ASAS-ASAS YANG TERDAPAT DALAM PEMBERLAKUAN HUKUM EKONOMI ISLAM

I. Pendahuluan
Perkembangan ekonomi Islam sangat pesat kemajuannya, di negara-negara maju sistem ekonomi Islam telah menjadi salah satu alternatif dalam pemecahan masalah krisis ekonomi. Bahkan di Inggris akan menjadikan perbankan Islam sebagai Bank Sentral Islam Internasional (International Islamic Central Bank ). Hal ini menujukkan bahkan sistem ekonomi Islam memiliki-nilai-nilai yang berlaku secara universal. Dalam kehidupan ekonomi penempatan nilai Ilahiyah sebagai landasan filosifis harus menjadi landasan utama untuk mengukur apakah sistem ekonomi yang dibangun itu berdasarkan pada nilai-nilai keislaman?
Terdapat dua pandangan dalam menilai sistem ekonomi Islam. Pertama, dan merupakan pendapat umum pelaku ekonomi Islam bahwa sistem ekonomi Islam itu pada prinsipnya adalah ekonomi konvensional, yang oleh ahli hukum ekonomi Islam diberi label nilai Islam atau hanya sebagai ajaran etis dan moral belaka tidak membumi. Kedua, memahami konsep ekonomi Islam itu dimulai dari nilai-nilai Islam, (iman, amal dan ikhlas). Iman terkait dengan otoritas Allah yang menciptakan alam ini beserta isinya. Amal terkait dengan pertanggungan jawab manusia sembagai pengemban khalifah dan pelaksana syariah-Nya di bumi. Sedangakan ihsan terkait dengan konsesistensi manusia dalam menempatkan diri sebagai khalifah dan sebagai abdi Allah. Sebagai khalifah berkewajiban untuk melaksanakan dan menundukkan diri kepada aturan-aturan yang disyariatkan. Sedangkan sebagai abdi berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan kekhalifaannya. Pemberlakuan sistem ekonomi Islam sebagai solusi dari ketidak adilan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis (ekonomi alternatif) di Indonesia, tentunya berbenturan dengan berbagai perilaku ekonom yang telah membudaya penuh ribawi, spekulasi dan tidak ada kepastian, diperlukan sikap yang arif dalam memberlakukan hukum ekonomi Islam.
Asas-asas trasidental yang terdapat dalam sistem ekonomi Islam dan teraplikasi pada norma-norma hukum ekonomi Islam sebagai dasar pemberlakuan hukum ekonomi Islam. Pemberlakuan sistem ekonomi Islam yang bersumber dari asas-asas hukum ekonomi Islam apakah memberikan dampak yuridis (dosa, kafir, fasiq, munafik) bagi umat Islam yang tidak menggunakan sistem ekonomi Islam. Dengan demikian bagaimana penerapan asas ekonomi Islam dalam pemberlakuan hukum ekonomi Islam?

II. Asas Pemberlakuan Hukum Ekonimi Islam
1. Pengertian Asas
Kata asas berasal dari bahasa Arab, asaasun artinya dasar, pondasi, basis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata asas bermakna dasar yaitu 1) sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat), 2) dasar cita-cita, dan 3) hukum dasar. Jika dikaitkan dengan berpikir bermakna dasar berpikir atau landasan berpikir yang sangat esensial.
Menurut Satjipto Rahardjo asas hukum adalah unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum. Asas hukum adalah jantungnya peraturan hukum karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya peraturan hukum atau ia adalah sebagai rasio legisnya peraturan hukum. Menurut Chainur Arrasjid asas hukum adalah suatu alam pikiran atau cita-cita ideal yang melatarbelakangi pembentukan norma hukum, yang konkrit dan bersifat umum atau abstrak (khususnya dalam bidang-bidang hukum yang erat hubungannya dengan agama dan budaya. Asas hukum menurut Dudu Duswara Machmudin adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum, dasar-dasar umum tersebut merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai etis.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa asas hukum adalah landasan dasar berpikir suatu kebenaran yang bersifat umum dan abstrak yang menjadi dasar pembentukan norma hukum. Oleh karena itu asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum yang konkrit, tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.
Hukum merupakan suatu kenyataan dari asas hukum, oleh karena itu di antara pakar hukum mengidentikan asas hukum dengan jiwa dari norma hukum. Berarti semua peraturan hukum harus dapat dikembalikan pada asas hukumnya. Dengan kalimat yang sederhana bahwa asas hukum bukanlah kaidah hukum konkrit, tetapi merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat umum serta abstrak.
Dari maka ini maka tidak salah di kalangan ahli hukum Islam sering menyamakan asas hukum dengan sumber hukum. Asas hukum dalam konteks hukum Islam bersumber Alqur’an dan Sunnah Rasulullah . Nabi Muhammad saw dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa agar setiap muslim dalam melakukan suatu perbuatan hukum tidak boleh melepaskan diri dari kedua sumber hukum tersebut.

2. Konsep Pembebenanan Hukum
Konsep af’al al mukallaf membicarakan perilaku orang Islam yang telah terkena beban dari segala tuntutan Allah yang terdapat dalam Alqur’an atau Assunnah (semua perkataan, perbuatan dan kesan-kesan sahabat atas perilaku Nabi saw yang secara ilmiah dikaitkan kepada Rasulullah saw) . Dalam kitab-kitab fikih terdapat klasifikasi pembebanan hukum didasarkan pada tingkat rasionalitas dan emosional subyek hukum .
Konsep mukallaf merupakan perilaku umat Islam bukan hanya hasil pemikiran kontemplasi ulama. Tetapi, dalam konteks berperilaku terdapat pendekatan kultural yang berkaitan dengan adat atau tradisi masyarakat yang sifatnya lokal, yang disebut dengan al ’urf. Di kalangan ahli hukum Islam terutama ahli hukum Islam klasik menjadikan adat sebagai kaidah hukum Islam, al ’adat al muhkamat yang dijadikan landasan berperilaku. Hal ini jika diperhadapkan dengan krakteristik global (universalitas) hukum Islam bisa diterima dalam setiap ruang dan waktu apakah dengan lokalisme dapat mereduksi terhadap universalitas hukum Islam dimana lokalisme mampu menjinakkan universliatas hukum Islam sebagai suatu kekuatan global.
Al ’af al mukallaf dapat teraplikasi dalam perilaku masyarakat yang terkait dengan keberlakuan hukum ekonomi Islam. Kepatutan masyarakat kepada nilai-nilai keislaman menundukkan dia untuk melaksanakan nilai-nilai itu sebagai sebuah doktrin. Hukum ekonomi Islam sebagai salah satu dimensi dari ajaran Islam dapatkah masyarakat menjadikan sebagai sebuah instrumen untuk menilai suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang Islam dalam transaksi syariah. Apabila berpedoman bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan dituntut bagi penganutnya untuk tunduk dan patut secara totalitas, maka tidak ada pilihan lain bagi umat Islam ”wajib” menjalankan semua instrumen hukum yang dikandungnya. Pengejawantahan hukum ekonomi Islam dalam perilaku bisnis (business behavior) terintegral dengan nilai-nilai hukum Islam.
a. Rukhsah (dispensasi)
Hukum Islam dari sudut konsistensi baik substansi maupun pelaksanaannya sangat tegas sifatnya, namun di sisi lain dalam keadaan tertentu (keterpaksaan) untuk menjaga keselamatan jiwa manusia hukum Islam memberikan kelonggaran. Oleh sebab itu, dalam hukum Islam ada tiga acuan yang dijadikan dasar dalam pembinaan hukum Islam.
1) Asas tidak menyulitkan (meniadakan kepicikan dan tidak memberatkan)
Dalam Alqur’an ada beberapa ayat yang menerangkan tentang tidak ada kesulitan dalam pemberlakuan hukum Islam. Allah tidak memberikan beban yang berat di luar kemampuan manusia. Tidak ada kesempitan dalam memberlakukan hukum Islam. Dan setiap kesulitan pasti Allah menunjukkan jalan penyelesainnya.
Menurut Faturrahman Djamil, tabi’at (krakter) manusia tidak menyukai beban yang membatasi kemerdekaannya dan manusia senantiasa memperhatikan beban hukum dengan sangat hati-hati. Manusia tidak bergerak mengingikuti perintah terkecuali kalau perintah-perintah itu dapat menawan hatinya, mempunyai daya dinamika, kecuali perintah yang dikerjakan dengan keterpaksaan.
2) Asas menyedikitkan beban
Allah tidak menghukum suatu kaum atau umat sampai didatangkan seorang rasul yang menyampaikan ajaran-ajaran Allah kepada umat tersebut (asas legalitas) dari asas ini menunjukkan bahwa hukum itu tidak berlaku surut. Semua perbuatan penyimpangan hukum tidak dikenakan sanksi selama dalam keadaan kesulitan. Sebagaimana yang disinyalir oleh Alqur’an bahwa Alqur’an tidak diturunkan kepada umat manusia untuk mendapatkan kesusahan.
     
Ayat-ayat yang membicarakan tentang hukum sangat sedikit, ini memberikan peluang yang luas bagi manusia untuk berijtihad. Pemberian peluang tersebut sesuai dengan krakteristik hukum Islam yaitu tidak kaku, tidak keras dan tidak berat bagi umat manusia.
3) Asas tidak totalitas pemberlakuan hukum Islam
Dalam penerapan sebuah peraturan perundang-undangan diperluakan tahapan penerapan disesuaikankan dengan kultur masyarakat. Penerapan hukum secara berangsur-angsur (tahap demi tahap), memberikan dampak yang sangt positif dan masyarakat merasa tidak memberatkan untuk menerima dan mernerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Di samping ketiga asas pemberlakuan hukum Islam tersebut terdapat juga asas personilitas pemberlakuan hukum Islam terhadap orang beragama Islam. Asas ini menempatkan orang Islam baik secara subyektif maupun secara obyektif berlakukan hukum Islam. Secara subyektif, menurut hukum setiap orang Islam yang mukalaf tunduk pada hukum Islam, sehingga segala perbuatannya harus dianggap dilakukan menurut hukum Islam, dan apabila tidak dilakukan menurut hukum Islam diapandang sebagai suatu pelanggaran. Sedangkan secara obyektif , segala sesuatu yang menyangkut aspek hukum orang Islam sebagai obyek hukum harus diukur dan dinilai berdasarkan hukum Islam, sehingga hukum Islam secara imperatif (otomatis) diberlakukan terhadap dirinya, dan karena itu apabila terjadi sengketa harus diselesaikan menurut hukum Islam oleh Pengadilan Agama. Termasuk dalam pengertian asas personalitas keislaman ini semua badan hukum Islam yang ada dalam sistem hukum di Indonesia. Terhadap semua badan hukum Islam menurut Cik Basir baik mengenaik status hukumnya maupun mengenai perbuatan dan peristiwa hukum yang menimpanya, juga mengenai hubungannya dengan orang atau badan hukum lain serta hak milik badan hukum tersebut, sepanjang berkaitan dengan prinsip-prinsip syariah, harus berlaku hukum Islam dan manakala terjadi pelanggaran atau sengketa dapat diselesaikan berdasarkan hukum Islam.
b. Asas kebebasan (anta raadhi)
Dalam perspektif hukum Ekonomi Islam asas kebebasan berkontrak menjadi landasan yuridis, apabila para pihak menyepakati klasul-klasul yang ada di dalam perjanjian itu, akan menjadi dasar hukum. Dengan demikian nilai-nilai pemaksaan kehendak seperti intimidasi, salah satu pihak dalam kondisi keterpaksaan,

3. Konsep ihsan (benevolence)
Setiap manusia dalam melakukan interaksi dengan sesamanya atau dengan makhluk lain ciptaan Tuhan bahwa interaksi yang dilakukan itu karena dapat diketahui dan dipahaminya . Jika tidak demikian, maka manusia harus menyadari bahwa interaksinya itu dikontrol oleh setiap makhluk Tuhan. Keberadaan Tuhan sebagai sosial kontrol memberikan dampak kepada pelaku ekonomi atau pelaku bisnis agar dapat membedakan mana perilaku ekonomi yang dapat dilegalkan berdasarkan prinsip syariah dan mana yang tidak dapat dilegalkan menurut prinsip syariah.
Kemapuan hakim untuk menyelesaikan sebuah sengkata ekonomi selain karena kompetensi relatif maupun kompetensi absolut, juga harus sesuai dengan sejauhmana kemapuan hakim untuk menguasai sebuah materi hukum baik yang terkait dengan kemampuan dalam hukum prosudural maupun kemampuan menguasai dan memahami hukum ekonomi Islam.
Konsep ikhsan menempatkan kepercayaan seorang hakim terhadap kehadiran Tuhan, berperilakulah, niscaya Tuhan melihat tingkah laku kamu, dan perilaku yang kurang lebih sejalan dengan pemahaman ini merupakan kunci memahami pengaruh kuat etika dalam perilaku hukum. Seorang hakim muslim tanpa klaim keshalehan sebagai miliknya sendiri, benar-benar percaya bahwa ia selalu dalam komunikasi langsung dengan Tuhan, yang setiap detik, menit maupun jam mendengar hati nurani dan melihat langsung sikap terjang perbuatan yang dilakukannya.
Dengan demikian, konsep ikhsan melahirkan sikap, 1) menempatkan sesuatu sesuai porsinya (asas keseimbangan. 2) menginformasikan sebuah produk sesuai dengan nilai kualitas baik dari zat, sifat maupun kadarnya sesuai fakta hukum (asas transparansi), 3) menjaga nilai-nilai moral spritual dari sumber, proses, pemasaran, penghasilan dan pemanfaatan (asas kehalalan).

4. Konsep Tazkiyah
Islam menempatkan mobilitas ekonomi didasarkan pada prinsip tazkiyah, akomulasi dari produsen, konsumen dan iklim pasar terbebaskan dari unusr keharaman, ketidak jujuran, spekulasian, ribawi dan kezaliman.
Asas halal dan thaiyyibah teraplikasi dalam konsep tazkiyah. Halal sebagai standar nilai yang bermakna pembebasan dari segala unsur yang diharamkan. Menurut M. Arfin setiap kegiatan ekonomi yang bertujuan mencapai kesejahteraan dan kemakmuran dalam bengkai keridaan Tuhan, maka objek ekonominya harus halal dan dalam proses pengelolaannya tidak mengandung gharar. Pemanfaatannya harus sesuai dengan tuntutan syariah, dilengkapi dengan itikad (niat) yang suci. Sedangkan thayyibah sebgai standar nilai mengandung makna bernfaat untuk kesehatan dan keselamatan.
Konsep tazkiyah menempatkan unsur kehalalan, kemanfaatan dan kesucian sebagai dasar penilaian boleh tidaknya sebuah produksi dan atau suatu perikatan. Apabila dalam sebuah produksi salah satu tahapan terkontaminasi dengan unsur keharaman maka produksi itu dipandang haram dan tidak layak untuk dikonsumsi. Demikian juga, sebuah perikatan dalam pelaksananaannya tidak sesuai dengan prinsip ekonomi Islam (riba, judi, ketidak jelasan obyek perikatan yang haram, dan perikatan yang menghalalkan yang haram), maka perikatan itu dipandang cacat hukum atau perikatan itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatigedaad)
Bentuk keharaman dalam sistem ekonomi Islam bersifat parmanen baik yang terkait benda atau barang yang diharamkan maupun perbuatan yang dilarang untuk dilakukan. Dalam Hukum Islam dipandang sebagai barang atau perbuatan yang tidak bermanfaat. Dalam pandangan M. Arfin Hamid nilai kehalalan kemanfaatan dan kesucian sebagai dasar membangun sistem ekonomi. Ketiga nilai adalah nilai yang tertinggi (top daunt) yang dijadikan sebagai barometer untuk menentukan keabsahan sebuah sistem ekonomi. Konsep tazkiyah dalam makna halal tayyiban dapat diagramkan seperti berikut:

Masalah Dasar Kualifikasi Keabsahan Dasar Hukum

Objek Halal Halal Halal Haram Haram Q.S. 4:2, 4:135
Proses Halal Halal Halal Haram Haram 83:1-2, 11:84-85
Hasil Halal Halal Haram Haram Haram 26:182, 55:9
Pemanfaatan,
pengelolaan Halal Haram Halal Halal Halal
Kesimpulan Halal Haram Haram Haram Haram

Sumber: Hasil Kajian M. Arfin Hamid, 2004

Prinsip ini berlawanan dengan tanda bilangan dalam teori perhitungan.

Masalah Dasar Kualifikasi Keabsahan Dasar Hukum

Objek Positif Positif Positif Negatif Negstif + + + = +
Proses Positif Positif Positif Negatif Negatif + + - = +
Hasil Positif Positif Negatif Positif Negatif - + + = -
Pemanfaatan,
pengelolaan Positif Negatif Negatif Positif Negatif - + - = -
Kesimpulan Positif Positif Negatif Negatif Positif - - - = +

Dengan demikian pandangan yang menyatakan unsur kehalalan yang lebih besar dari unsur keharaman menjadi halal terbantahakan dengan terori tazkiyah tersebut. Konsep dua kulla dalam sebuah kolam air menjadi dasar sahnya perbuatan wudhu tidak dapat dijadikan sebagai dasar anologi dalam menentukan kehalalan suatu produk. Di dalam hukum Islam permasalahan halal dan haram sudah jelas. Sedangkan persoalan samar atau keraguan (syubhat) menjadi lapangan interpretasi. Dalam konteks ini, terdapat tiga upaya untuk membagi hukum menjadi tiga, menurut Abdul Aziz Abdullah bin Baz merupakan pembagian yang benar. Karena suatu persoalan tidak akan terlepas dari ketiga keadaan ini. Pertama, disebutkan dalam nash agar dikerjakan disertai ancaman bagi yang meninggalkannya. Kedua, disebutkan dalam nash agar ditinggalkan disertai ancaman bagi yang melakukannya. Ketiga, tidak ada keterangan dalam nash baik perintah maupun larangan.
Keadaan pertama dan kedua telah jelas persoalannya, tidak membutuhkan interpretasi, sedangkan persoalan ketiga merupakan persoalan ketidak-jelasan (syubhat) yang membutuhkan intrepertasi. Peluang untuk terjadi kontaminasi unusur keharaman semakin tidak terhindarkan. Karena itu, hukum Islam menempatkannya sebagai jalur yang sangat berisiko.
Membangun suatu sistem ekonomi dengan mengabaikan unsur tazkiyah akan memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana terbukti terjadi keterpurukan ekonomi dunia dikarenakan permainan spekulan terhadap pasar uang yang penuh dan sangat ribawi.
Hukum Islam menempatkan unsur kehalalan, kemanfaatan dan kesucian (tazkiyah) sebagai tiang kesehatan ekonomi. Persoalan spekulasi, penimpuan, ketidak pastian yang penuh ribawi sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

III. Penutup
Dalam pemberlakuan ekonomi Islam diperlukan tiga pilar utama sebagai dasar, yaitu pertama asas pembebanan hukum, yaitu subyek hukum yang dikenakan hak dan kewajiban dalam bertindak hukum. Asas kesertaan Tuhan dalam melakukakan aktifitas ekonomi dan ketiga asas kesucian dalam melakukan kegiatan ekonomi.


Pustaka

M. Arfin Hamid “Sistem Ekonomi Islam Konsep dan Aplikasinya pada Institusi Ekonomi Islam” Makalah, Disajikan dalam Dialog Antar Alim Ulama tentang Ekonomi Islam Solusi Pengentasan Kemiskinan, MUI Makassar 23 Mei 2009 di Hotel Singgasana Makassar, hal. 3
-----------, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) di Indonesia Aplikasi dan Prospeknya, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007
Syed Nawab Haider Naqvi. Islamic Economics Socity, penerjemah M. Syaiful Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin, dengan judul Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2003
Muhammad Husain Haikal.Sejarah Hidup Muhammad. Penerjemah Ali Audah, Litera AntaraNusa, Jakarta 2009,
Hudhari Bik, Tarikh Tasyri’ Al Islami, alih bahasa Mohammad Zuhri, Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Rajamurah-Alqona’ah, Semarang, 1980
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Mustafa al Babi Halabi, Mesir 1962
Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2007
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. Jilid 2, Kencana, Jakarta, 2008,
Paul Scholten, MR. C. Assers’s Handleiding Tot De Beoefening Van Het Nederlandsch Burgerlijk. Recht: Algemeen Deel, Terjemahan Siti Soemarti Hartono, dengan judul MR. C. Asser Penuntun Dalam Mempelajari hukum Perdata Belanda: Bagian Umum, Gajah Mada University Prees, Yogyakarta, 1993
L.J. van Apeldoorn, Inleiding tot de Studie van Het Nederlandse Recht.Terjemahan Oetarid Sadino dengan judul ,Pengantar Ilmu Hukum,Pradnya Paramita, Jakarta, 1996
Ajid Thahir, Studi Kawasan Dunia IslamPerspektif Etno-Linguistik dan Geo Politik, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009
Toto Tasmara. Menuju Muslim Kaffah Menggali Potensi Diri, Gema Insani, Jakarta, 2000
Hasbi Ash Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam 2, Bulan Bintang Jakarta, 1981,

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam. Logos Wacana Ilmu, Jakarta,1999
R. Soenarto Soerodibroto, KUHP & KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkama Agung dan Hoge Raad., RajaGrafindo, Jakarta 2006,
A. Mukti Arto, Garis Batas Kekuasaan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri; Penerapan Asas Personilitas Keislaman sebagai Dasar Penentuan kekuasaan Pengadilan Agama, Varia Peradilan, Jakarta Desember 2006 ,
Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariah. Kencana Jakarta2009
Halide, “Sistem Ekonomi Islam, Solusi Krisis Ekonomi”Makalah, Disajikan dalam Dialog Antar Alim Ulama tentang Ekonomi Islam Solusi Pengentasan Kemiskinan, MUI Makassar 23 Mei 2009 di Hotel Singgasana Makassar
Sayyid Sabiq, Fiqhi Sunnah, Jilid I, Terjemahan Nor Hasanuddin, Pundi Aksara, Jakarta 2007
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari, Pustaka Azzam, Jakarta 2005