Antara Agama dan Politik

Pemetaan agama dan politik sering dikumandang oleh mereka-mereka yang berkepentingan kekuasaan di satu sisi, dan di sisi yang lain agama disebarluaskan dengan kebijakan kekuasaan. Ada negara tertentu menjadikan agama sebagai dasar negara. Ada juga tidak mencampurkan agama dengan urusan negara, dan ini tetap terjadi. 
Dari pendekatan pemikiran Islam, tidak ada ahli politik Islam klasik dan pertengahan memisahkan hubungan agama dan negara. Mereka berpandangan bahwa agama mengatur negara. Tetapi menurut Ibnu Taimiyah menekankan pada hubungan simbolis, yaitu boleh memisahkan agama dengan negara dan boleh juga tidak dipisahkan, pendapat Ibnu Taimiyah ini diragukan oleh Sukron Kamil.  Jika menelusuri hubungan agama dan negara mulai dari pembentukan Pemerintahan di Madinah dan Nabi Muhammad saw. sebagai pemegang kekuasaan tunggal Islam dasar negara dan ini diberlakukan oleh pemerintahan Islam sesudah Nabi Muhammad saw, sampai pada abad pertengahan.

Kebenaran Dalam Perpektif Pengetahuan Hukum

Pendahuluan
Para ilmuan filsafat dengan berbagai aluran pikiran tidak dapat bersatu dalam menentukan kreteria kebenaran. Berbagai terori kebenaran yang dikemukan tidak juga menghasilkan satu kesatuan faham, akibatnya terjadi pemhaman seperti pemahaman pragmatis bahwa kebenaran itu bukan satu tetapi didasarkan pada sudut mana dipandang. Bahkan teori prgamatis secara ekstrim bahwa kebenaran itu adalah kemanfaatan suatu perbuatan atau sebuah pemikiran.  
Teori ini beda dengan teori kohorensi, menurut teori koherensi kebenaran itu didapatkan dari sebuah pernyataan yang kesesuaiannya dengan fakta. Dengan kata lain bahwa kebenaran tergantung pada adanya hubungan secara tepat antara ide-ide yang sebelumnya sudah diakui kebenarannya. (Suparlan Suhartono, 2008: 84). Para filsuf menyebut kebenaran ini sebagai kebenaran ontologik (Jalaluddin, 2013: 134). 
Lain halnya dengan teori korespondensi, kebenaran menurut teori ini tidak bersifat final, walaupun dalalil-dalil yang dikemukakan secara rasional didasarkan pada premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya, tetapi dimungkinkan juga pilahan yang berbedadari sejumlah premis ilmiah yang tersedia yang dipergunakan dalam penyusunan argumentasi. ( Jalaluddin, 2013: 136). Para penganut teori korespondensi berpandangan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek objek yang diujik dengan pernyataan terebut. Dengan makna yang simpel kebenaran adalah kepatuhan kepada realitas yang objektif atau kebenaran adaalah hubungan erat antara putusan kita kepada fakta-fakta yang ada.
Dari ketiga teori kebenaran tersebut dalam realitas hukum sering menjadi landasar argumentasi penegakan hukum. Bahkan jika berpatokan kepada realitas masyarakat sering mengklaim bahwa penegakan hukum sangat jauh dari rasa keadialan dan kebenaran. Masyarakat tidak mengenal proses hukum seperti apa dan pendekatan analisis hukum seperti apa, yang dipimikiran dan dirasakan oleh mereka penegakan kebenaran dan keadilan. Dengan demikian bagamaimana kebenaran dalam perspektih pengetahuan hukum?

Pengetahuan Hukum  
Pengatahun hukum terdiri dari akata pengetahuan dan hukum. Pengetahuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan segala sesuatu yang diketahui, atau segala sesuatu yang diketahui berkenadan hal (mata pelajaran). Sedangkan kata hukum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikenal empat arti. Pertama hukum di artikan dengan peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas. Kedua hukum diartikan sebagai undang-undang, aturan untuj mengatur pergaulan hidup masyarakat; ketiga hukum diartikan patokan (kaidah, ketentuan) mngenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu; dan keempat, keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (di pengendalian); vonis. Istilah hukum berasal dari bahasa Arab dari kata hakama yaitu aturan-aturan yang dijadikan dasar oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara, hukuam  dalam bahasa Inggeris disebut law, rule, Perancis droit, Belanda recht dan Jerman recht atau derito.
Hukum dalam arti luas adalah aturan, kaidah, norma atau ugeran, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang pada dasarnya berlaku dan diakui orang sabagai peraturan yang harus ditaati dalam kehidupan bermasyarakat dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi.Dalam Enseklopedia Indonesiahukum merupakan rangkaian kaidah, peraturan-peraturn, tata aturan baik tertulis maupun tidak tertulis, yang menentukan atau mengatur hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat. Para ilmuan hukum sepakat dalam tidak kesepakatan dalam satu definisi hukum. Hukum sangat universal, tidak terlepas dari berbagai aspek ilmu, sehingga sulit untuk menyatukan sebuah definisi hukum. Namun, untuk menjadi suatu dasar pemikiran dikemukakan pandangan Soetandyo Wingnyosoebroto.
Menurut Soetandyo Wingnyosoebroto hukum merupakan sebuah konsep, dan tak ada konsep yang tunggal mengenai apa yang disebut hukum itu. Selanjutnya dikatakan bahwa, sekurang-kurangnya ada tiga kosep hukum yang pernah dikemukakan orang. Pertama hukum sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang benilai universal. Kedua, hukum sebagai kaidah-kaidah dan positif yang berlaku pada suatu waktu dan terbit sebagai produk eksplisit sumber kekuasaan politik tertentu yang diligitimasi. Ketiga, hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional di dalam sistem kehidupan bermasyarakat, baik dalam proses pemulihan ketertiban dan penyelesaian sengketa maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan pola-pola perilaku yang baru. Pendapat Soetandyo tersebut cukup rasional, hal ini dapat disimak dengan pengertian-pengertian hukum yang dikemukakan para ahli hukum lainnya. Seperti Soerjono Soekanto dalam bukunya Sendi-sendi IlmuHukum dan Tata Hukum menyatakan, bahwa
1. Hukum sebagai ilmu pengatahuan yakni pengatahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran 2. Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan yang dihadapi.
3. Hukum sebagai kaidah, yakni podoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan.
4. Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pula pada suatu waktu dan tempat tertentu berbentuk tertulis.
  Dari pengertian kedua kata tersebut dapat dipahami bahwa pengetahuan hukum adalah segala segala konsep hukum yang diketahui, baik itu terkait dengan perintah, larangan, aturan atau norma, patokan atau kaidah, maupun tekati asas hukum. Mempunyai pengetahuan yang luas tekait dengan ilmu-ilmu pendukungng tertama dalam merumuskan hukum materiil.

Kebenaran dalam Perspektif Hukum
Bertolak dari ketiga teori kebenaran sebagaimana disebutkan pada pendahuluan tersebut,diletakkan pada teori kebenaran yang mana. Di satu sisi hukum dipandang hitam putih, berarti kebenran itu hanya satu yaitu berdasarkan pada kesesuaian norma hukum dengan peristiwa hukum. Jika demikian halnya maka hukum yang dilihat pada aspek kepastian yaitu kesesuaian legalitas dengan fakta-fakta hukum. Di sisi yang lain para ilmuan hukum memahami hukum itu dari berbagai sudut, ada yang melihat dari sudut filsat, ada dari sudut sejarah, ada dari sudut antropolgi, ada dari sudut politik bahkan ada dari sudut psikologi. Hal ini berarti kebanaran hukum itu sangat veriatif . Jika ia maka kebenaran hukum itu hanya terletak pada penegak hukum. 
Telah disadari dalam penegakan hukum diharapkan agar penegak hukum terutama para hakim dalam hal menjutuhkan satu putusan harus memenuhi rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Ketiga tujuan hukum ini adalah realisasi dari pemikiran kebenaran filosuf, pemikiran sosiolog dan pemikiran legalitor. Ketiga pemikiran ini jika dikaitkan dengan ketiga teori yang ada tentunya teori pragmatis sangat relatif untuk digunakan. Imam Syafi,iy salah seorang ilmuan hukum Islam yang ternama dalam dunia Islam berpendirian bahwa bila dikemudian hari terdapat argument yang autentik (dari Alqur'an dan Hadis Nabi saw.) sebuah kebenaran yang berbeda dengan pendapat, maka tinggalkan pendapatnya itu. Teori pragmatif berkaitan dengan rasa kemanfaatan hukum. Jadi dalam perspektif kebenaran pragmatif tidak berorintasi pada sebuah proses atau suatu peristiwa hukum tetapi hasil dari proses atau peristiwa hukum itu.
 Teori koherensi diimplementasikan  dalam tataran ius constitidum, (ide-ide hukum) yang kesesuaian dengan realitas perilaku masyarakat. Pendekatan deduktif sangat mendominasi kebenaran koherensi. Tataran hukum dalam hal ini adlah aspek keadilan yang diutamakan, seperti konsep keadilan Aristotelles. Rasa keadilan untuk setiap orang atau kelompok sangat fariatif, oleh sebab itu jangan secara apriori menjustifikasi setiap putusan hakim itu tidak adil. Hakim sebagai pematah kepentingan pencari keadilan mempunyai pandangan berdasarkan pada keyakinannya atas sebuah fakta hukum. 
Demikian juga dalam perspektif teori korespondensi, kesesuaian putusan hakim dengan kebenaran fakta-fakta hukum. Kebenaran legalitas, artinya penerapan hukum hukum terhadap sebuah perkara didasarkan pada fakta-fakta hukum yang terdapat pada peristiwa terjadi. teori kebenaran korespondensi mengutamakan kepastian hukum (asas legalitas). 

Hukum Qishash

Para ahli hukum nasional maupun internasional memahami hukum qishash sebagai hukum balas dendam, bahkan menempatkan hukum Islam sebagai hukum yang tidak mengenal hak asasi manusia. Pandangan yang sangat fugar seperti ini dimungkinkan jika hukum Islam itu adalah produk daya nalar manusia semata. Tetapi jika hukum Islam itu adalah wahyu Tuhan dan Tuhan yang menentukan sanksinya, maka bagi mereka yang meyakini Islam sebagai ediologi hatinya tidak meyakini kebenaran hukum qishash tersebut tetntu digolongkan dalam golongan orang-orang yang  tertutup hatinya.
Indonesia penerapan hukuman mati hanya kepada golongan teroris dan itu semata hanya diterapkan terhadap penganut Islam yang konfserftif dengan sikap radikalisnya. Padahal jika menelesuri lebih jauh pemebunuhan dengan penuh kesadaran yang mehilangkan nyawa sekelompok orang, seperti pembunuhan terhadap 3 orang TKW yang kembali ke Indonesia, atau pembunuhan berantai terhadap satukeluarga beberap bulan yang lalu atau para geng motor yang tidak tanggung-tanggung merampuk, memperkosa dan membunuh mereka yang tidak bersalah, tidak dijatuhkan hukum mati. 
Apabila kita beralibi bahwa yang menpunyai hak untuk menghilangkan nyawa manusia hanyalah Tuhan, maka tentunya para teroris pun diberikan hak yang sama. Namun mereka dengan  berbagai cara untuk mengacaukan keamanan negara dan tidak tanggung-tanggungnya membunuh dengan legalita agama tidak dibenarkan tentunya sepantasnya dijatuhi hukuman mati,

Independensi Hakim



Kehakiman di Indonesia dijamin dalam Konstitusi Indonesia yaitu Undang-undang Dasar 1945, yang selanjutnya diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Independensi diartikan sebagai bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala Kekuasaan Negara lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang dating dari pihak-pihak extra judisiil, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh Undang-Undang. Demikian juga meliputi kebebasan dari pengaruh -pengaruh internal judisiil didalam menjatuhkan putusan .
Kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah merupakan kehendak dari UUD 1945 (penjelasan pasal 24 & 25). Hal ini adalah esensi demokrasi yang dicita-citakan oleh Indonesia. Pengakuan bahwa seharusnya kekuasaan kehakiman itu mereka lepas dari pengaruh cabang kekuasaan yang lain.
Independensi hakim untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan bedasarkan pancasila, untuk terselengaranya Negara hukum republic Indonesia, menuntut hakim memilki integritas dan komitmen yang didasarkan pada kemampuan dan kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual. (Busthanul Arifin, 2007: 147-148)   
Apakah memang benar bahwa kekuasaan kehakiman itu mandiri atau independen dalam arti sebebas-bebasnya. Independensi kekuasaan kehakiman atau badan-badan kehakiman/peradilan merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law sebagaimana pemikiran mengenai Negara Hukum modern yang pernah dicetuskan dalam konferensi oleh International Commission of Jurists di Bangkok pada tahun 1965.
Demikianlah jelas bahwa secara nasional maupun internasional atau universal, independensi badan-badan peradilan dijamin. Menjadi pertanyaan bagi kita sekarang apakah hakekat independensi kekuasaan kehakiman itu memang harus mandiri dan merdeka dalam arti sebebas-bebasnya tanpa ada batasnya secara absolut? Menurut hemat  Paulus Effendie Lotulung, (www.lfip.org/tgl. 15-12-2007) tidak demikian, sebab tidak ada kekuasaan atau kewenangan di dunia ini yang tidak tak-terbatas, atau tanpa batas, kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa di dunia ini maupun di akhirat.
Selanjutnya menurut Paulus Effendie Lotulung kekuasaan kehakiman, yang dikatakan independensi atau mandiri itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu, sehingga dalam konferensi International Commission of Jurists dikatakan bahwa : "Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrarymanner”. (www.lfip.org/tgl. 15-12-2007)
Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial/materiil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi Kekuasaan “Kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah "subordinated” pada Hukum dan tidak dapat bertindak "contra legem".
Selanjutnya, harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungan-jawab atau akuntabilitas, yang kedua-duanya itu, independensi dan akuntabilitas pada dasarnya merupakan kedua sisi koin mata uang saling melekat. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan perkataan lain dapat dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim (independency of judiciary) haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (Judicial accountability). Dalam memasuki era globalisalsi sekarang ini, menjadi kewajiban bagi kita semua yang bergerak di pemerintahan dan penegakan hukum, baik kalangan teoritisi / akademisi maupun praktisi untuk mengkaji secara serius dan mendalam mengenai pengertian "judicial accountability" tersebut sebagai pasangan dari “independency of judiciary".
Bentuk tanggung jawab ada dan bisa dalam mekanisme yang berbagai macam, dan salah satu yang perlu disadari adalah "social accountability” (pertanggungan jawab pada masyarakat), karena pada dasarnya tugas badan-badan kehakiman atau peradilan adalah melaksanakan public service di bidang memberikan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Secara teoritis, di samping social atau public accountability tersebut dikenal pula : political accountability / legal accountability of state, dan personal accountability of the judge.
Sisi lain dari rambu-rambu akuntabilitas tersebut adalah adanya integritas, objektifitas dan sjfat transparansi dalam penyelenggaraan dan proses memberikan keadilan tersebut, hal mana harus diwujudkan dalam bentuk publikasi putusan putusan badan pengadilan serta akses publik yang lebih mudah untuk mengetahui dan membahas putusan-putusan badan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga karenanya putusan-putusan tersebut dapat menjadi obyek kajian hukum dalam komunitas hukum.Adalah suatu langkah reformasi juga dibidang peradilan, manakala dikembangkan wacana perlunya publiikasi pendapat yang berbeda (publication of dissenting opinion) diantara hakim-hakim didalam proses pemutusan perkara jika tidak terdapat kesepakatan yang bulat diantara mereka. Pada hakekatnya justru melalui mekanisme "publication of dissenting opinion" itulah independensi hakim sebagai penegak hukum dijamin dalam menyampaikan dan mempertahankan argumentasi yuridisnya masing-masing pada waktu musyawarah putusan. Contoh dari sudah diterimanya asas ini dalam perundang-undangan kita adalah dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan telah dipraktekkan pula di Pengadilan Niaga dalam perkara-perkara kepailitan. Konsekuensi lebih lanjut dari adanya akuntabilitas tersebut diatas, adalah adanya pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan baik mengenai jalannya peradilan maupun termasuk perilaku para aparatnya, agar kemandirian dan kebebasan Kekuasaan Kehakiman tidak disalah gunakan sehingga dikawatirkan dapat menjadi " tirani Kekuasaan Kehakiman ". Banyak bentuk dan mekanisme pengawasan yang dapat dipikirkan dan dilaksanakan, dan salah satu bentuk adalah kontrol atau pengawasan melalui mass-media termasuk pers. Jadi dengan demikian, aspek akuntabilitas, integritas dan aspek transparansi, maupun aspek pengawasan merupakan 4 (empat) rambu-rambu
yang menjadi pelengkap dari diakuinya kebebasan dan independiensi Kekuasaan Kehakiman. 
Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi konflik antara individu dengan individu lainya. Konflik di antara individu sering tidap dapat diselesaikan oleh pihak yang terkait.
Untuk menyelesaikannya dapat dibutuhkan campur tangan institusi khusus yang memberikan penyelesaian imparsial. Penyelesaian itu,  tentunya harus berdasarkan pada patokan-patokan yang berlaku secara objektif. Lembaga peradilan memiliki fungsi ini, yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan, penilaian dan memberikan keputusan terhadap konflik, kewenagan demikian dikenal dengan kekuasaan kehakiman. (Suhrawardi K. Lubis, 2000: 25). Yang dilakukan oleh hakim.
Menurut  Suhrawardi K. Lubis (2000: 25) agar hakim dapat menyelesaikan masalah yang dihadapkan kepadanya secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, termasuk dari pemerintah. Hakim  dalam mengambil keputusan terikat pada fakta-fakta  yang relevan dan kaidah hukum  menjadi landasan yuridis keputusannya. Ini berarti Menueur Mochtar Kusuma Atmadja, yang dikutip oleh  Suhrawardi K. Lubis (2000: 25) hakim memiliki kekuasaan yang luas terhadap para pihak (yustiabel) berkenaan dengan masalah yang dihadapkan kepadanya.
Ini berarti pula, bahwa hakim dalam menjalnkan tugasnya sepenuhnya memiliki tanggung jawab yang besar dan dapat menyadari tanggung jawab itu. Sebab keputusan hakim menurut Arif Sudarta yang dikutip oleh Suhrawardi K. Lubis (2000: 25) membawa akibat yang sangat jauh pada kehidupan para yustiabel dan atau orang lain terkena jangkauan keputusan itu. Selanjutnya dikatakan bahwa keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat mengakibatkan pendiritaan lahir dan batin para yustiabel yang bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya. 

Daftar Pustaka 

Busthanul Arifin, (2007) Masa Lampau yang Belum Selesai (Percikan Pikiran Tentang Hukum dan Pelaksanaan Hukum) O.C. Kaligis & Associates, Jakarta

John Z. Laudoe, (1983). Fakta dan Norma dalam Hukum Acara. Bina Aksara, Jakarta

Suhrawardi K. Lubis, (2000), Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

Hasil Ijtihad Hakim

Hakim dibedakan ata tiga katagori, 2 katagori dinyatakan dalam perbuatan kezalaiman dan 1 satu katgori dinyatkan dalam perbuatan keadialan. Hakim dua katagori tersebut satu berlaku zalaim kerena bukan memahami hukum dan bukan juga ahli hukum, satu lagi memahami hukum dan ahli hukum tetapi berlaku zalim karena memutuskan perkara tidak berdasarkan pada fakta hukum. Sedangkan hakim yang berlaku adil karena dia ahli hukum dan memahami hukum serta memutuskan perkara sesuai fakata hukum. 
Pernyataan ini tidak boleh menjadi spesimis sehingga hakim-hakim yang selama ini berlaku zalim tidak memperbaiki integritasnya, tetapi pernyataan dimaksudkan bagi hakim agar dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum dan keadilan selalu berpandangan bahwa penegakan hukum dan keadilan di bumi adalah perpanjangan keadilan Tuhan di bumi. Oleh karena itu, kata Nabi Muhammad SAW. hakim dalam berijtihad untuk menetapkan hukum pabila salah maka dia mendapat satu keselamatan dan bila ijtihadnya benar meendapat dua keselamatan. 
Di dalam kaidah peradilan Islam seorang hakim tidak boleh membatlkan putusan hakim yang lain walaupun putusan itu salah, kecuali dalam hal dua hal yaitu pengembalian harta dan putusan itu berdasarkan hafanafsu (Wahbah az-Zuhaili). Jika pendat ini menjadi dasar maka proses peradilan dengan sistem hirarki dari tingkat pertama sampai ketingkat kasasi dan setiap tingkatan berfariasi putusan. Terdapat putusan yang menguatkan putusan pengadilan tingkatan pertama atau menolak sebagian dan menerima sebagian, atau tidak menerima putusan seluruhnya dan menetapkan putusan baru. Dengan demikian halnya maka dipertanyakan adalah putusan mana yang benar, sedangkan dalam teori kebenar dari semua kebenaran hanya ada satu kebenaran.

Agama dan Negara dalam politik identitas

Perdebatan hubungan agama dan negara tidak pernah luput dari rana politik. simbol-simbol agama oleh praktisi politik selalu diperdebatkan. Ada yang mensentil bahwa membawa agama dalam rana politik akan mencederai kesakralannya. Ada juga berpandangan bahwa agama harus menjadi filter politik.
Indonesia bukan seperti negara Malesia yang menjadi agama sebagai dasar negara. Ini  berarti agama sebagai pandangan hidup bangsa Malesia.  Demikian juga Pakistan menjadi mendeklarasikan Negara sebagai negara Islam. Namun dalam relaitasnya agama bukan satu-satunya sumber dari norma hukum, norma sosial budaya dan nomra politik.
Indonesia dari berbagai perndapat baik dari ahli hukum maupun ahli politik hampir  bersepakat bukan negara agama dan bukan negara sekuler tetapi negara pancasila. Bahkan ada yang berpandangan Indonesia negara beragama. Pandangan secam ini oleh kelompok fondemental dipandang sikap mendua, tidak mempunyai identitas.
Tidak bisa dipungkiri apapun bentuknya negara dan apapun bentuk pemerintahannya agama pasti menjadi polemik para aktor politik. Kelompok politikus yang menjadikan agama sebagai lokomotif untuk meraut kekuasaan tidak tangguh-tangguhnya mendeklarasikan diri sebagai pembawa aspirasi masyarakat beragama. Di Indonesia misalnya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bulan Bintng, Partai Keadilan Sejahtera menjadikan Islam sebagai asas partai. Ini berarti  secara langung menempatkan agama sebagai dasar perpolitikan. Jika demikian berti telah menipis pendapat yang memisahkan agama deengan negara. Tetapi sering juga menjadikan agama sebagai indentias politik. Dan ini bukan saja dilakukan oleh partai-partai yang berasaskan agama, tetapi juga oleh partai-partai yang barasaskan nasionalis. Justru partai yang barasaskan nasionalis ini yang acap kali menjadi agama sebaggai sara politik.