A. Latar Belakang
Peradilan Agama berdiri karena faktor kompleksitas kehidupan masyarakat yang menyentuh secara
langsung atau tidak langsung nilai-nilai
hukum, moral dan etika Islam, juga karena kebutuhan masyarakat dan bangsa
Indonesia yang beragama Islam. Untuk
itu, diperlukan adanya keseimbangan dalam penerapan hukum Islam kepada umat
Islam di Indonesia, baik dari segi asubtansi hukum maupun dari segi lembaga
yang menanganinya. Sehubungan dengan
kedua hal tersebut, Peradilan Agama melaksanakan tugas-tugas peradilan dengan
menerapkan hukum Islam dalam menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya
berdasarkan nilai-nilai hukum Islam dan cita-cita batin umat Islam.
Penyempitan atau pembatasan kewenangan Peradilan Agama di
bidang perdata tertentu, dan tidak menyentuh bidang pidana, padahal persoalan
umat Islam yang terkait dengan pemalsuaan terhadap nilai-nilai ajaran Islam,
seperti yang dituduhkan pada kelompok Ahmadiyah, institusi mana yang berwenang
menyatakan bahwa ajaran yang diajarkan atau dikembangkan bertentangan dengan
ajaran Islam. Persoalan pernikahan di
bawah tangan, sanksi pidana yang termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, tindakan kekerasan dalam rumah tangga dan aspek pidana pada UU Perbankan Syariah, UU
Wakaf, UU Sukuk (Surat Berharga Syariah) dan UU Pengelolaan Zakat.
Penilitian ini adalah penelitian normatif dengan
pendekatan Undang-undang dan pendekatan konsep
B. Kewenanga Peradilan Agama Menurut UU Nomor 50 Tahun 2009
Peradilan Agama sebagai salah satu lembaga yang
melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman telah mengalami perubahan. Untuk memenuhi tuntutan
perubahan itu, DPR RI dengan hak inisiatifnya mengajukan rancangan UU perubahan
atas UU Nomor 7 Tahun 1989 kepada pemerintah.
DPR-RI
bersama pemerintah secara
intensif membahas RUU perubahan Peradilan Agama, yang pada akhirnya mereka
menerima RUU tersebut menjadi UU. Dan pada tanggal 20 Maret 2006 Presiden RI
mensahkan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, perubahan atas UU
Nomor 7 Tahun 1989. Hal ini
menunjukkan bahwa pengembangan kompetensi absolute Peradilan Agama tidak serta
merta kewenangan pemerintah, tetapi peran dan respon DPR-RI juga menentukan.
Seperti dikatakan oleh Amin Suma
bahwa terkait dengan ihwal wewenang absolute Peradilan Agama, tentu saja tidak
semata-mata berada di tangan pemerintah, mengingat pembentukan undang-undang
sebagaimana diamanatkan UUD NRI Tahun 1945 ditetapkan bersama DPR-RI.
Perubahan yang sang esensial adalah penghapuskan kata perdata dalam Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 1989 pada
kalimat perkara perdata tertentu yang diatur dalam UU ini, diubah dengan
kalimat …perkara tertentu yang diatur dalam UU ini. Penghapusan kata perdata dalam kalimat perkara
perdata tertentu dengan perkara tententu
menjadi perdebatan dan multi penafsiran di antara anggota DPR. Terjadi
berbagai pandangan para anggota DPR RI yang
berada di komisi tiga terhadap penghapusan kata perdata, terutama
terkait dengan Pasal 2 UU ini.
Pemerintah dalam penjelasannya
bahwa pengadilan agama sudah ditentukan kewenangannya menurut UU ini, dan qanun
yang berlaku di Nanggro Aceh Darussalam kewenangannya melingkupi selain perkara
perdata juga perkara di luar perdata, agar tidak bertentangan antara UU
Peradilan Agama dengan qanun yang berlaku di Nanggro Aceh Darussalam maka
menurut pemerintah kata perdata itu dihapus. Terjadi perubahan juga pada
bidang kewenangan yaitu penambahan kewenangan di bidang
ekonomi syariah, zakat dan penetapan hasil kesaksian melihat hilal
bulan. Di samping penambahan kewenangan,
juga terdapat perubahan dihapuskan asas pilihan hukum.
Pengembangan kompetensi
absolut Peradilan Agama menjadi suatu tuntutan, akan tetapi belum tentu memberi
jaminan pemberlakuan hukum Islam dengan baik, sebagaimana dikatakan oleh Amin
Suma
bahwa perluasan atau penambahan kompetensi absolut suatu badan peradilan, tidak
serta merta memberikan jaminan yang lebih urgen memperluas dan memperluwes pemberlakuan serta
keberlakuan hukum Islam itu sendiri dibandingkan dengan semata-mata
mempersoalkan kopetensi absolut lembaga peradilan tertentu. Semua lembaga peradilan yang ada di negara
hukum Indonesia termasuk Peradilan Agama sebagaimana ditegaskan undang-undang
adalah Peradilan negara. Indonesia adalah negara yang beragama, maka sungguh
pada tempatnya manakala semua badan peradilan yang ada di Indonesia menjunjung
tinggi nilai dan norma hukum agama termasuk tentunya nilai dan norma hukum
Islam.
Terdapat tiga prinsip hukum Islam dijadikan dasar
ketaatan umat Islam untuk tunduk pada Peradilan Islam yang disebut asas personalitas keislaman, yaitu: (1)
Terhadap setiap muslim berlaku dan tunduk pada Hukum Islam dan oleh karenanya
kepada setiap muslim diwajibkan menaati segala aturan hukum Islam; (2) Jika
terjadi pelanggaran dan/atau sengketa, maka ia harus diselesaikan menurut
aturan hukum Islam; (3) Apabila mediator atau pengadilan diperlukan, maka harus
diselesaikan lewat mediator muslim atau Peradilan Islam.
Berdasarkan asas personalitas keislaman tersebut, penyelesaian sengketa, ketentuan hukum, sistem
peradilan, dan penegakan hukum
berdasarkan hukum Islam. Oleh karena itu, Peradilan Islam tumbuh dari prinsip-prinsip
tersebut merupakan ciri khas serta simbol berlakunya hukum Islam. Peradilan
Islam diperuntukkan untuk menegakkan hukum Islam dan menyelesaikan
sengketa di antara umat manusia. Hal ini merupakan tujuan pertama dan utama
penyelenggaraan peradilan dalam Islam. Karena itu, hukum Islam sebagai ilmu pengetahuan dapat
dipelajari oleh siapapun. Akan tetapi, hukum Islam sebagai agama di dalamnya terkandung aqidah Islamiyah, maka ia
hanya dapat diyakini, dihayati, dan diamalkan oleh orang Islam. Orang non
muslim, sepandai apapun, mustahil dapat meyakini, menghayati, dan mengamalkan
hukum Islam sebagai kebenaran Ilahiyah.
C. Peluang Penambahan Kewenangan di
bidang Pidana
Di dalam penjelasan
Pasal 2 UU Nomor 3 Tahun 2006 Jonto UU Nomor 50 Tahun 2009 tidak dijelaskan
jenis perkara tertentu. Sedangkan kewenangan absolut Peradilan Agama
berdasarkan bidang-bidang hukum sebagaimana dalam pasal 49 UU Peradilan Agama.
Pada bidang-bidang hukum itu
terdapat ketentuan-ketentuan pidana. Oleh sebab itu perkara-perkara pidana yang
terkait dengan bidang hukum perkawinan, wakaf, zakat, dan ekonomi syariah yaitu surat berharga
syarian negara dan perbankan syariah terintegrasi dalam kewenangan Peradilan
Agama.
Dengan memperhatikan akar dan sejarah Peradilan Agama di
Indonesia, maka dapat ditemukan hal-hal spesifik dalam Peradilan Agama sebagai
peradilan Islam, antara lain: Pertama, Peradilan Agama
tumbuh berdasarkan ideologi agama, yakni agama Islam; Kedua, Peradilan
Agama bertujuan untuk menegakkan hukum
Islam dan menyelesaikan sengketa antara umat manusia; Ketiga, Peradilan
Agama berkaitan langsung dengan dan merupakan bagian takterpisahkan dari
kehidupan beragama yang meliputi aqidah, syariah, dan akhlak; Keempat, Peradilan
Agama merupakan kebutuhan mutlak umat Islam dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara;
di manapun mereka berada tanpa memandang apakah mereka merupakan mayoritas
ataupun minoritas; Kelima, Peradilan Agama berkaitan langsung dengan dan
merupakan bagian dari kehidupan ketatanegaraan setempat di manapun lembaga ini
didirikan. Hal-hal spesifik ini bersifat universal dan ia tidak menganal ruang
dan waktu.
Kompetensi absolut peradilan Agama apabila dilihat dari
teori kemaslahatan atau tujuan hukum Islam,
maka hanya mencakup dua hal dari tujuan hukum Islam, yaitu menjaga harta dan
menja kehormatan. Kewenangan absolut Peradilan Agama dalam menjaga harta
mencakup persoalan waris, wasiat, wibah, wakaf, zakat infak, sadakah dan
ekonomi syariah serta hak milik atau
keperdataan lainnya. Sedangkan kewenangan absolut
Peradilan Agama dalam menjaga kehormatan hanya mencakup persoalan perkawinan,
padahal persoalan menjaga kehormatan termasuk perbuatan zina pencemaran nama
baik tidak termasuk dalam kewenangannya. Disamping kedua unsur daruriyah
tersebut ketiga unsur daruriyah lainnya (memelihara agama, jiwa dan akal) tidak termasuk dalam kompetensi absolut Peradilan
Agama, padahal hukum Islam menempatkan ketiga unsure dlaruriyah tersebut secara hirarki
memelihara agama sebagai prioritas pertama, jiwa prioritas kedua dan prioritas
ketiga akal, kehormatan dan harta prioritas keempat dan kelima.
Dalam
hal memelihara agama di Indonesia banyak terjadi konflik internal, seperti
kasus Ahmadiyah, dan aliran lainnya yang mengatasnamakan Islam tetapi
menyimpang dari teologi Islam. Menurut fatwa MUI satu aliran dalam Islam
ditetapkan palsu apabila memenuhi 10 kriteria sebagaimana disebutkan
sebelumnya.
Sepuluh kriteria tersebut terdapat empat kriteria yang sangat fundamental harus
diketahui oleh seorang penegak hukum (terutama hakim), yaitu ; Pertama, harus
mengetahui dan menguasai aqidah Islam sesuai dalil syar’i. Kedua, mempunyai
pengetahuan yang mendalam mengenai keautentikan kebenaran isi Alquran. Ketiga, mempunyai kemampuan melakukan
penafsiran Alquran sesuai kaidah tafsir. Keempat,
mengetahui dan memahami pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah. Empat
kriteria tersebut hanya dapat dilakukan oleh hakim Islam yang menguasai
ilmu-ilmu Islam.
Kebutuhan untuk menjaga kemaslahatan manusia dari aspek penegakan hukum
sangat ditekankan oleh doktrin Islam. Dengan demikian pembatasan kewenangan
terhadap kompetensi absolut Peradilan Agama dalam menyelesaikan
persolan-persoalan umat Islam baik yang terkait dengan hak privat maupun hak
publik akan kurang tepat dengan tujuan hukum Islam.
Perkara pidana yang terkait dengan bidang hukum Islam yang
dipositifkan belum ada kemauan negara yang signifikan memberikan kewenangan
kepada Peradilan Agama. Apabila bertolak dari Pasal 2 UU Nomor 3
Tahun 2006 jouncto UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, maka adalah
suatu keniscayaan Peradilan Agama diberi kewenangan menyelesaikan perkara pidana yang berhubungan langsung dengan bidang-bidang
hukum
yang menjadi kewenangannya. Tertuma dalam bidang hukum keluarga,
misalnya kekerasan dalam rumah tangga (syiqaq). Sebagaimana disebutkan bahwa pengadilan mengadakan sidang untuk
menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan dan pengadilan
berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi
didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Terdapat beberapa alasan yang dapat
dijadikan sebagai perbuatan kejahatan atau pelanggaran. Yaitu salah satu
pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Demikian juga salah satu pihak
melakukan kekerasan atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. Jika
alasan-alasan tersebut dalam pembuktian dipandang kuat dan menjadi pertimbangan
hukum oleh hakim Peradilan Agama untuk menjatuhkan putusan cerai, maka
perbuatan kejahatan atau pelanggaran antara suami dan isteri tersebut
akan menjadi alasan bagi salah satu pihak mengadukan ke pihak penyidik. Di samping itu didalam PP Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal
45 disebutkan :
(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka :
a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3,
10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini
dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,-(tujuh ribu lima
ratus rupiah);
b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam
Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggitingginya Rp. 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2) Tindak
pidana yang dimaksud dalam ayat (1) diatas merupakan pelanggaran
Pendekatan norma hukum
pidana pada bidang-bidang hukum yang menjadi kewenangan peradilan agama dapat
dimungkinkan melalui asas konten jastis. Asas konten jastis menempatkan sinkronisasi substansi peraturan
perundang-undangan dengan kewenangan masing-masing institusi penegakan hukum. Peradilan
agama dengan kewenangan yang dibatasi pada perkara tertentu sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya dan landasan normatif hukum yang digunakan adalah
normatif hukum Islam. Asas konten jastis ini hanya diperuntukkan kepada
tindakan family crime (kejahatan dalam keluarga)
seperti penganiayaan, perzinahan, atau perselingkuhan yang terintegrasi dengan
kasus perceraian. Dalam hal pembuktian perbuatan zina sebagai
alasan cerai hanya dibuktikan dengan kesaksian dua orang saksi, sedangkan
pembuktian perbuatan pidana zina itu sendiri dapat dibuktikan dengan kesaksian
empat orang saksi, dan kesaksian antara satu dengan yang lain tidak boleh
berbeda.
Penyelesaian sengketa perdata didasarkan pada tindak kejahatan seperti
penganiyaan, dan perzinaan, dalam kasus perceraian, atau sengekata wakaf
dalam kasus penyalahgunaan kewenangan pengelolaan harta
wakaf. Demikian juga penyelesaian pidana ekonomi syariah
menjadi kewenangan peradilan umum. Padahal bagi umat Islam ketundukan pada
hukum Islam secara totalitas adalah suatu keharusan. Oleh sebab itu, adalah suatu keniscayaan jika
penyelesaian perkara pidana yang terkait dengan persoalan perkawinan, waris,
wasiat, wakaf, ekonomi syariah menjadi kewenangan Peradilan Agama dan
diselesaikan menurut hukum Islam.
Sebagaimana
yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa suatu keanehan dalam hal keberlakuan
bidang hukum yang menjadi kewenangan peradilan agama. Dari pendekatan hukum
perdata bidang-bidang hukum di bawa kewenangan peradilan agama
diselesaikan menurut hukum Islam. Sedangkan sanksi pidana pada
bidang-bidang hukum tersebut yang menjadi kewenangan peradilan umum dan
diselesaikan bukan menurut hukum Islam.
D. Kesimpulan
Terdapat empat hal yang
melandasi penyelesaian perkara pidana di bidang hukum yang menjadi kewenangan
peradilan agama. Pertama, ketentuan pidana dalam bidang hukum
perkawinan, bidang hukum zakat, bidang hukum wakaf, bidang hukum surat berharga
syariah negara dan bidang hukum perbankan syariah. Norma-norma hukum yang
diberlakukan adalah norma-norma hukum Islam. Kedua, sesuai dengan
asas personalitas keislaman dan asas ketundukan pada hukum Islam, maka perkara
pidana yang terkait bidang-bidang hukum di bawah kewenangan peradilan agama
sepatutnya dilaksanakan menurut hukum Islam. Ketiga, pelaksanaan hukum
pidana Islam tertentu telah menjadi kewenangan Mahkamah Syariah Provinsi
Nanggro Aceh Darussalam. Walaupun keberlakuannya karena perlakuan
khusus bagi daerah Provinsi Nanggro Aceh Darussalam. Keempat,
menegakkan hukum Islam secara totalitas adalah bagian dari pelaksanaan
ibadah.
E. Daftar Pustaka
Sulaikin Lubis, Wismar ‘Ain dan Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Pranada Media,
Jakarta, 2005,
M.
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan
Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, Pustaka Kartini, Jakarta, 1993
Muhammad Salim Madkur, Al
Qadla’u fi al Islam, Darun Nadwa, Al
Arabiyah, 1964
M.Hasbish
Ash-Shiddieqy, Filsafat
Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975
Peraturan
Perundang-undangan
Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 perubahan kedua dari UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974.
.
Sulaikin Lubis, Wismar ‘Ain dan Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di
Indonesia, Pranada Media, Jakarta, 2005, hlm. 60. Asas personalitas
keislaman berdasarkan kewenangan Peradilan Agama terkait dengan sengketa
perdata tertentu. M. Yahya Harahap, Kedudukan
Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, Pustaka Kartini,
Jakarta, 1993, hlm. 37.
Muhammad
Salim Madkur, Al Qadla’u fi al Islam,
Darun Nadwa, Al Arabiyah, 1964, hlm. 39.
M.Hasbish Ash-Shiddieqy, Filsafat
Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm.
188-189.
[9] Lihat
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun
1974.
Salah satu prinsip
penting dalam KUHAP adalah prinsip diferensiasi fungsional, yaitu penegasan
pembagian tugas, fungsi dan wewenang antara masing-masing aparat penegak hukum
secara institusional. menurut Yahya Harahap,
KUHAP meletakan suatu asas ”penjernihan” (clarification) dan ”modifikasi”
(modification) fungsi dan wewenang antara setiap institusi penegak hukum.
Penjernihan fungsi dan wewenang ini diatur sedemikian rupa, sehingga tetap
terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang saling
berkaitan dan berkelanjutan antara satu institusi dengan institusi yang lain Oleh karena itu sistem peradilan pidana
memerlukan kombinasi yang serasi antar subsistem untuk mencapai satu tujuan.
Muladi menyebutkan, perlu adanya sinkronisasi struktural (structural
sycronization), sinkronasi substansial (substantial sycronization), dan
sinkronisasi kultural (cultural syncronization). Sinkronisasi dalam sistem
peradilan pidana ini akan lebih memudahkan semua subsistem-subsistem
menjalankan fungsinya dan juga bekerjanya sistem secara sehat untuk mencapai
tujuan. Keterpaduan
antara subsistem dalam penegakan hukum menjadi penentu efektifvitas suatu
peraturan. Sistem hukum dapat 2berjalan dengan baik
untuk mencapai tujuan jika semua unsur saling mendukung dan melengkapi. .http://id.shvoong.com/law-and-politics/constitutional-law/2027068-prinsip-penegakkan-hukum /# ixzz1nlZ6CNYJ . 3-10-2015
Lihat
Alquran Surat An Nur ayat 4