh Scholten yang dikutip
oleh Soeyadi
bahwa hukum berpihak pada
kebaikan dan menolak kejahatan, maupun menyangkut dengan nilai estetika.
Masalah nilai secara umum dalam objek kajian filsat adalah aksiologi.
Lasiyo
memberikan pengertian nilai sebagai berikut:
(1)
nilai merupakan kesepakatan yang disebut oleh kumunitas
tertentu sebagai dasar pijakan untuk membandingkan dan menghargai sesuatu;
(2)
nilai dengan demikian tidaklah netral, karena bangunan
nilai yang disusun sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya dan kondisi
lingkungan yang dia tempati;
(3)
perbedaan nilai dapat dilihat dari perbedaan persepsi
seseoarang dalam memahami apa yang dia lihat, dia raskan dan apa yang ingin dia
aktualisasikan;
(4)
jadi, nilai yang universal itu tidak akan ada selama
manusia masih mempunyai persepsi yang berbeda, persaan yang berbeda, dan
keinginan yang berbed.
Menurut
Sulastyandari dalam tulisannya Perlindungan
Hukum Terhadap nasabah penyimpan Dana Menurut UU LPS dalam Perpekstif
Filsafat Ilmu, yang disunting oleh Trianto dan Titik Triwulan Tutik (2007 :
250) nilai itu erat hubungannya dengan pikiran, rasa, cipta manusia.
Jika demikian,
dalam pengembangan ilmu hukum tidak terlepas dari nilai. Sebab objek kajian
ilmu hukum adalah hasil cipta manusia untuk memenuhi kepentingan manusia akan
rasa kertiban, ketentraman, kedamaian
dan keadilan. Ini menunjukkan bahwa ilmu hukum itu syarat dengan nilai.
2. Norma, Norma Hukum dan
Perlindungan Hukum
Untuk mengatur
kepentingan manusia di dalam masyarakat terdapat beberapa kaidah social, yakni
kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah kesopnan atau kebiasaan dan kaidah hukum
Kata kaidah berasal dari bahsa Arab, oleh
karena itu pengertian kaidah dalam penulisan menjadi rujukan pengertian menurut
ahli hukum Islam. Dalam istilah ilmu kaidah hukum Islam dijelaskan dua istilah,
yakni kaidah dan hukum (
fikih). Fikih
yang dimaksudkan disini adah doktrin (hasil pemikian atau pendapat ahli hukum
Islam).
Kata kaidah
dalam Kamus Arab-Indonesia
adalah dasar, asas dan fondasi.
Al
Zarqa (1989 : 33) memberi arti kaidah sebagai asas yang
konkrit (
indrawi)
maupun yang abstrak (
ma’nawi).
Menurut
ahli ahli hukum Islam kadidah peraturan umum yang mencakup pada semua bagiannya
supaya diketahui hukum-hukumnya berdasarkan aturan-aturan umum tersebut.
Dalam
Kamus Besara Bahasa Indonesia kaidah adalah rumusan
asas yang menjadi hukum, aturan yang sudah pasti patokan.
Sedangkan pengertian norma adalah aturan atau
ketentuan yang mengikat warga kelompok manusia, dipakai sebagai panduan,
tatanan, dan pengendalian tingkah laku yang sesuai dan diterima: setiap warga
masyarakat harus menaati norma yang berlaku; aturan, ukuran, atau kaidah yang
dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai atau membandingkan sesuatu
Antara kaidah dan norma tampaknya mempunyai pengertian yang sama, sehingga
kaidah itu merupakan padanan dari norma. Pengertian hukum adalah (1) peraturan
atau adapt yang secara resmi dianggap mengikat yang dikukuhkan oleh penguasa
atau pemerintah.(2) undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur
pergaulan hidup masyarakat; (3) patokan (kaidah, aturan) mengenai peristiwa
(alam dan sebagainya) yang tertentu; (4)
keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh
hakim (di pengadilan); vonis
Tujuan hukum menurut van Apeldoorm
adalah perdamaian.
Perdamaian di
antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi
kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa,
harta benda terhadap yang merugikannya. Hukum mempertahankan kestabilan,
ketertiban, dan kedamain di antara manusia. Kuntinyunitas sifat hukum untuk mengatur pola
hidup manusia, sedapat mungkin munusia dalam pergaulannya selain menjaga
kelanjutan hak-hak asasi yang dipunyainya, juga menjaga keseimbangan hak-hak
itu dengan hak-hak masyarakat.
Hukum mempertahankan
perdmaian dengan menimbang kepentingan-kepentingan yang dilindungi secara
teliti dan mengadakan keseimbangan di antaranya, karena hukum hanya dapat
mencapai tujuan mengatur pergauln hidup secara dmai jika ia menuju peraturan
yang adil, adil artinya peraturan dimana terdpat keseimbangan antra
kepentinga-kepentingan yang dilindungi, dimana orang memperoleh sebanyak
meungkin yang menjadi baginannya. Keadilan tidak boleh dipandang sama arti
dengan pemerataan. Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh
bagian yang sama.
Aristoteles
menunjukkan bahwa keadilan itu terdiri atas keadilan distributieve, dan keadilan commutative.
Ajaran Aristoteles ini telah menjadi dokktrin bagi ahli hukum. Konsep hukum
Islam menempatkan keadilan sebagai cita-cita hukum yang esensial, dengan proses
peradilan yang lurus dengan menetapkan
putusan yang benar.
Perlindungan hukum
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
ada dua bentuk perlindungan, (1) bentuk perlindungan sementara; (2)
perlindungan berdasarkan penetapan
pengadilan.
Perlindungan
sementara adalah perlindungan yang
diberikan oleh Negara paling lama 7 hari sejak korban diterima atau ditangani.
Dalam waktu 1 X 24 (satu kali dua puluh empat jam) terhirung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan rumah
tangga, kepolisian wajib segara memberikan perlindungan sementara pada korban.
Dalam memberikan perlindungan sementara menurut undang-undang kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja
social, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Perlindungan
berdasarkan pengadilan ketua pengadilan
dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib
mengeluarkan surat
penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga
lain, kecuali ada alasan yang patut. (Pasal 28).
Perlindungan hukum
yang dimaksudkan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman
kepada korban yang dilakukan oleh keluarga, advokat, lembaga social,
kesjaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya, baik sementara maupun berdasarkan
penetapan pengadilan.
3. Pengertian Kekerasan dalam
Rumah Tangga
Undang-Undang
memberikan pengertian kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan
terhada seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan.(Psl 1 angka 1). Pasal 1
angka 2 pengertian penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang
diberikan oleh Negara untuk menjegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan
dalam rumah tangga.
C. Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Tinjau dariAaspek
Epestimologi
Untuk menjawab
apakah konsep undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga memberikan perlindungan terhadap
kekerasan dalam rumah tangga terutama perempuan? Terlebih dahulu harus
dijelaskan hubungan hukum dengan tindakan perlindungan hukum. Apakah hubungan
haukum itu bersifat privat atau bersifat publik. Hal ini dikaitakan dengan
konsep perlindungan hukum yang berbeda antara hukum yang mengatur hubungan hukum
privat dengan hukum yang mengatur hukum publik.
Perbedaan hukum privat dan hukum publik perlu dijelaskan agar dapat diperoleh
suatu pengertian terhadap kedua jenis hukum tersebut.
Perbedaan
kedua jenis hukum itu dapat dijelaskan oleh N.E. Algra, et.al sebagai
berikut:
- Hukum privat
mengatur hubungan antara warga Negara yang satu sama lain. Yang khas bagi hukum
privat adalah pangkal tolak, bahwa pada prinsipnya warga Negara boleh
mengatur sendiri menurut pandangannya hubungan satu sama lain. Masalah
pokok otonomi warga Negara ini antara lain adalah milik pribadi, kebebasan
membuat testament dan kebebasan membuat kontrak. Hukum publik mengatur organisasi Negara (hukum tata Negara)
dan hubungan penguasa dan warga Negara (hukum administrasi dan hukum
pidana), yang terakhir hukum publik mencampur tangan pemerintah yang aktif
dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum publik sepanjang tidak mengenai
lembaga Negara pengawasan adalah bahwa hubungan hukum itu ditetapkan
secara publik oleh pemerintah seperti penetapan pajak, pemberian izin
membangun.
- dalam hukum
privat hal mempertahankan haknya itu di tangan para warga Negara itu
sendiri, dalam hal mana mereka memang terikat pada prosedur yang telah
ditetapkan. Dalam hukum publik hal mempertahankan haknya pada umumnya di
tangan pemerintah. Misalnya pembongkaran bangunan, tanpa izin oleh
kotapraja, tuntutan hukum seorang tersangka di tangan jaksa.
- tujuan hukum
privat adalah kepentingan perseorangan dari warga Negara; tujuan hukum publik adalah kepentingan
umum. Perbedaan ini memang diperoleh kejelasan, karena 1) pengertian
kepentingan umum adalah suatu pengertian yang samara 2) pengertian
kepentingan umum dan kepentingan pribadi sering tidak dapat dibedakan
dengan jelas satu sama lain.
Perkembangan
masyarakat yang begitu cepat, dengan begitu banyak hukum yang diproduk makin sulit dibedakan
batas antara hukum publik dan hukum privat dalam prakteknya. Ini berarti, bahwa
makin kurang dapat diadakan suatu pembedaan teoritis yang tajam dengan ukuran
yang jelas. Jika dapat diadakan pembedaan, hanya sebatas dalam bentuk hukum publik
yang khas dan bentuk hukum privat yang khas pula, tetapi tidak mungkin lagi diadakan
pembagian yang pas sebagaimana pernah diakan dalam hukum publik dan hukum privat. Pembedaan apakah hukum publik,
privat atau campuran mempunyai arti penting dalam penyelesaian persoalan
yuridis, hubungan apa yang dilihat antara hukum publik dan hukum privat dan
konsekuensi apa yang ditarik darinya.
Ruang lingkup
undang-undang penghapusan kekerasan dalam tangga tidak terbatas pada pengaturan
hubungan publik (hubungan antara warga Negara dengan pemerintah saja tetapi
juga mengatur hubungan privat (hubungan antara orang/korban kekerasan dalam
rumah tangga) dengan institusi-intitusi yang ditentukan dalam undang-undang
ini. Karena undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sifatnya
memaksa, yang mengatur mengenai sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan dalam
rumah tangga (kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan
penelantaran rumah tangga).
Berdasarkan
ketentuan Pasal 5, 6, 7, 8, dan 9 UU No. 23 Tahun 2004 adalah larangan kekerasan dalam rumah tangga,
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 16 UU No. 23 Tahun 2004 pemberian perlindungan
kepada korban kekerasan dalam rumah tangga oleh kepolisian, dan kepolisian
wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Selanjutnya di
Pasal 44, 45, 46, 47, 48, 49 dan 50 UU No. 23 Tahun 2004 adalah sanksi pidana
yang dijatuhkan kepada pelaku kekerasan dalam rumah tangga seperti tertuan pada
pasal-pasal yang menyangkut dengan
pelarangan kekerasan dalam rumah tangga. Keterkaitan dari paal-paal
tersebut menunjukkan perbuatan itu termauk perbuatan hukum publik, sehingga
dapat dipahami bahwa hubungan hukum antara kepolisian dengan korban dan
kepolisian sebagai penyidik terhadap kekerasan dalam rumah tangga merupakan
hubungan hukum publik. Selain itu jika ditinjau Pasal 4 huruf (d) adalah
memelihara keutuhan rumah tangga yng harominis dan sejahtera, Pasal 5 huruf (d)
menyangkut penelantaran rumah tangga.
Dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 34 ayat (3) jika
suami atau isteri melalikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan
kepada pengadilan. Demikian juga dalam Peraturan Pmerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 19 huruf (b) dikakan salah satu
pihak meninggalkan pihak lain selam 2 (2) dua tahun beruturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
selanjutnya dalam pasal yang sama di
huruf (f) dikatakan antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga. Dari pasal-pasal yang disebutkan di atas baik UU Nomor 1 Tahun 1974 maupun PP Nomor 9 Tahun
1975 adalah mengatur tentang alasan peceraian. Penelantaran rumah tangga berdasarkan Pasal 5 huruf (d) UU Nomor 23
Tahun 2004 dalam penjelasannya dinyatakan cukup jelas. Tidak ditemukan kreteria
jelas penelantaran dalam tangga, sedangkan UU Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 34 ayat (3) dan PP Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (b) dan (f) menjadi
ukuran penelian dapat dibolehkan suatu perceraian.
Selanjutnya Pasal 44,
dan 46 UU Nomor 23 Tahun 2004 menyangkut
dengan tindakan kekerasan fisik dalam rumah tangga dengan hukuman penjara 5
tahun dan sampai menjatuhkan korban dikenakan hukuman 10 tahun penjara, dan
tindakan kekerasan seksual dalam rumah tangga dikenakan hukuman penjara 12
tahun. Apabila pasal tersebut dikaitkan
dengan Pasal 19 huruf (c) dan huruf (d) adalah
salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau yang lebih berat setelah perkarwianan berlangsung;
dan salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain sebagai alasan untuk dapat dilakukan upaya hukum perceraian.
Dari hubungan
hukum antara pasal-pasal tersebut merupakan cirri-ciri hukum perdata yaitu
mengatur hubungan antara warga Negara yang satu dengan warga Negara yang lain
(aturan tentang hak dan kewajiban rumah tangga untuk menjamin ketenteraman
kelestarian rumah tangga), hal mempertahankan haknya itu di tangan para warga
Negara itu sendiri, dalam hal mana suami isteri terikat pada prusedur yang
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan (salah satu dari suami isteri
merasa tidak bisa hidup damai dalam rumah tangga dapat mengajukan permohan atau
gugatan perceraian ke Pengadilan). Tujuan hukum privat adalah kepentingan
perorangan (mengatur kepentingan kerukunan dan ketenteraman dalam rumah
tangga).
Dengan
demikian, perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dalam
UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah perlindungan hukum yang
sesuai dengan ketentuan yang mengatur hukum publik, dimana setiap korban
kekerasan dalam rumah tangga memperoleh hak/perlindungan sesuai yang diberikan
oleh Negara (keadilan distributif), dan sesuai dengan ketentuan yang mengatur
hubungan hukum privat, dimana setiap suami isteri memperoleh hak/perlindungan
sama banyaknya (keadilan kommutatif).
D. Penutup
Undang-undang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah tangga didalamnya mengatur hokum publik dan mengatur
hokum privat, konsisten dengan hal itu,
maka konsep perlindungan hokum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga
adalah perlindungan hokumnya sesuai
dengan ketentuan yang mengatur hubungan hokum publik dimana korban
memperoleh hak/perilindungan sesuai yang diberikan oleh Negara (keadilan
distributive), dan sesuai dengan ketentuan yang mengatur hubungan hokum
perdata, dimana setiap suami isteri memperoleh hak/perlindungan sama banyaknya
(keadilan commutatif).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir;
Kamus Arab-Indonesia, Pasantren al Munawwir, Yogyakarta,
1884
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Balai Pustakah, Jakarta,
2001
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh
sejarah dan Kaidah Asasi, Raja Garafindo, Jakarta, 2002
L.J. van Apeldoorm, Inleiding
tot de Studie van het Nederlands Recht, diterjemahkan dalam Bahsa Indonesia dengan judul Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya
Paramita, Jakarta,
1996
Lasiyo, Hand Out Filsat Ilmu
Pengetahuan, Pascasrjana Universitas Gajah Mada, 2006
Mushthafa Ahmad al-Zarga, Lamhat
Tarikhiyyat ‘an al-Qawa’id al-Fiqhiyyat al-Kulliyyat, Dar al-Qalam,
Damaskus, 1989
N.E. Algra, K.van Duyvendijk, J.C.T. Simorangkir, Boerhanoeddin Soetan
Batoeh, Pengantar Ilmu Hukum, Bina
Cipta, 1983
Soeyadi, Pancasila Sebagai
Sumber Tertib Hukum Indonesia
(Analsis Filsafati), Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,
1998
Sudikno Metrokusumo, Mengenal
Hukum, Liberty,
Yogyakarta, 1991
Trianto dan Titik Triwulan Tutik (Penyuntin), Bunga Rampai Hakekat Keilmuan Ilmu Hukum (Suatu Tinjauan dari Sudut
Pandangan Falsafat Ilmu), Prestasi Pustaka, Jakarta: 2007
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan di Indonesia
Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Peraturan Pemrintah Nomor 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Trianto dan Titik Triwulan Tutik (Penyuntin),
Bunga Rampai Hakekat Keilmuan Ilmu Hukum (Suatu Tinjauan dari Sudut
Pandangan Falsafat Ilmu), Prestasi Pustaka, Jakarta: 2007, h. 249
Soeyadi,
Pancasila Sebagai Sumber Tertib
Hukum Indonesia (Analsis
Filsafati), Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,
1998, h. 24
Lasiyo,
Hand Out Filsat Ilmu Pengetahuan,
Pascasrjana Universitas Gajah Mada, 2006, h. 21
Sudikno Metrokusumo,
Mengenal Hukum, (Liberty, Yogyakarta, 1991), h. 5
Ahmad
Warson Munawir,
al-Munawwir; Kamus
Arab-Indonesia, (Pasantren al Munawwir, Yogyakarta, 1884), h. 1224
Jaih Mubarok,
Kaidah Fiqh sejarah dan
Kaidah Asasi, Raja Garafindo, Jakarta,
2002, h. 3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,
Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Balai Pustakah, Jakarta,
2001, h. 489
N.E. Algra, K.van Duyvendijk, J.C.T. Simorangkir, Boerhanoeddin Soetan Batoeh,
Pengantar Ilmu Hukum, Bina Cipta, 1983,
h. 163-173