Islam sebagai agama diturunkan ke bumi dilengkapi dengan aturan-aturan yang menjadi hukum. Hukum tersebut berfungsi sebagai pedoman bagi manusia untuk mewujudkan kemaslahatan, dan tujuan disyariatkan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, dan salah satunya adalah menjaga kemaslahatan harta.
Harta adalah salah
satu dari sarana untuk berjuang di jalan Allah. Harta dan jiwa merupakan dua
pilar utama dalam menegakkan Agama Allah. (Q.S.61:10). Kebutuhan manusia akan
harta bertujuan untuk mencapai kualitas
kesejahteraan. Untuk mencapai kesejahteraan itu harus disadari bahwa keberadaan
manusia di dunia ini karena kehendak Allah. Sehingga untuk mendaptkan
kesejahteraan harus mengikuti kehendak Allah. Perilaku demikian yang dalam
hukum Islam disebut Ibadah.[1]
Allah yang
mengusai seluruh hajat hidup makhluk di dunia dan menempatkan manusia sebagai
khalifah (pengusa) di bumi. Manusia diberi kewenangan mengeksplorasi bumi ini untuk
memenuhi hajat hidupnya. Dalam pemenuhan hajat hidup itu dapat dilakukan baik
secara individu-invidu maupun seara kolektif. Namun, kebanyakan manusia melakukan secara individu,
sehingga sering mengabaikan asas-asas kepemilikan.
Tipe penelitian hukum normatif[2]
yaitu penelitian berupa usaha inventarisasi hukum Islam, kaitannya dengan kepemilikan harta.
Penggunaan tipe penelitian ini difokus pada ass-asas kepemilian harta dalam
Islam.
Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teologi (theology approach)[3] pendekatan konsep (conceptual
approach),[4] pendekatan filosofis (philisophy approach).
Pengertian Milik
Milik secara
bahasa adalah hiyazah (penguasaan)[5], dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia milik
diartikan dengan kepunyaan, hak. Beberapa arti milik tersebut dapat diberi
pengertian bahwa milik adalah penguasaan
seseorang terhadap harta dan kemandirian dalam mengelolanya.
Menurut Wahbah Az Zuhaili kepemilikan
atau milik adalah hubungan antara manusia dan harta yang diakui oleh syariat
dengan membuatnya memiliki kewenangan terhadapnya, dan ia berhak melakukan perjanjian
(tasharruf) apa saja selama tidak ada
larangan yang mengahalangi untuk itu.[6] Para
fuqaha dalam mendefinisikan
berdekatan dan dengan substansi yang sama. Definisi yang
tepat menurut Wahbah Az-Zuhail bahwa milik adalah otoritas atau kewenangan terhadap
sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan memungkinkan sang pemilik untuk
melakukan tasharruf sejak awal,
kecuali jika ada penghalang secara syar’i[7].
Pendapat Wahbah Az-Zuhail tersebut menunjukkan bahwa bahwa kata milik dimaknai
sebagai kewenangan mutlak yang membatasi orang lain untuk mencampurinya, dan kewenangan untuk melakukan tasharruf.
Asas-asas kepemiliakan Harta
Di dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah mencantumkan empat asas kepemilikan benda, yaitu, asas
amanah, infiradiyah, ijtima’iyah, dan manfaat[8]
1. Asas Amanah
Allah
menempatkan isteri, anak dan harta di satu sisi sebagai amanah, dan di satu
sisi yang lain sebagai fitnah. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak
mempunyai kepemilikan mutlak atas harta yang dikuasainya. Dari sudut teologi Allah
adalah Pemilik langit dan bumi dengan segala isinya, sekaligus juga Allah-lah sebagai Dzat Yang memiliki
kekayaan. Sebagaimana termuat dalam Surat Al Hudud ayat 2
Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, dia menghidupkan
dan mematikan, dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.[9]
Allah
SWT telah menyerahkan harta kekayaan kepada manusia untuk diatur dan dibagikan
kepada mereka. Karena itulah manusia telah diberi hak untuk memiliki dan
menguasai harta tersebut.
Terjemahnya:
Berimanlah kamu kepada Allah dan
rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah Telah menjadikan
kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. (QS. Al-Hadid : 7)[10]
penguasaan yang bukan secara mutlak.
hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah. manusia menafkahkan hartanya itu
haruslah menurut hukum-hukum yang Telah disyariatkan Allah. Karena itu tidaklah
boleh kikir dan boros.
Dan membanyakkan harta dan
anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di
dalamnya) untukmu sungai-sungai. (QS.
Nuh : 12)
Ketika Allah SWT menjelaskan tentang
status asal kepemilikan harta kekayaan tersebut, Allah SWT menyandarkan kepada
diri-Nya, dimana Allah SWT menyatakan 'Maalillah'
(harta kekayaan milik Allah). Sementara ketika Allah SWT menjelaskan tentang
perubahan kepemilikan kepada manusia, maka Allah menyandarkan kepemilikan
tersebut kepada manusia. Dimana Allah SWT menyatakan dengan firman-Nya :
Manusia
diberikakn kewenangan mengeksplolarasi dan memanfaatkannya untuk kemaslahatan manusia. Kewenangan yang
diberikan bukan kewenangan mutlak, tetapi hanya sebuah titipan yang
sewaktu-waktu akan dicabut. Manusia diamanatkan bahwa harta yang dimilkinya bersifat
nisbih. Oleh karena itu cara memperoleh dan cara penggunaannya harus menurut
kehendak Pemilk mutlak.
Penegasan
ini menunjukkan bahwa cara memperoleh dan cara penggunaannya dengan cara yang
halal, dan berkualitas. Hukum Islam menempatkan harta sebagai salah satu dari
sumber fitnah. Sedangkan fitnah itu sendiri suatu perilaku yang memprofokasi
individu-individu atau sekelompok orang dengan pemberitaan yang tidak benar.
2. Asas infiradiyah
Kepemilikan individu adalah
ketetapan hukum syara' yang berlaku bagi zat ataupun manfaat (jasa) tertentu,
yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang
tersebut, serta memperoleh kompensasi dari barang tersebut (jika barangnya diambil
kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk
dihabiskan zatnya seperti dibeli). Oleh karena itu setiap orang bisa memiliki
kekayaan dengan sebab-sebab (cara-cara) kepemilikan tertentu.
An-Nabhaniy mengemukakan, dengan
mengkaji secara komprehemsif hukum-hukum syara' yang menentukan pemilikan
seseorang atas harta tersebut, maka akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan
tersebut terbatas pada lima sebab berikut ini :
(1) Bekerja.
(2) Warisan.
(3) Kebutuhan akan harta untuk
mempertahankan hidup.
(4) Harta pemberian negara yang
diberikan kepada rakyat.
(5)
Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau
tenaga apapun.[11]
Kepemilikan
harta pada dasarnya bersifat individual dan penyatuan benda dapat dilakukan
dalam bentuk badan usaha atau koperasi.[12] hukum
Islam memberikan kebebasan bagi manusia secara individu untuk memiliki harta
sebanyak-banyak.
Allah
telah menyuruh mnusia untuk mencari sebanyak-banyaknya rezki di muka bumi ini.
Oleh sebab itu, pandangan yang menyatakan bahwa sistem kepemilikan harta dalam
Islam selalu bersifat kolektif tidaklah bijaksana Sinyalimen nas bahwa
janganlah meninggalkan keluarga dalam keadaan lemah, wariskan harta untuk
kesejahteraan hidup mereka, sebagai dasar bahwa kepemilikan harta secara
individu dalah suatu keniscayaan. Setiap orang diberi kesempatan untuk
meningkatkan kesejahteraan dirinya dan keluarganya.
Jadi dari pendekatan teologi pemegang
hak milik sebenar ialah Allah SWT. Manusia hanya diberi hak mengurus dan mengambil manfaat daripada
harta yang dianugerahkan Allah SWT. Hak milik dalam Islam adalah tidak mutlak
tetapi terikat kepada hukum dan peraturan Allah.
Islam meng-iktiraf pemilikan harta secara individu. Pada masa yang sama Islam
mensyaratkan pemilik harta supaya menjaga dan memelihara agama, jiwa, akal,
kehormatan dan keselamatan harta serta melarang memperoleh harta secara haram.
Pemilikan harta individu yang tidak
terkawal dan terarah boleh mendatangkan gangguan terhadap orang lain dan kebajikan
umum. Demi kesejahteraan dan keharmonisan hidup masyarakat, Islam telah
menentukan cara-cara pemilikan harta.
Asas
ini berbeda dengan asas kepemilikan menurut kapitalis konvensional, yang
memberikan kepada pemilik modal seluas-luasnya mengembakan kepemilikannya
dengan mengabaikan hak-hak sosial.
3. Asas ijtima’iyah
Menurut hukum Islam
dalam hak indvidul terdapat hak masyarakat. Hak masyarakat tidak akan menghapus hak
individu, selama hak masyarakat itu digunakan untuk kepentingan bersama
(umum). harta dapat dimiliki baik secara
individu maupun secara kelompok hanya memiliki fungsi pemenuhan kebutuhan hidup
pemilik, tetapi pada saat yang sama di dalamnya terhadap hak masyarakat. hak
masyarakat dalam kepemilikan individu diasarkan pada kepekaan sosial indvidu.
Kepekaan sosial ini teraplikasikan dalam kewajiban individu untuk memnuhi
kewajiban ibdah zakat, infak dan sedakah serta kewajiban sosial untuk
kesejahteraan umum dalam bentuk pewakafan.
Hak-hak sosial yang terdapat dalam
kepemilikan harta individu menjadi suatu
keharusan individu untuk memenuhinya. Pemenuhan hak-hak sosial itu untuk peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat.
Betapa banyak para aghniyah mengabaikan asas ini, tidak ada sentifitas dan kepekaan
social untuk membelanjkan kepemilikan harta mereka untuk kesejahteraan hidup
masyarakat. tidak atau kurang adanya kesadaran akan pertambahan nilai dari
pemenuhan hak-hak social itu. Padahal Islam memberi sinyal bahwa memenuhi satu
hak-hak social Allah akan menambahkkan tujuh puluh nilai kepemilikan harta.
4. Asas manfaat
Dari
pendekatan filosis pemanfaatan kepemilikan harta pada asasnya diarahkan untuk
memperbesar manfaat dan mempersempit mudarat. Memanfaatkan harta untuk
kepentingan pribadi dan keluarga menjadi kewajiban primer, sedangkan
kepentingan sosial kemasyarakatan menjadi kewajiban sekunder. Tetapai pada
keadaan tertentu kewajiban sekunder akan menjadi kewajiban primer.
Asas
manfaat dalam kepemilikan harta menempatkan pemenuhuahn kebutuhan pribadi dan
keluarga menjadi prioritas, betapa banyak sinyal- sinyal Alqur’an dan Sunnah
Rasul yang menunjukkan itu. Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksaan api
neraka. Nafkahilah kerabat-kerabatmu, kaum fakir dan miskin. Sinyal ini
menunjukkan bahwa pemanfaatan harta itu diutamakan untuk menikatkan
kesejahteraan keluarga sebagai pondasi utama, jika telah terpenuhi kebutuhan
kerabat, baru pemanfaatan selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan orang fakir dan
orang miskin.
[1]Ekonomi
Islam.
Ditulis oleh Pusat Pengkajian dan Pengembbangan Ekonomi Islam (P3EI)
Universitas Islam Indonesia Yogyajarta atas kerjasama dengan Bank Indonesia,
Cet. Ke 6 PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta, 2014, h. 5
[2]Penelitian hukum
normatif
adalah tipe penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah
atau norma-norma dalam hukum positif. Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing,
Surabaya, 2005, hlm.
240.
[3] Peteer Connolly (ed), Aneka pendekatan Studi Agama, LKIS,
Yogyakarta, 2002, hlm. 311
[4]Lihat
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2007, hlm.
137, lihat Jonny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif,
Bayumedia, Malang, 2005, hlm. 252-254.
[5]Ahmad
Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir Arab
Indonesia, (cet. Ke 14. Pustaka
Progressif, Surabaya, 1997), hlm. 307
[6] Wahbah Az
Zuhail, Fiqih Islam Wa Adillatuhu,
jilid 4 alih bahasaAbdul Hayyei-al Kattani dkk. (cet. 1 Gema Insani, Jakarta,
2011), hlm. 402-403
[7]Ibid.
[8] Lihat. Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
02 Tahun 2008, Pasal 17.