Mereka ditetapkan Sebagai Ahli Waris

Dari pihak laki-laki yang menerima pusaka
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki
3. Bapak
4. Datuk/kakek
5. Saudara laki-laki kandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Saudara laki-laki seibu
8. Ponaan laki-laki dari saudara laki-laki kandung
9. Ponaan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10. Paman /Saudara laki-laki ayah kandung
11. Paman/Saudara laki-laki ayah sebapak
12. Anak laki-laki paman kandung
13. Anak laki-laki paman sepabak
14. Suami
15. Laki-laki yang memerdekakan hamba (budak

Dari pihak perempuan yang menerima puska
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan
3. Ibu
4. Nenek dari pihak bapak
5. Nenek dari pihak ibu
6. Saudara perempuan kandung
7. Saudara perempuan sebapak
8. Saudara perempuan seibu
9. Isteri
10. Perempuan yang memerdekan hamba (budak)

Jika 25 orang ahli waris dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan berkumpul menerima pusaka, dan mereka semua masih hidup, maka hanya 5 (lima) orang saja yang tetap berhak menerima pusaka, yaitu:
1. Anak laki-laki
2. Anak perempuan
3. Bapak
4. Ibu
5. Salah satu dari suami/istri
kelima orang tersebut tetap menerima pusaka dalam segala hal, dan siapa yang meninggal.

A. Ahli waris yang berhak menerima pembagian 1/2 (seperdua), yaitu
1. 1 (satu) orang anak perempuan jika tidak ada anak laki-laki
2. 1 (satu) orang cucu perempuan jika tidak ada cucu laki-laki
3. Suami jika tidak ada anak , baik anak laki-laki maupun perempuan
4. 1 (satu) orang saudara perempuan kandung jika tidak ada saudara-saudara sekandung dan jika yang meninggal tidak meninggalkan, anak atau cucu, atau bapak atau kakek
5. 1 (satu) orang saudara perempuan sebapak tidak ada saudara saudara sebapak dan jika yang meninggal tidak meninggalkan, anak atau cucu, atau bapak atau kakek
Catatan:
1. Anak perempuan dalam keadaan apapun tidak ada yang menghalangi dalam menerima pusaka
2. Cucu perempauan dihalangi oleh anak
3. Suami dalam keadaan apapun tidak ada yang menghalangi dalam menerima pusaka
4. Saudara perempuan sekandung dihalangi oleh anak laki-laki atau cucu laki-laki, dan ia menerima sisa pusaka bersamaan dengan saudara kandung laki-laki, jika yang meninggal tidak meningglkan anak atau cucu atau bapak atau kakek. Dan jika bersamaan dengan anak perempuan atau cucu perempaun, maka saudara perempuan kandung menerima sisa pusaka bersama anak perempauan atau cucu perempaun dan anak perempuan atau cucu perempuan mengambil setengahnya (1/2
5. Saudara perempuan sebapak dihalangi oleh anak atau cucu atau saudara kandung, atau bapak atau datuk dari si meninggal.
- Dan dia menerima sisa pusaka bila bersama dengan saudara laki-lakinya sebapak jika si meninggal tidak meninggalkan ahli warisanak atau cucu atau saudara kandung, atau bapak atau kakek. Atau menerima sisa pusaka bersama dengan anak perempuan, atau cucu perempuan dan anak perempuan atau cucu perempuan menerimsa pusaka sesuai ketentuan bagiannya dan saudara perempuanan sebapak mengambil sisanya.
- Apabila saudara perempuan sebapak bersamaan dengan saudara perempuan kandung maka saudara perempuan sebapak menerima 1/6

B. Ahli waris yang berhak menerima pembagian ¼ (seperempat), yaitu:
1. Suami jika si meninggal meniggalkan ahli waris anak atau mempunyai cucu
2. Isteri jika si meninggalkan tidak meninggalkan ahli waris anak atau cucu

Catatan:
Suami menerima ½ jika si meninggal tidak meninggalkan ahli waris anak atau cucu.

C. Ahli waris yang berhak menerima pembagian 1/8, yaitu :
Isteri apabila si meninggal meninggalkan ahli waris anak atau cucu.

D. Ahli Waris yang berhak menerima pembagian 1/3 yaitu :
1. Ibu jika si meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu atau saudara lebih dari seorang, baik saudara sekandung atau saudara sebapak atau saudara seibu.
2. Saudara laki-laki/perempuan seibu yang lebih dari seorang jika si meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu atau bapak atau kakek .

Catatan:
1. Ibu tidak terhalang oleh ahli waris yang lain, karena ibu termasuk ahli waris yang tetap menerima pusaka dalam segala hal.
2. Saudara laki-laki /perempuan seibu terhalang oleh ahli waris anak atau cucu, atau bapak, atau kakek atau saudara kandung laki-laki/perempuan
3. Jika saudara laki-laki/perempuan seibu lebih dari seorang, maka saudara laki-laki sekandung berkongsi dengan saudara laki-laki/perempuan seibu dalam bagian 1/3 tersebut.

E. Ahli waris yang berhak menerima pembagian 1/6, yaitu:
1. Bapak menerima 1/6 apabila simeninggal meninggalkan ahli waris, anak laki-laki atau cucu laki-laki
2. Kakek menerima 1/6 apabila simeninggal meninggalkan ahli waris, anak laki-laki atau cucu laki-laki
3. Ibu menerima 1/6jika si meninggal meninggalkan ahli waris anak atau cucu, atau saudara lebih dari seorang baik saudara sekandung maupun saudara sebapak atau saudara seibu.
4. Saudara laki-laki/peremepuan seibu hanya seorang menerima 1/6 jika si meninggal tidak meninggalkan ahli waris tidak meninggalkan anak atau cucu atau bapak atau kakek.
5. Nenek dari pihak bapak seorang atau lebih menerima 1/6jika si meninggal tidak meniggalkan ahli waris bapak atau ibu
6. Nenek dari pihak ibu seorang atau lebih menerima 1/6 jika simeninggal tidak meninggalkan ahli waris ibu.
6. Cucu perempuan seorang atau lebih apabila bersamaan dengan anak perempuan menerima 1/6 jika si meninggal tidak meninggalkan ahli waris anak laki-laki atau cucu laki-laki
7. Saudara laki-laki/perempuan seibu menerima 1/6 jika si meninggal tidak meninggalkan anak laki-laki/perempuan atau cucu laki-laki/perempuan atau bapak atau datuk.

Catatan:
1. Bapak dan Ibu dalam keadaan segala hal tidak terhalam untuk menerima pusaka
2. Kakek terhalang oleh bapak dan menerima sisa pusaka apabila tidak bersamaan dengan anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan atau sebapak.
3. Nenek dari pihak ibu terhalang oleh ibu dan nenek dari pihak ibu tidak menghalangi ahli waris lain dalam keadaan segala hal.

F. Ahli waris yang berhak menerima pembagian 2/3, yaitu:
1. 2 (dua) atau lebih anak perempuan
2. 2 (dua) atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki
3. 2 (dua) atau lebih saudara perempuan kandung
4. 2 (dua) atau lebih saudara perempuan sebapak

Catatan:
1. Dua orang anak perempuan atau lebih menerima pembagian 2/3 apabila si meninggal tidak meninggalkan anak laki-laki. Dan jika si meninggal meninggalkan anak laki-laki, maka mereka menerima sisa dengan ketentuan anak laki-laki menerima dua bagian dan anak perempuan menerima satu bagian.
2. Dua oran cucu perempuan atau lebih menerima pembagian 2/3 apabila si meninggal tidak meninggalkan cucu laki-laki. Dan jika si meninggal meninggalkan cucu laki-laki, maka mereka menerima sisa dengan ketentuan cucu laki-laki menerima dua bagian dan cucu perempuan menerima satu bagian. Tetapi jika si meninggal meninggalkan ahli waris anak laki-laki/perempuan maka cucu terhalang untuk menerima pusaka.
3. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih menerima pembagian 2/3 apabila si meninggal tidak meninggalkan anak laki-laki/perempuan atau cucu laki-laki/perempuan atau saudara laki-lakikandung , atau bapak atau datuk.
- Mereka menerima sisa jika bersamaan dengan saudara laki-laki kandung dengan ketentuan saudara laki-laki kandung menerima dua bagian dan dua saudara perempuan atau lebih menerima satu bagian.
- Mereka menerima sisa apabila bersamaan dengan anak/cucu perempuan, dan anak perempuan menerima ½ (sperdua)
- Mereke terhalang menerima pusaka apabila si meninggal meninggalkan kan ahli waris anak laki-laki atau cucu laki-laki atau bapak atau kakek,
4. Dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih menerima pembagian 2/3 apabila si meninggal tidak meninggalkan anak laki-laki/perempuan atau cucu laki-laki/perempuan atau saudara laki-lakikandung , atau bapak atau datuk.
- Mereka menerima sisa jika bersamaan dengan saudara laki-lakinya sebapak dengan ketentuan laki menerima dua bagian dan mereka mendapat satu bagian
- Mereks terhalang menerima pusakan apabila si meninggalkan ahli waris saudara kandung, atau anak laki-laki atau cucu laki-laki atau bapak atau kakek atau dua orang sudara perempuan kandung.

Contoh:

I. Apabila Suami/isteri yang meninggal, maka ahli waris yang berhak menerima warisan adalah:
1. Kakek
2. Nenek
3. Anak laki-laki
4. Anak perempuan
5. Cucu laki-laki
6. Cucu perempuan
7. Ibu
8. Bapak
9. Suami/isteri
10. Paman (saudara kandung laki-laki Bapak/Ibu
11. Tante (saudara kandung perempuan bapak/ibu)

Catatan :1. cucu menurut KHI akan menggantikan kedudukan orang tuanya duluan meninggal.
2. kakek dan nenek terhalang oleh anak atau bapak
3. saudara kandung laki-laki bapak/ibu (paman) dan saduara kandung perempuan bapak/ibu terhalang oleh anak atau cucu atau kakek dari pihak bapak jika suami dan kakek dari pihak ibu jika isteri yang meninggal

II. Apabila anak yang meninggal maka ahli waris yang berhak menerima warisan, yaiitu:
1. Ibu
2. Bapak
3. Saudara kandung laki-laki
4. Saudara kandung perempuan
5. Kakek jika tidak ada bapak
6. Saudara laki-laki sebapak jika tidak ada saudara kandung laki-laki tau abapak atau kakek
7. Saudara perempaun seibu jika tidak ada saudara kandung laki-laki, atau cucu laki-laki atau bapak, atau kakek

III. Apabila Kakek yang meninggal maka ahli yang berhak menerima warisan adalah
1. Cucu laki-laki
2. Cucu perempuan
3. Saudara kandung laki-laki/perempuan
4. Saudara laki-laki/perempuan sebapak
5. Saudara laki-laki/perempuan seibu

Catatan : 1. cucu laki-laki dan cucu perempuan menempati kedudukan orang tua mereka Yang duluan meninggal.
2. saudara kandung laki-laki/perempuan kakek terhalang oleh anak atau cucu lak-laki/perempuan
3. Saudara laki-laki/prempuan sebapak di halangi oleh saudara kandung laki-laki atau cucu lak-laki
4. Saudara laki-laki/perempuan seibu dihalangi oleh saudara laki-laki kandung atau cucu laki-laki

IV. Jika yang meninggal adalah buyut dan ahli waris hanya terdiri atas acecet maka cara penempatan ahli waris adalahSetiap cecet menempati posisi orang tuanya (kakek/nenek) mereka.

V. Bagi anak angkat hanya mendapatkan wasiat yang tidak boleh melebih dari 1/3.

Kewenangan Peradilan Agama

Kewenangan Peradilan Agama di bidang zakat

Peradilan Agama berwewenang menyelesaikan sengketa perkawinan, waaris, wasiat, hibah, shadaqah, infak

Gayus dan hukum

Sangat eronis seorang Gayus dapat mempengaruhi publik dengan sikap terjangnya membuat aparat penegak hukum tidak berkotik, mereka tunduk di bawah tangannya. gayus sebagi pengusa mafia peradilan masa kini mengutak atik keseungguhan pemerintah dalam memberantas koropsi.
Gayus menyadari bahwa keluar negeri masih dalam tahanan adalah sebuah resiko. tetapi kesadaran itu tidak terindahkan pada saat menghadapi kekuatan yang mengingkan untuk gayus melakukan iitu. Suatu yang sangat

Kewajiban Negra Memungut Zakat Maal

A. Pengertian dan Dasar Hukum Zakat
Di dalam Alqur’an zakat kadang disebut dengan shadaqah (Q.S. At Taubah: 103), kadang disebut infaq (Q.S. Al Baqarah:267). Kata infaq dalam ayat tersebut menurut Jalalain (tanpa tahun:42) bermakna zakat. Pandangan sama juga dikemukakan oleh Sayyid Sabiq (1987:42) yang mengidentikkan infak itu sama dengan zakat.
Kata zakat secara etimologi mengandung pengertian subur atau menggandakan, menyucikan, dan barkah. Bahkan menurut Muhammad Ibrahim Jannati (1986:75), zakat bermakna saleh. Saleh dalam konteks ini dimaknai sebagai pengkikisan segala bentuk jiwa negatif (dengki, iri hati, tamak, rakus boros, dan kikir). Juga akan menampakkan jiwa positif (keihlasan, ketakwaan, kedermawanan, kesetiakawanan, solidaritas imaniyah, dan solidaritas insaniyah) atau jiwa kesalehan sosial. (Hamzah Junaid 2004:47). Secara terminologi zakat merupakan suatu sebab yang diharapkan mendatangkan kesuburan. Dapat juga dikatakan bahwa zakat merupakan suatu kenyataan dan kesucian dari kikir dan kedosaan (Hasbi Ash Shiddiqiey, 1981:24).
Di kalangan ahli hukum Islam, mengartikan zakat sebagai nama bagi pengambilan tertentu, dari harta tertentu, menurut sifat-sifat tertentu untuk diberikan kepada golongan tertentu. Pengertian zakat di atas sama dengan pandangan Muhammad Ibrahim Jannati (1986:80), sedangkan menurut Asy Syaukani (dalam Hasbi Ash Shiddiqiey, 1981:24), zakat berarti memberi suatu bagian dari harta yang memenuhi nisab kepada mustahik yang tidak bersifat sesuatu halangan syara’.
Di dalam UU Pengelolaan Zakat terdapat beberapa pengertian seperti yang tercantum pada Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi:
bahwa zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seseorang muslim atau badan yang dimiliki oleh seseorang, sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Landasan hukum zakat sebagaimana diketahui berasal dari wahyu (Alqur’an dan Sunnah Rasulullah SAW). Penggunaan kedua sumber hukum tersebut dalam menyelesaikan sebuah persoalan didasarkan pada Hadis Nabi menjelang wafatnya, yaitu kutinggalkan kepada kamu dua pusaka yang abadi, apabila kamu berpegang kepadanya tidak akan sesaat selamanya yaitu Alqur’an dan Sunnah Rasulullah.
Di dalam Surat Al-Baqaraah ayat 43 disebutkan: "Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku'lah bersama dengan orang-orang yang ruku'". Kemudian dalam Surat At-Thaubah ayat 103 dikatakan: "Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do'akanlah mereka karena sesungguhnya do'amu dapat memberikan ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
Selanjutnya dalam Surat Al An'am ayat 141 disebutkan: “Makanlah buahnya jika telah berbuah dan tunaikan haknya (kewajibannya) dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)". Di dalam Surat Adz Dzariyat ayat 19 dikatakan: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”. Di ayat lain dikatakan: “…, dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya … “ (QS. Al Hadid:7).
Selain dasar hukum zakat terdapat dalam Alquran juga dalam hadist nabi (Sunnah). Persoalan zakat terdapat hadist diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Ali RA, yang artinya: "Sesungguhnya Allah mewajibkan (zakat) atas orang-orang kaya dari umat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqoro di antara mereka. Orang-orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju kecuali karena ulah orang-orang kaya di antara mereka. Ingatlah bahwa Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab mereka dengan pedih".

B. Pengaturan Zakat dalam Hukum Positif di Indonesia
Di dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Pasal ini menjadi landasan pemerintah membuat undang-undang atau regulasi yang mengatur kepentingan penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Pengaturan norma-norma agama ke dalam norma hukum merupakan suatu kewajiban negara.
Islam adalah agama yang penuh dengan norma, baik itu norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan maupun norma hukum. Zakat sebagai bagian dari norma agama, mengandung nilai ibadah dan nilai muamalah. Zakat bernilai muamalah karena zakat menyentuh kesejahteraan hidup manusia. Menempatkan para agniya (hartawan) untuk menunaikan kewajiban menyalurkan sebagian harta simpanan yang dimilikinya kepada pihak yang membutuhkan (mustahik). Para agniya mempunyai kewajiban dan mustahik mempunyai hak (bersifat pasif). Pemenuhan hak mustahik diperlukan legitimasi oleh pemerintah. Dengan demikian dibutuhkan suatu kepastian hukum oleh pemerintah untuk menegakkan hak mustahik tersebut.
Undang-Undang Pengelolaan Zakat memberikan kepastian dan payung hukum bagi pemerintah untuk mengatur mekanisme pengelolaan zakat. Dalam konsideran UU Pengelolaan Zakat diatur bahwa:
a.Republik Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya masing-masing;
b.Pengumpulan zakat merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
c. Zakat merupakan pranata keagamaaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang kurang mampu;
d.Upaya penyempurnaan sistem pengelolaan zakat perlu terus ditingkatkan agar pelaksanaan zakat lebih berhasil guna dan berdaya guna serta pelaksanaan zakat dapat dipertanggungjawabkan.

Benda-benda yang harus dikeluarkan zakatnya secara eksplisit ditentukan dalam Pasal 11 UU Pengelolaan Zakat Bab IV tentang Pengumpulan Zakat.
Di dalam pasal ini ayat (1) menyatakan bahwa zakat terdiri atas zakat maal dan fitrah. Kemudian dalam ayat (2) dikemukan bahwa harta yang dikenai zakat adalah: Emas, perak dan uang, perdagangan dan perusahaan, hasil pertanian, hasil perkebunan dan hasil perikanan, hasil pertambangan, hasil peternakan hasil pendapatan dan jasa, serta rikaz. Selanjutnya dalam ayat (3) disebutkan: Penghitungan zakat maal menurut nisab, kadar, dan waktu ditetapkan berdasarkan hukum agama. (pen., Syariat Islam).
Kemudian dalam hukum positif (UU lain) juga ada menyinggung zakat tertentu, yaitu UU No 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Di dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pajak Penghasilan disebutkan bahwa: harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga yang dibentuk atau disyahkan oleh pemerintah. Diktum tersebut secara jelas menyatakan bahwa zakat yang dibayarkan kepada BAZ dan LAZ yang sah menjadi pengurang penghasilan kena pajak.
Adapun maksud pengaturan zakat tertentu ini dalam UU Pajak Penghasilan oleh Jazuni (2005:416) dikatakan: zakat yang dibayarkan hendaknya benar-benar sesuai ketentuan syari'ah, kemudian nilai tersebut dikurangi atas penghasilan kena pajak. Baik UU Pengelolaan Zakat maupun UU Pajak Penghasilan menurut Jazuni (2005:417) sebagai pengakuan negara terhadap kewajiban zakat bagi umat Islam Indonesia.
Mengenai perbedaan pengaturan zakat dan pajak juga dikemukakan oleh Gazi Inayah (2003:167) sebagai berikut:
Pembatasan pajak dan zakat memang ada bedanya, keduanya tunduk pada semangat tetapi tidak tunduk pada sistem perpajakan baik berupa pajak islami, misalnya pajak hasil bumi dan upeti yang biasanya dibebankan kepada non muslim, atau pajak yang tidak islami yaitu yang sesuai dengan hukum negara terutama negara sosialis dan kapitalis.

C. Fungsi Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan
Untuk mengoptimalisi fungsi zakat sebagai salah satu solusi pengentasan kemiskinan diperlukan langkah-langkah pemberdayaan diantaranya:
1. Konsep Pemberdayaan
Menurut Abdul al-Hamid Mahmud al-Ba’ly (2006:84) pemberdayaan dalam kaitannya dengan penyampaian kepemilikan harta zakat kepada mereka yang berhak terbagi dalam dua bagian, yaitu:
2. Pemberdayaan sebagian dari kelompok yang berhak akan harta zakat. Pemberian dimaksud selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, juga sebagai modal usaha bagi mereka yang terkendala dengan keterbatasan modal dalam berusaha. Dengan diberikan harta zakat dapat memberdayakan mereka sehingga dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pemberian zakat berbeda-beda sesuai dengan profesi, serta kebutuhan masing-masing mustahik.
3.Memberdayakan kaum fakir, yakni dengan memberikan sejumlah harta untuk memenuhi kebutuhan hidup serta memberdayakan mereka yang tidak memiliki keahlian apapun. Terkait hal tersebut, Syaikh Syamsal-Dînal-Ramly (http://ukasbaik.wordpress.com/tgl.12-03-2008), mengemukakan fakir miskin diberikan bagian dari zakat secukupnya sesuai kebutuhan hidup di negara mereka tinggal, dan apabila umur mereka lebih lanjut, zakat diberikan pertahun dalam bentuk modal usaha. Hal ini juga dikemukakan oleh Imam Ahmad (http://ukasbaik.wordpress.com/tgl. 12-03-2008) bahwa pemberian zakat kepada fakir miskin selain bersifat konsumtif, juga diberikan agar produktif dalam bentuk modal usaha.
Selain pemberdayaan bagi fakir miskin, zakat difungsikan untuk memberdayakan mustahiq lainnya. Oleh karena ketidakmampuan mereka, maka pemberian zakat merupakan pengahasilan baru (amil dan mualaf). Bagi ibnu sabil dan budak, zakat difungsikan untuk mencukupi kebutuhan mereka (sifatnya sekunder).
3.Pemberdayaan Organisasi Pengelola Zakat
Secara spesifik, karakteristik pemberdayaan mustahik melalui dana zakat yang dilakukan oleh organisasi pengelola zakat di Indonesia sedikit berbeda dengan konsep pemberdayaan sebagaimana diuraikan di atas. Perbedaan tersebut terjadi karena secara historis, lembaga pengelola zakat didominasi oleh organisasi pengelola zakat yang lahir dari kalangan grass root (masyarakat bawah) yang dalam hal ini diwakili oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ). LAZ sendiri diprakarsai oleh individu-individu yang mengadopsi sistem Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Meskipun hampir seluruh LAZ dan BAZ (Badan Amil Zakat) yang ada pada umumnya memiliki Dewan Pengawas Syariah. (http://ukasbaik.wordpress.com/tgl. 12-03-2008).
Sebagai perbandingan di negara Malaysia pengelolaan zakat ditangani oleh sebuah lembaga khusus, yaitu Pusat Pungutan Zakat, Majelis Agama Islam Wilayah Persekutuan (PPZ-MAIWP). Kemudian lembaga ini bekerja sama dengan Pos Malaysia yang menempatkan 45 pejabat pos di setiap Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur yang menyediakan khidmat pembayaran zakat harta untuk memudahkan orang ramai menunaikan zakat mereka. (http://www.zakat.com.my/berita/2008/htm/12-03-2008).
4. Kewajiban Pemerintah dalam Pemenuhan Zakat
Islam memberikan perhatian yang serius tentang zakat. Hal itu dapat terlihat dalam Al-Quran, Allah SWT menurunkan 37 ayat tentang zakat. Kemudian zakat juga hampir selalu disandingkan dengan kewajiban shalat. Abu Bakar Sidik berkata, "Barang siapa yang membedakan kewajiban zakat dan shalat serta tidak membayar zakat, maka aku akan memeranginya."
Suatu keniscayaan bahwa Allah SWT dalam menurunkan perintah-Nya selalu beserta hikmah besar dibaliknya. Dalam perspektif ekonomi Islam, zakat dipandang sebagai suatu hal yang sangat penting. bahkan zakat dapat dijadikan instrumen utama kebijakan fiskal suatu negara. Apalagi kalau zakat dikelola secara baik akan menjadi solusi dari sasaran akhir perekonomian suatu negara, yaitu terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat. Dengan demikian akan dapat mengentaskan kemiskinan.
Dalam rangka mewujudkan tujuan pemenuhan zakat ini, pemerintah dituntut untuk terlibat aktif. Apalagi telah mengeluarkan UU tentang Pengelolaan Zakat. Oleh karena UU tersebut yang substansinya hanya mengatur pengelolaan zakat, maka pemerintah harus mengambil kebijakan dalam bentuk regulasi untuk mengimplementasikan kewajiban membayar zakat bagi muzzaki.

Dilematika Penegakan Hukum

Sering kita menghujat para penegak hokum, istilah mafiah peradilan, mafiah perkara, mafiah kasus dan bahkan sampai kepada ancaman pemutiahan aparat penegakan hokum yang terkopti dengan mafia-mafiah itu. Penghujatan yang demikian sungguh sangat rasional jika dibaringi dengan instrument hokum yang yang benar pula, demikian juga mafiah-mafiah itu akan terpupuskan jika mentalitas masyarakat kita tidak memeberikan peluang yang seluas-luasnya kepada penegan untuk melakukan mafiah itu.
Banyak hal yang terjadi, bukan mafiah pajak saja, persoalan penerimaan pegawai negeri sepil, penerimaan penerimaan tentara, kepolisian, bahkan pegawai swasta pun tidak terlepas dari lilitan ini. Masyarakat dengan mentalitas tidak percaya diri dalam berkopetisi sesuai dengan konpetensi sumberdaya yang dimilkinya menjadi peluan untuk menempuh jalur lain agar diloloskan, walaupun dengan menanggung resiko dengan jalan penyuapan. Oleh karena itu, sungguh sangat naïf jika hal ini kita tuduhkan sepenuhnya kepada penaegak hokum. Di samping itu, pemeberian fasilitas dan kesejahteraan pemerintah kepada penegak hokum kurang mendukung pelaksanaan tugas, menjadi peluang terjadi penyimpangan. Demikian juga para penegak hokum berhadapan dengan sebuah kepentingan politik yang sewaktu-waktu mengintervensi fungsi dan tugas mereka. Hal menunjukkan bahwa teori independensi akan berlaku jika para penegak hokum berhadapan dengan kasus-kasus yang tidak menyentuh kekuasaan.