HUKUM SEBUAH REALITAS KEHIDUPAN


Suatu  reaalitas yang tidak dapat dihindari, pergolakan hidup manusia didasarkan seberapa jauh kebutuhan akan hidup. Berbagai kehendak yang ditempuh terjadi persaingan antara sesamanya. Apakah karena manusia disebut sebagai makhluk social, sehingga tidak terelakkan dari kehidupan kebersamaan, ataukah karena memang manusia diperuntukkan untuk hidup sebagai kolektifitas. Ataukah kerena manusia diciptakan untuk menjadi penentu kebijakan di bumi. Kesemua pertanyaan ini diperlukan suatu perenungan yang mendalam.
Apabila manusia diciptakan sebagai pemegang kebijakan di bumi, tentu terlilit dengan berbagai instrument-insturmen yang harus diperpegangi. Persoalannya apakah instrument-intrumen  itu tersedia secara alamiah, ataukah olahan akal pikiran manusia yang didasarkan pada suatu kenyataan kehidupan.
Apabila lahir dari suatu kenyataan kehidupan, apakah hakikat  kehidupan itu, apakah suatu kerteraturan atau suatu ketertiban dan kedemaian. Faktor nurani yang menjadi alat filter. Jika demikian, apakah nurani menjadi dasar untuk menilai suatu kenyataan kehidupan bahwa itu baik atau buruk, dan benar atau salah. Baik  atau buruk dan benar atau salah adalah persoalan nilai.  Nilai melahirkan suatu ukuran, ukuran melahirkan suatu aturan dan aturan itu akan menjadi norma dan norma lahir dari suatu kenyatakaan kehidupan yang dilakoni oleh manusia. Kesepakatan manusia atas suatu kenyataan kehidupan yang berulang-ulang dilakoni akan menjadi suatu nilai kepastian yang dipegangi, jika demikian, maka berarti suatu kenyataan kehidupan adalah postivisme.
Karena ilmu bertolak dari kenyataan alam dan kenyataan kehidupan, yang dijarah oleh kemampuan daya pikir manusia, melahirkan bidang-bidang ilmu pengetahuan, baik itu menyangkut dengan ilmu eksakta maupun ilmu sosial atau humaniora.
Penelusuran rana kealaman dan kenyataan kehidupapan oleh nalar manusia melahirkan berbagai konsep, baik  didasarkan pada pemikiran deduktif maupun  pada pemikiran induktif, kedua sarana ini melahirkan pendekatan dogmatik (dogmatic approach) dan pendekatan emperis (empirical   approach). Dari kedua pendekatan tersbut melahirkan kebenaran yang bersifat rasional dan kebenaran yang bersifat emperik, dan dari keduanya pula melahirkan konsep-konsep ilmu pengetahuan, tentunya konsep-konsep itu dibutuhkan penalaran yang bersifat sistimatis dan menyeluruh.
Ilmu hukum sebagai salah subsitem dari ilmu social yang direduksi dari kenyataan alam dan kenyataan kehidupan melahirkan aneka aliran dalam ilmu hokum. Norma-norma yang direduksi dari norma-norma alam yang bersifat universal dan  yang dikenal dengan hokum alam (natural of law) dan norma-norma yang direduksi dari norma-norma kenyataan kehidupan yang dikenal dengan hukum positif, sejarah hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum dan psikologi hukum, kesemuanya itu lahir dari rana filsafat.
Pandangan-pandangan keilmuan hukum sangat berfariasi, ada yang memandang hukum dalam rana profisonalitas yang terfokus pada positivis. Ada yang memandang hukum dalam rana keilmuan yang tidak terfokus pada satu aliran tertentu.
Dari sudut pandangan keilmuan, biarlah hukum itu terlepas dari keterlilitan kepastian, biarkan kepada lakon-lakon  hukum menemukan eksistensi hukum, dengan bersandar pada kenyataan kehidupan. Cobalah melepaskan hukum dari keterlilitan positivis, tentunya hukum memperoleh identitas dan jati dirinya. Hukum akan merespon kenyataan kehidupan, jika digunakan istilah Satjipto Rahardjo biarkan hukum mengalir.
Hukum dilepaskan dari sifat positivis, mungkinkah hukum mempunyai kekuatan mengikat, atau mungkinkah para praktisi hukum mempunyai keberanian untuk menembus tirfani-tirani hukum yang bertaburan dalam dinamika kehidupan masyarakat.
Memang harus suatu keberanian untuk menerobos tirani-tirani itu, dan jika hukum itu adalah sebuah keputusan justisial, berarti hakim berkompeten untuk menyalami nilai-nilai hukum baik yang bersifat living law maupun yang bersifat normative.   Tidak ada putusan justisial yang terabaikan dari kedua nilai-nilai itu. Tinggal seberapa jauh kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual profesi hukum  dalam menerainya.
Sedangankan kamandekan dan penyimpangan penegakan hukum menjadi ukuran atas tingkat kecerdasan profesi hukum. Keterbatasan dalam menerai nilai-nilai social kemasyaratan yang sangat dinamis dengan berbagai keanekaragaman  yang menyentuh berbagai lintasan kehidupan hukum yang berkembang dalam masyarakat.
Akhir dari suatu perjalanan hukum yang sangat esensi adalah sebuah kebenaran yang bersifat universal. Keadilan, kemanfaatan dan kepastian menjadi satu harapan pengembara hukum, tetapi kebanyakan profesi hukum sangat mengutamakan kepastian.
Jika demikian halnya, profesi hukum terutama hakim mempunyai hajatan terhadap nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, persoalannya dapatkah kemampuan intelektual hakim menjama itu. Dalam hal ini hakim dituntut untuk melepaskan diri dari kungkungan yang melilitnya. Sikap independensi dan integritasnya dapat dipertaruhkan.   

Kesemarautan Penegakan Hukum

Hukum menjadi konsumsi penegak hukum, demikian juga masyarakat. Namun, masyarakat sangat terkejut dengan pernyataan  Wamen Hukum dan HAM bahwa para advokator juga koroptor dengan alibi karena membela korotor. Pernyataan ini disahuti oleh salah seorang advokator yang terkenal Oce Galigis dengan melaporkan Wamen Hukum dan HAM ke kepolisian dengan alibi pencemaran nama baik. Walaupun telah diklarifikasi oleh Wamen, tetapi karena untuk menjaga pristise maka aduan tersebut tidak akan dicabut.
Hukum kita selalu diatercemohkan oleh para penegak hukum itu sendiri. Padahal masyarakat dengan berbagai ketundukan dan kesadarannya akan pentingnya penegakan hukum yang tegas, fleksibel, cepat dan tepat akan terpupus karena ula penegak hukum. 
Telah banya ilmuan hukum memberikan sumbangsi pikir baik melalui dialog, penelitian, kretikan dan solusi penegakan hukum, tetap saja terdapat apologi penegak hukum untuk tidak mendengar atau kurang mendengar pikiran-pikiran ilmuan hukum. Akibatnya kehilangan nilai spritualitas hukum. Hukum tidak lagi sebagai panglima, tetapi sebagai alat menjustifikasi pernyataan dan sikap laku penegak hukum.